Kasus pencabutan izin usaha perkebunan di Sorong merupakan salah-satu bukti bahwa sebenarnya moratorium sawit perlu diperpanjang. Tata kelola pekelapasawitan nasional perlu dibenahi dulu ketimbang perluasan areal.
JOHNY KAMARU memang oke…. Bupati Sorong, Papua Barat itu dinilai cukup tegas dan berani. Seperti dilaporkan, bahwa baru-baru ini, Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha pada empat perkebunan sawit besar, yakni PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT. Cipta Papua Plantation. Pencabutan perizinan tersebut dikarenakan keempat perusahaan tersebut tidak melaksanakan kewajibannya dalam izin usaha perkebunan (IUP) yang mereka dapatkan. Pencabutan perizinan itu sesuai hasil evaluasi Pemerintah Provinsi Papua Barat yang didukung oleh KPK.
Tiga diantara perusahaan sawit raksasa yang dicabut izinnya tersebut kemudian menggugat keputusan itu. Pemkab Sorong pun diadukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu. Ketiga perusahaan tersebut yakni PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS).
Sementara itu Johny Kamaru, seperti ditulis dalam Siaran Pers Yayasan EcoNusa yang dikirim ke Redaksi Green Indonesia (GI), dengan tegas menyebutkan, bahwa lahan yang belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh empat perusahaan besar itu harus dikembalikan ke Masyarakat Adat atau pemilik hak ulayat. “Dengan demikian, lahan bisa bermanfaat untuk penghidupan mereka,” kata Bupati Sorong itu.
Bupati menambahkan bahwa kebijakan moratorium sawit merupakan salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong untuk melakukan evaluasi beberapa perusahaan sawit tersebut. Selain itu, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari juga menjadi dorongan terhadap pentingnya evaluasi.
Tata Kelola Masih Amburadul
Pada intinya, beberapa pihak masih berharap, agar moratorium sawit diperpanjang. Senada dengan pendapat Bupati Sorong, aktivis lingkungan dari Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan EcoNusa menilai, setidaknya ada beberapa catatan penting bagi pemerintah untuk memperpanjang moratorium sawit.
Diantaranya ialah tata kelola perizinan sawit belum selesai. Terkait hal ini, Teguh Surya, Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat 11, 9 juta ha izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada akhir 2020.
“Dari data tersebut masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa. Dia menambahkan, bahwa evaluasi izin tersebut perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara. Dikatakannya sampai saat ini, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit, terutama yang ada di kawasan hutan di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya. “Dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, ternyata hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit,” ungkapnya.
Sementara itu, Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyatakan bahwa hingga kini tata kelola produkivitas sawit masih belum maksimal. Dia menyampaikan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2017 yang menemukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO (Crude Palm Oil) sebesar Rp 11 triliun di tahun 2016. Dari dana tersebut, sebanyak 81,8% dialokasikan untuk subsidi biodiesel, di mana yang mendapat porsi subsidi paling besar adalah pengusaha.
“Dana perkebunan sawit seharusnya dapat digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan dan produktivitas perkebunan sawit. Misalnya peremajaan perkebunan sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan SDM di sektor perkebunan sawit. Saat ini, dana ini lebih banyak digunakan untuk program subsidi biodiesel dan justru tidak banyak menyentuh petani, melainkan porsinya lebih banyak ke pengusaha,” jelas Nadia.
Ditambakannya, pemerintah perlu membuat semacam formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. “Studi yang kami lakukan menemukan, bahwa penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran, sehingga tidak bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani sawit. Selain itu perlu ada perbaikan formula penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani sehingga lebih adil untuk kesejahteraan petani dan tidak hanya menguntungkan pengusaha,” tutur Nadia.
Singkat kata, masih banyak masalah perkelapasawitan nasional yang perlu dibenahi.
***Riz***
No comment