Masyarakat Adat: Penjaga Alam yang Terusir di Negeri Sendiri

Dalam semangat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 dan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Ibu Rukka Sombolinggi, pemimpin Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), berbicara dengan tegas mengenai ancaman yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia. Di tengah keindahan alam Bogor, narasi yang dibawa oleh Ibu Rukka adalah kisah getir tentang perjuangan yang tak kunjung usai.

“Masyarakat adat adalah penjaga alam yang paling setia,” ujar Ibu Rukka, memulai percakapannya. Dunia mencatat, 80% dari ekosistem global yang tersisa masih terjaga berkat masyarakat adat. Bagi mereka, alam bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi bagian dari keyakinan, identitas, dan sumber kehidupan—air yang mengalir, obat-obatan alami, dan keseimbangan yang terjaga selama berabad-abad.

Namun, harmoni ini sedang terancam oleh berbagai industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan sawit, dan tanaman industri yang rakus. Ibu Rukka menggarisbawahi bahwa peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk UU Cipta Kerja dan kebijakan agraria, bukannya melindungi, malah membuka jalan bagi kriminalisasi dan perampasan tanah masyarakat adat.

“10 juta hektar lahan telah dirampas dalam satu dekade terakhir,” katanya, dengan nada prihatin. “Dan tidak ada yang berubah. Kekerasan, intimidasi, dan ketidakadilan terus terjadi. Bahkan, salah satu tokoh adat dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda satu miliar rupiah hanya karena mempertahankan hak mereka.”

UU yang ada, menurut Ibu Rukka, cenderung eksploitatif. Misalnya, revisi UU Minerba memperketat cengkeraman pada sumber daya alam dan mengancam siapa saja yang dianggap mengganggu jalannya eksploitasi. UU Cipta Kerja, atau yang ia sebut sebagai ‘UU Cilaka,’ menghapus perangkat perlindungan bagi masyarakat adat, memuluskan jalan bagi bank tanah, dan mendorong sertifikasi lahan secara individual.

Masyarakat adat, yang seharusnya menjadi penjaga konservasi, justru diabaikan dan dikriminalisasi. “Apa yang kita saksikan adalah upaya sistematis untuk merampas hak-hak masyarakat adat,” tegas Ibu Rukka.

Ia menyerukan agar UU Perlindungan Masyarakat Adat segera disahkan dan izin-izin yang merugikan masyarakat adat dicabut. “Wilayah yang sudah rusak harus dipulihkan, dan nama baik masyarakat adat harus dikembalikan,” tambahnya.

Dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi, Ibu Rukka mencatat, bukannya melindungi, 10 juta hektar hutan dirusak. “Indonesia bukan hanya tentang hutan. Di antara hutan-hutan itu ada savana, gunung, sungai, dan pesisir yang semuanya adalah bagian dari kehidupan masyarakat adat,” tutupnya dengan penuh harapan, meski getir.

Tulisan ini bukan hanya sebuah laporan, tetapi sebuah seruan agar bangsa ini membuka mata dan telinga, mengingat kembali jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan menjaga alam untuk generasi mendatang.

Laporan: M. Rizqi Dwi Ramdani, Bogor, 15 Agustus 2024

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *