Oleh : Dewi Handayani* dan Hesti Lestari Tata**
Tumbuhan ini sangat potensial, baik sebagai pelestari lingkungan maupun bahan pangan. Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya perepat secara berkelanjutan mendukung ekonomi hijau nasional.
KATINGAN. Salah satu sungai besar di Kalimantan Tengah, dengan panjang 650 km ini, menjadi salah satu urat nadi perekonomian masyarakat di daerah tersebut.
Beberapa desa di sekitar hilir Sungai Katingan, seperti Desa Mendawai dan Desa Kampung Melayu, didominasi oleh tipe ekosistem gambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Tepian sungai memiliki substrat liat berpasir, yang menjadi habitat jenis pohon bakau, khususnya perepat, atau dikenal juga dengan nama pidada, pedada, atau bogem.
Secara umum, terdapat dua jenis perepat, yaitu perepat putih (Sonneratia alba) dan perepat merah (Sonneratia caseolaris). Kedua jenis ini termasuk keluarga Lythraceae.
Perepat putih umumnya tumbuh pada ekosistem mangrove yang berhadapan dengan laut, pantai berbatu dan berkarang, pada substrat campuran lumpur dan pasir. Daunnya berbentuk bulat hingga bulat telur dan tebal. Kulit batangnya (pepagan) berwarna krem hingga coklat, dengan rekahan halus.
Sedangkan perepat merah (Sonneratia caseolaris), pada umumnya tumbuh di peralihan ekosistem mangrove dan rawa gambut, yang dipengaruhi oleh pasang surut, pada substrat berlumpur dalam, dan bersalinitas rendah. Daunnya berbentuk oval, dengan warna pangkal tangkai hijau agak kemerahan.
Kedua jenis perepat memiliki akar nafas yang berbentuk kerucut meruncing. Bunga mekar di saat malam hari dan beraroma wangi. Penyerbukan bunga dilakukan oleh kelelawar, seperti penyerbuk bunga durian.
Meskipun berukuran besar, buah perepat dapat terapung di air karena memiliki kelenjar yang mengandung air di dalam bijinya. Penyebaran buah dan biji dibantu oleh air. Akar nafas tersebut membantu perepat melakukan respirasi atau pernafasan pada kondisi pasang naik atau genangan air tinggi.
Perepat dijumpai tumbuh menyebar di tepian Sungai Katingan di Desa Mendawai, sepanjang kanal utama yang menghubungkan Sungai Mentaya dan Sungai Katingan, Desa Hantipan, hingga ke Desa Palingkau, Kecamatan Teluk Sampit, di Kabupaten Kotawaringin Timur. Dengan memperhatikan morfologi buah dan daun serta habitat tempat tumbuh, perepat yang dijumpai di peralihan ekosistem gambut dan mangrove tersebut adalah perepat merah (S. caseolaris).
Potensi Tinggi
Berdasarkan pengamatan, sebaran perepat di daerah tersebut memiliki potensi yang cukup banyak. Namun sayangnya belum dimanfaatkan dengan optimal, padahal perepat memiliki berbagai manfaat.
Bagi lingkungan, pohon perepat (khususnya perepat putih) bermanfaat untuk mencegah abrasi laut, menahan gempuran daratan dari ombak. Pohon perepat juga merupakan habitat atau tempat hidup satwa air, berupa udang dan kepiting, serta tempat singgah burung migran.
Tidak hanya itu. Daun muda dapat dimakan segar sebagai lalapan dan diolah menjadi keripik dan rempeyek daun perepat.
Buahnya, yang berasa asam segar, mengandung vitamin A, B1, B2, dan C. Buah perepat juga mengandung karbohidrat, protein dan lemak, secara berturut-turut sebesar 77.57%, 9.21% dan 4.82% dari bobot keringnya (Manalu dkk. 2013), sehingga bisa diolah menjadi produk olahan pangan berupa sirup, dodol, selai dan kue.
Menurut Warningsih dkk. (2018), pengolahan buah perepat menjadi sirup membutuhkan biaya produksi Rp. 48.500.- kg, dan menghasilkan 8 botol sirup buah perepat dengan volume 350 ml. Dengan harga jual Rp 10.000,- per botol sirup, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp. 3.900,- per botol.
Daun dan kulit kayu perepat dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam proses pembuatan batik ecoprint (Risnasari et al. 2021). Pewarna alami batik dari daun dan pepagan perepat berasal dari kandungan senyawa antosianin. Pewarna alami bersifat ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan limbah beracun seperti pewarna tekstil buatan.
Dukung Ekonomi Hijau
Pemanfaatan daun, buah, dan kulit kayu perepat menjadi produk pangan dan pewarna alami secara berkelanjutan, tentu, merupakan upaya untuk memberikan nilai tambah bagi perepat, dan peningkatan ekonomi rakyat. Pengembangan perepat secara berkelanjutan perlu dilakukan secara terintegrasi, mulai dari hulu hingga hilir.
Budidaya perepat di bagian hulu dilakukan agar menghasilkan bahan baku yang cukup setiap saat. Selain itu, peningkatan kapasitas masyarakat pun perlu dilakukan melalui pelatihan pengolahan perepat serta teknik pengemasan produk.
Selanjutnya di bagian hilir, pasar produk-produk olahan dan pewarna alami perepat dibuka dan dapat diakses oleh masyarakat yang hidup di tepian sungai dan sekitar hutan. Pemanfaatan dan pengembangan sumber daya perepat secara berkelanjutan mendukung ekonomi hijau nasional.
*Perekayasa Muda, **Peneliti Ahli Utama, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional