Jika tidak beradaptasi dengan perubahan iklim, industri pertanian dan pangan akan merugi.
LAMPU kuning bagi dunia bisnis. Diperingatkan, bahwa industri pertanian dan pangan dunia bisa kehilangan seperempat dari nilai perusahaannya pada tahun 2030. Hal tersebut akan terjadi, jika mereka tidak beradaptasi dengan kebijakan baru pemerintah dan perilaku konsumen yang terkait dengan perubahan iklim. Demikian isi sebuah laporan PBB beberapa waktu lau.
Kini, sewindu jelang tahun yang menyedot perhatian banyak pihak itu (2030), naga-naganya sudah kelihatan. Harga pangan bergejolak.
Beras, telur ayam, minyak goreng, daging, dan beberapa jenis sayuran, harganya melambung tinggi. Cuaca yang tak bersahabat dituding sebagai ‘biang kerok’ gagal panen dan langkanya sembako (bahan pangan) di pasaran.
Memang, hingga memasuki Maret ini, musim hujan tampaknya belum berhenti. “Yang menjadi persoalan itu, curah hujannya berlebihan, dan sinar matahari minim,” ujar Rustandi, seorang petani hortikultura (sayur dan bunga potong) di Sukawangi, Puncak Dua – Bogor.
Tidak cuma petani, konsumen dan pedagang di pasar pun resah. “Mau bagaimana lagi ya, memang pasokan dari petaninya berkurang dan harganya tinggi, jadi kami (pedagang –red) terpaksa ikut saja,” keluh seorang pedagang di Pasar Cipanas.
Nurhayati, seorang ibu rumah tangga di Pacet – Cianjur, sejak beberapa waktu terakhir lebih suka membeli beras kemasan (5 kg) di minimarket (Indomaret, Alfamart). “Selama harga beras tinggi sekarang, ini lebih untung ketimbang membeli literan di pasar,” ungkapnya.
Saat ini harga beras di pasar becek mencapai Rp 11.000 atau lebih per liter. Sementara harga beras kemasan lima kilogram di minimarket berkisar Rp 61.000,- sampai Rp 65.000,- per kemasan. “Kalau dihitung-hitung, kok bisa lebih murah ya? Kan satu kilo beras lebih banyak dari satu liternya,” tutur sang ibu tadi.
Agribisnis Terancam
Seperti dilansir dari situs dw.com (20/09.22), sebuah studi menunjukkan akan terjadi penurunan nilai perusahaan rata-rata sekitar 7% pada tahun 2030, termasuk bidang insdustri pangan dan pertanian. Hal itu setara dengan kerugian investor sekitar USD150 miliar (sekitar Rp 2,2 triliun), jika mereka tidak mengadopsi praktik baru dalam berbisnis.
“Jika tidak beradaptasi dengan kebijakan baru pemerintah dan perilaku konsumen terkait perubahan iklim, industri pertanian dan pangan akan merugi,” tulis situs tersebut.
Di Indonesia pun, sektor pertanian dihadapkan pada ancaman dampak perubahan iklim yang terjadi secara global. Lihat saja dalam beberapa waktu belakangan ini misalnya. Harga pangan bergejolak. Jelaslah, bahwa ketahanan pangan nasional tak luput dari dampak perubahan iklim, jika sistem pertanian Indonesia tidak disiapkan dengan baik.
Sederhananya, jika produksi berkurang, akibat iklim atau cuaca, maka barang langka dan harga pangan menjadi lebih mahal. Kenaikan harga dapat berdampak pada akses, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Runyam…
***Riz***