Oleh: Susana Yuni Indriyanti*)
INDONESIA memiliki beragam sumber daya alam, salah satunya adalah hutan hujan tropis. Kekayaan alam ini, serta keanekaragaman hayati di dalamnya, memiliki beragam manfaat, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Di sisi lain, laju kerusakan lingkungan yang tinggi, termasuk kerusakan hutan, mengakibatkan berkurangnya luas kawasan hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
Semakin banyaknya alih fungsi kawasan hutan untuk mendukung perkembangan populasi penduduk dan pemenuhan kebutuhan masyarakat juga berdampak pada semakin jauhnya akses menuju kawasan hutan. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab masyarakat kurang mengenal hutan dan manfaatnya, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan.
Seperti kata pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang”, dikarenakan banyak masyarakat yang tidak mengenal hutan dan manfaatnya.
Alhasil, kepedulian masyarakat terhadap keberadaan hutan dan manfaatnya juga kurang, hingga –bisa jadi– masyarakat tidak peduli sedikit pun akan kerusakan hutan yang terjadi. Mereka pun tidak kenal atau tidak tahu akan manfaat keberadaan hutan dan dampak dari kerusakan hutan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Iswari dan Utomo (2017) yang menyatakan bahwa faktor utama penyebab kerusakan lingkungan secara global adalah perilaku manusia, dimana sikap kepedulian lingkungan masih sangat minim.
Pembelajaran PLH
Adanya laju potensi kerusakan lingkungan yang cukup tinggi, menyebabkan pentingnya dilakukan upaya-upaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).
Berdasarkan PerMen LHK Nomor P.52/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2019, PLH didefinisikan sebagai “upaya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap serta aksi kepedulian individu, komunitas, organisasi dan berbagai pihak terhadap permasalahan lingkungan untuk keberlanjutan pembangunan bagi generasi sekarang dan yang akan datang”.
Pembelajaran PLH dapat dilakukan dengan memanfaatkan kawasan-kawasan yang berbasis lingkungan sebagai media belajar untuk tujuan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumber daya alam. Salah satu bentuk kawasan berbasis lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran PLH (khususnya sumber daya hutan) adalah “Arboretum”.
Apa Itu Arboretum?
Dalam bahasa latin, arboretum berasal dari 2 (dua) kata, yaitu arbor yang berarti pohon dan retum yang berarti tempat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arboretum adalah tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.
Arboretum juga didefinisikan sebagai kebun, atau tempat berbagai jenis koleksi tanaman berupa pepohonan, semak dan tanaman herba dengan luasan tertentu. Di dalamnya terdapat berbagai jenis yang ditanam sedapat mungkin mengikuti habitat aslinya.
Arboretum berperan sebagai areal pelestarian keanekaragaman hayati serta dapat memperbaiki atau menjaga kondisi iklim di sekitarnya. Selain itu, juga dapat digunakan untuk tujuan ilmiah dan pendidikan (Handayani, 2015; Napolion, dkk, 2015).
Pembangunan arboretum berperan pula sebagai tempat pelestarian sumber plasma nutfah dan areal konservasi ex–situ dalam hal koleksi jenis (Suprianto dan Edy, 2018). Dalam skala tertentu, arboretum juga dapat disebut sebagai hutan mini.
Pengembangan arboretum terutama di wilayah perkotaan dapat meminimalisir kerusakan lingkungan, karena keberadaan arboretum memiliki beragam fungsi dan manfaat. Diantaranya adalah; dapat menjadi alternatif ruang terbuka hijau (RTH) yang berperan menyerap karbon serta menghasilkan oksigen hingga membentuk iklim mikro bagi lingkungan di sekitarnya.
Arboretum juga sebagai tempat berbagai satwa mencari makan dan berlindung serta berkembang biak (Roslinda dkk, 2020). Selain itu, juga dapat dimanfaatkan sebagai media PLH (khususnya sumber daya hutan) bagi masyarakat, terutama yang tinggal atau berada jauh dari kawasan hutan sesungguhnya, agar masyarakat dapat lebih mengetahui atau mengenal hutan dan manfaatnya.
Salah satu arboretum yang dapat dimanfaatkan sebagai media PLH adalah “Arboretum Sempaja”.
Mengapa Arboretum Sempaja?
Arboretum Sempaja merupakan salah satu kawasan miniatur Ekosistem Hutan Dipterokarpa yang berada di Kota Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
Arboretum ini dikelola oleh Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Lingkungan Hidup – BBPSILH (sebelumnya bernama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa – B2P2EHD) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebelumnya, dulu, areal Arboretum Sempaja merupakan kebun karet masyarakat dan habitat pohon Ulin. Luasnya mencapai sekitar ± 2,5 ha yang dibangun pada tahun 1986, bersamaan dengan pembangunan lingkungan perkantoran BBPSILH (waktu itu bernama Balai Penelitian Kehutanan Samarinda – BPK Samarinda).
Pada 24 Maret 2017, nama Arboretum Sempaja diresmikan, dan selanjutnya pada 22 Mei 2017 dicanangkan kegiatan widya wisata lingkungan hidup dan kehutanan. Saat tersebut menjadi titik awal diresmikan dan dibukanya kawasan Arboretum Sempaja untuk kunjungan masyarakat umum.
Sejak dibuka untuk masyarakat umum tahun 2017, Arboretum Sempaja telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Samarinda khususnya, lembaga pendidikan –mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-kanak (TK)– hingga perguruan tinggi, untuk tujuan pembelajaran atau pendidikan.
Arboretum Sempaja dimanfaatkan masyarakat sebagai media PLH, terutama yang terkait dengan hutan dan keanekaragaman hayati, khususnya Ekosistem Hutan Dipterokarpa yang merupakan ciri khas kawasan hutan di Kalimantan.
Berdasarkan hasil inventarisasi tahun 2021, di Arboretum Sempaja terdapat beragam tegakan tanaman; yang terdiri dari 22 famili, 44 genus, 67 spesies atau jenis dan 1.534 pohon.
Dari 22 ragam famili tegakan tanaman yang ada di Arboretum Sempaja, famili Thymelaeaceae memiliki jumlah pohon terbanyak, yaitu sejumlah 604 pohon. Jumlah pohon terbanyak berikutnya adalah dari famili Dipterocarpaceae sejumlah 521 pohon.
Sedangkan dari 44 ragam genus tegakan tanaman yang ada di Arboretum Sempaja, jumlah pohon terbanyak berasal dari genus Aquilaria sejumlah 604 pohon dan berikutnya adalah genus Shorea dengan jumlah 406 pohon.
Adanya beragam koleksi jenis tegakan tanaman yang tersedia di Arboretum Sempaja, dapat merepresentasikan ragam jenis tanaman yang ada di kawasan hutan sesungguhnya. Maka pantas, Arboretum Sempaja layak menjadi lokasi tujuan kunjungan belajar sekaligus sebagai media PLH khususnya untuk pembelajaran terkait Ekosistem Hutan Dipterokarpa.
Hal tersebut sejalan dengan arahan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Siti Nurbaya Bakar). Dalam kunjungan kerjanya ke Arboretum Sempaja pada 4 April 2021, Menteri LHK menyampaikan kekagumannya dengan koleksi jenis pohon Dipterokarpa yang ada di arboretum tersebut.
Menteri LHK pun meminta agar lokasi tersebut dijadikan landmark hutan kota di Samarinda dan Ibu Kota Negara (IKN), dengan model tropical rainforest atau hutan hujan tropis (https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3845/menteri-lhk-arahkan-arboretum-sempaja-jadi-ikon-samarinda).
Dengan demikian, pembelajaran PLH terkait Ekosistem Hutan Dipterokarpa diperlukan, dan dapat dilakukan di Arboretum Sempaja untuk semua jenjang usia, bahkan sejak usia dini.
Pengenalan atau pembelajaran terkait Ekosistem Hutan Dipterokarpa bertujuan agar lebih banyak masyarakat yang mengenal dan mengetahui akan ekosistem hutan serta manfaatnya. Sehingga dapat meningkatkan kepedulian masyarakat akan keberadaan dan kelestarian hutan, khususnya hutan hujan tropis, yang salah satunya adalah Ekosistem Hutan Dipterokarpa yang ada di Kalimantan.
*) Peneliti Muda dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi – BRIN.