Dapatkah Kayu Kurangi Beban APBN untuk Energi?

Oleh: Rachman Effendi*)

ENERGI menjadi perhatian pemerintah dan menjadi tolok ukur keberhasilan program. Hal ini ditunjukkan dengan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

RUEN sangat penting dalam menyusun rencana pembangunan nasional dan daerah, kebutuhan tenaga listrik dan rencana anggaran belanja baik nasional (APBN) dan Daerah (APBD). Untuk itu, RUEN bersifat dokumen rencana yang didalamnya terdapat proyeksi kebutuhan energi skala provinsi dan nasional. RUEN disusun berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagaimana diatur dengan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.

Indonesia belum lepas dari energi sebagai permasalahan yang teridentifikasi dalam RUEN. Pertama, energi dijadikan sebagai komoditi yang dijual. Di lain sisi, kebutuhan energi nasional sangat tinggi sehingga terjadi selisih antara pasokan dan permintaan energi.

Pemerintah cenderung menjadikan energi sebagai sumber devisa. Hal ini mengakibatkan energi menjadi langka dan produk yang dihasilkan menjadi mahal karena impor. Sebagai contoh, 20% batubara yang dihasilkan dijual ke pasar domestik dan sisanya dijual ke pasar internasional.

Kedua, persediaan minyak bumi yang terus menurun, sementara harga minyak global yang fluktuatif dan cenderung terus naik sehingga harga energi menjadi mahal. Menurut Laporan Dewan Energi Nasional dalam Buku Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019 bahwa produksi minyak bumi dari 2009-2018 menurun dari 346 juta barel menjadi 283 juta barel.

Ketiga, kondisi geografis berupa kepulauan mengakibatkan akses dan infrastruktur energi sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan harga energi yang beragam dan mempengaruhi pemenuhan energi setiap pulau.

Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi masalah energi karena pasokannya yang belum stabil, harga yang lebih mahal dibandingkan LPG, minyak dan batubara serta teknologi penggunaan energi belum ramah terhadap EBT. Hal ini mengakibatkan permintaan rendah yang berdampak pada harga EBT mahal.

Energi juga dihadapkan dengan masalah penelitian yang belum optimal, kondisi geopolitik dan masalah lingkungan. Energi yang dipandang sebagai salah satu penyebab masalah lingkungan global saat ini.

RUEN meramalkan penyediaan energi primer akan mencapai 400 MTOE (metric ton oil equivalent) di tahun 2025 dan 1000 MTOE di tahun 2050. Untuk mendukung hal tersebut, dan menjaga keberlangsungan penyediaan energi, maka RUEN menetapkan bauran energi dengan EBT, minyak bumi, batubara dan gas bumi.

Defenisi sederhana dari bauran energi adalah campuran bahan baku berbasis fosil dengan EBT. Hal ini bertujuan untuk; (1) mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi terbarukan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dampak lingkungan negatif lainnya, (2) Meningkatkan dan mempertahankan cadangan sumber energi fosil dan menjaga fluktuasi harga, (3) membantu mengoptimalkan penggunaan energi untuk berbagai kebutuhan, (4) mengurangi ketergantungan pada sumber energi yang dapat dipengaruhi oleh faktor geopolitik atau perubahan kondisi pasar, dan (5) memungkinkan penyesuaian terhadap perkembangan baru dalam teknologi energi dan perubahan dalam permintaan energi

Gambar di samping menunjukkan bahwa realisasi bauran energi di tahun 2020 terhadap target yang ditetapkan RUEN.

Data tersebut diperoleh dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/04/07/ini-bahan-bakar-yang-mendominasi-bauran-energi-global-pada-2020.

Gambar ini menunjukkan sebuah gambaran optimis terutama minyak bumi dan gas bumi yang melebihi target RUEN tahun 2025. Namum untuk EBT perlu bauran energi terutama untuk kelistrikan. Grafik ini merupakan sebuah peluang usaha yang menjanjikan. Peluang ini berupa penyediaan bahan baku.

Sifat Kayu untuk energi

Kayu sudah dikenal sebagai sumber energi selama ini dan bahkan sejak kehidupan ini ada. Energi dari kayu disebut juga dengan energi biomassa. Namun demikian, energi biomassa dikategorikan sebagai energi baru dan terbarukan (EBT). Dikatakan baru karena turunan dari energi panas yang dihasilkan berupa listrik dan terbarukan karena dapat diperbarui dengan penanaman (renewable).

Kayu dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi baik dalam bentuk kayu gelondongan, potongan kayu seperti arang, serpihan dan serbuk serta serbuk yang dipadatkan berbentuk seperti tablet yang sering disebut wood pellet. Penggunaan bentuk kayu bergantung pada produk energi yang dihasilkan, teknologi dan alat konversi energi.

Proses konversi kayu menjadi energi dari kayu gelondongan, serpihan dan serpihan adalah pembakaran langsung (direct combustion). Pembakaran dilakukan ditungku yang diatasnya terdapat air. Uap air akan menggerakkan turbin listrik dan generator. Agar uap yang dihasilkan maksimal maka pemilihan jenis kayu dengan nilai kalor yang tinggi serta tahapan persiapan perlu dilakukan dengan baik. Tahapannya meliputi; pengumpulan dan penimbunan kayu, pengeringan, pembakaran, pembentukan uap, dan penggerakan turbin.

Proses konversi lain yang dikenal adalah gasifikasi. Proses ini lebih dikenal dengan proses termokimia. Alat yang digunakan berupa reaktor. Kayu dimasukkan ke reaktor dimana oksigen dalam reaktor sangat terbatas dan kemudian dipanaskan pada suhu 7000C. Biomassa mengalami beberapa tahap reaksi kimia, termasuk pirolisis (penguraian termal), reduksi, dan reformasi.

Pirolisis menghasilkan senyawa organik yang kemudian dipecah menjadi komponen gas yang lebih sederhana seperti hidrokarbon dan karbon monoksida. Reaksi reduksi menghasilkan hidrogen dan karbon monoksida dengan menghilangkan oksigen dari senyawa yang ada dalam bahan.

Hasil utama dari reaksi gasifikasi adalah syngas, yang terdiri dari hidrogen, karbon monoksida, dan komponen lain. Komposisi dan rasio komponen dalam syngas tergantung pada jenis bahan yang digunakan dan kondisi gasifikasi.

Syngas mungkin mengandung sejumlah partikel padat, zat-zat tidak diinginkan, dan komponen yang harus disesuaikan sebelum digunakan. Proses pemurnian dan penyesuaian termasuk pemisahan partikel, penghilangan tar, dan penyesuaian rasio hidrogen dan karbon monoksida.

Syngas yang telah dimurnikan dan disesuaikan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk pemanasan industri, pembangkitan listrik melalui turbin gas, produksi bahan kimia, dan bahkan sebagai bahan baku untuk produksi bahan bakar cair. Teknologi terakhir yang biasa dikenal adalah pirolisis. Kayu dibakar dalam reaktor kedap udara sehingga menghasilkan arang atau cairan yang dapat digunakan dalam menggerakn turbin.

Penggunaan Kayu untuk energi

Penggunaan kayu untuk sumber energi, terutama panas bukanlah hal yang baru dan bahkan mulai ditinggalkan. Penggunaan tungku untuk pembakaran dianggap tradisional dan tidak efektif. Akar masalah bukanlah pada kayu, melainkan teknologi konversinya menjadi energi siap pakai.

Sebenarnya, kayu tetap menjadi bahan dasar energi karena memiliki kandungan energi yang cukup tinggi dalam bentuk potensial panas yang dapat dihasilkan melalui pembakaran atau proses konversi lainnya. Ini membuatnya cocok untuk digunakan sebagai bahan bakar padat dalam berbagai aplikasi, termasuk pemanasan dan pembangkitan listrik.

Selain itu, ketika kayu dibakar, karbon yang dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk CO2 sebanding dengan karbon yang diserap oleh pohon selama pertumbuhannya. Ini menjadikan pembakaran kayu hampir menjadi karbon netral dalam siklus karbon alam, terutama jika pengelolaan hutan yang berkelanjutan diterapkan.

Kayu adalah bahan dasar yang dapat diperbaharui melalui penanaman kembali dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Ini berbeda dari bahan bakar fosil yang memiliki sumber daya terbatas. Kayu dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk penebangan hutan, limbah kayu industri, limbah kayu daur ulang, dan bahan biomassa lainnya. Ini memberikan fleksibilitas dalam penggunaan dan diversifikasi pasokan.

Kayu sering tersedia secara lokal di banyak wilayah, yang dapat mengurangi biaya transportasi dan mendukung perekonomian lokal. Kayu dalam bentuk serbuk atau potongan cukup mudah diolah untuk digunakan dalam proses energi biomassa seperti pembakaran, gasifikasi, dan pirolisis. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar biomassa dapat membantu diversifikasi sumber energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Hambatan dan Tantangan

Penggunaan kayu sebagai energi biomassa juga memiliki beberapa tantangan dan pertimbangan. Pertimbangan utama adalah kepastian pasokan bahan baku.Kepastian pasokan akan mendorong penggunaan kayu yang berlebih dan dapat menjadi penyebab degradasi hutan dan merusak ekosistem. Untuk itu, penanaman diarahkan terhadap kayu dengan nilai kalor tinggi seperti kaliandra merah (Calliandra callothyrsus), lamtoro dan gamal serta jenis lainnya.

Pertimbangan berikutnya adalah teknologi konversi.Efisiensi pembakaran kayu dapat bervariasi tergantung pada teknologi dan praktik pembakaran yang digunakan. Hal ini masih menjadi tantangan terutama penggunaan kayu untuk konsumsi rumah tangga seperti gas. Teknologi ini harusnya mudah digunakan dan dalam penggunaannya dapat dengan mudah diisi kembali jika kayunya habis.

Tujuan dari bauran energi adalah menurunkan ketergantungan pada energi fosil, menjaga persediaan serta harga yang kompetitif maka sebaiknya produk energi berbasis kayu dimanfaatkan oleh masyarakat perkotaan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat kota cenderung lebih padat dan tingkat konsumsi lebih tinggi, sehingga permintaan akan tinggi. Hal ini akan mendorong terbentuknya bahan baku kayu sebagai energi dengan harga yang kompetitif.

Permasalahan harga bahan baku menjadi isu penting karena pasokan bahan baku dari pedesaan memerlukan biaya transportasi yang tinggi. Dengan demikian yang menjadi tantangan berikutnya adalah harga bahan baku kayu. Terkadang, bauran energi tidak berjalan baik karena keliru dalam menentukan pasar dan konsumen.

Penggunaan kayu untuk energi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal dan lingkungan, termasuk dampak ekonomi, hak tanah adat, dan kelestarian ekosistem. Permasalahan ini sudah menjadi hal yang lumrah dalam pengembangan usaha berbasis lahan.

Permasalahan hak kepemilikan lahan di sebuah  kawasan hutan menjadi disinsentif dalam upaya pengadaan bahan baku kayu. Klaim lahan, hak adat, aksesibilitas dan permasalahan keanekaragaman hayati di sebuah kawasan yang sudah ditetapkan untuk fungsi produksi masih belum menemukan resep penyelesaian yang tepat. Untuk itu, tantangan penentuan kebijakanpengelolaan kawasan hutan untuk mendukung KEN sangat dibutuhkan.

Penggunaan kayu sebagai bahan dasar energi biomassa harus dipertimbangkan secara holistik dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. EBT dari bahan dasar kayu tidak mudah dikembangkan karena pelaksanaan kebijakan harga belum maksimal, subsidi EBT tidak jelas, kebijakan pengembangan EBT yang belum menarik minat bagi investor, instrumen pembiayaan pengembangan dan insentif pemanfaatan EBT masih sangat terbatas, perizinan yang rumit serta permasalahan tata ruang yang sangat rumit.

Pembangunan hutan tanaman untuk produksi EBT dianggap tidak rasional, melalui penanaman terutama kayu dinilai terlalu mahal. Biaya pengadaan bibit dan penanaman, pemeliharaan, transportasi dan pengolahan serta penyiapan lahan sangat tinggi dibandingkan harga jualnya.

Harga jual kayu energi saat ini diperkirakan hanya mencapai Rp400 ribu/ton, sementara biaya budidaya, penanaman, pemanenan, dan pengangkutan per ton hasil panen dapat di atas harga tersebut. Total biaya pembangunan hutan tanaman mencapai Rp30 juta/ha.

Jika riap produksi adalah 40 m3/ha di tahun ke-3 setelah tanam maka harga jual per ton dapat mencapai Rp1,25 juta. Angka ini akan semakin tidak kompetitif jika menilai produk akhir digunakan sebagai pasokan energi listrik sebagai konsumsi energi masyarakat sehubungan dengan harga listrik dari PLN yang dialirkan kepada masyarakat terutama masyarakat pedesaan.

Energi biomassa dari limbah kayu lebih murah, terutama dari limbah penebangan mencapai 46% dan sekitar 35% kira-kira 50% dari pengolahan kayu baik untuk kayu lapis, veneer dan kayu gergajian.

Permasalahan utama yang dihadapi terutama di pemegang ijin pemanfaatan kayu dari hutan alam adalah biaya pengumpulan dan pengangkutan yang sangat mahal. Limbah kayu akan baik jika berasal dari hutan rakyat, sementara limbah industri banyak digunakan untuk boiler.

Limbah kayu yang diubah menjadi wood pellet dapat menghasilkan energi panas lebih tinggi dan pembakaran lebih sempurna. Kelebihan lainnya adalah harga energi panas yang dihasilkan dari wood pellet juga lebih murah dari harga gas.

Salah satu produk yang dikembangkan dan dimanfaatkan UMKM adalah biopellet. Biopellet dikembangkan Lisman Suryanegara (Peneliti BRIN). Harga gas yang dihasilkan mencapai Rp1.400/kg. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan gas elpiji yang dijual dipasaran yang dapat mencapai Rp6.000/kg.

Permasalahan kayu sebagai salah satu bahan baku unggul untuk ketahanan energi nasional perlu diselesaikan dengan komitmen para pihak baik pemerintah, investor dan masyarakat secara umum. Kompleksnya permasalahan ini mengakibatkan kayu dipandang tidak kayak untuk dipertimbangkan.

Salah satu kompetitor kayu adalah limbah sawit. Menurut Laporan Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Timur bahwa tandan buah segar (TBS) sawit dapat menghasilkan 190 kg limbah serat dan 700 kg limbah cair dari 1 ton TBS. Limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk produksi pellet sehingga meningkatkan nilai ekonomi kebun kelapa sawit. Limbah cair dapat diolah menjadi biofuel dan limbah serat menjadi bahan baku pellet.

Harga pellet dari serat sawit mencapai Rp2.000/kg. Angka ini masih di atas harga pellet dari kayu. Namun jika dilihat dari sifatnya dimana serat adalah limbah dari minyak sawit dan merupakan produk tambahan maka pellet cangkang sawit akan lebih kompetitif dibandingkan kayu.

Rekomendasi Kayu untuk Energi

Uraian di atas menunjukkan bahwa kayu berpotensi sebagai sumber energi, tapi tidak digunakan untuk; 1) energi listrik dalam skala besar dan luas, 2) biofuel sebagai bauran energi untuk transportasi.

Kayu sebaiknya dimanfaatkan untuk; 1) kebutuhan energi di industri/ UMKM seperti tahu, tempe, peternakan, tekstil, dan perlu dukungan teknologi konversi yang sesuai. Kayu dapat bersaing dengan sawit selama wood pellet yang dihasilkan berasal dari limbah penebangan dan industri kayu. 2) produksi arang aktif terutama untuk pasar ekspor.

Dengan demikian maka kayu sebagai bahan baku energi merupakan sub sistem dari; 1) Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), 2) pengolahan kayu untuk produk kayu gergajian, veneer dan kayu lapis. Jika kayu yang dihasilkan berasal dari hutan tanaman maka secara ekonomi, harga kayu tidak kompetitif.

*) Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi – BRIN

Redaksi Green Indonesia