Oleh: Bugi Sumirat*)
Mereka sangat berkeyakinan bahwa bila hutan adat yang mereka miliki terjaga, maka masyarakatpun sejahtera.
BEBERAPA waktu berlalu penulis mengunjungi Desa Rantau Kermas, Kec. Jangkat, Kab. Merangin, Provinsi Jambi. Tujuannya ialah untuk melaksanakan kegiatan penelitian tentang ‘Dampak Penetapan Hutan Adat terhadap Perilaku Pengelolaan dan Kelestarian Hutan’.
Di sebuah jembatan, di pinggir jalan, ada tulisan tentang lubuk larangan. Pikiran pertama yang berkecamuk di pikiran adalah, wah, nuansa mistis yang kental. Apalagi istilah lubuk larangan, terdengar agak menyeramkan?
Ternyata, kata ‘lubuk’ terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti: 1) bagian yang dalam di sungai (laut, danau, dan sebagainya); 2) berlekuk dalam; daerah hidrosfer yang kedalamannya dapat mencapai 6.000 kaki atau lebih di lautan dan 1.000 kaki atau lebih dan yang tidak tertembus oleh cahaya matahari.
Dari papan pengumuman yang tertempel di pinggir jalan tersebut, tertulis pengumuman yang sangat tegas dan keras.
Judul pengumumannya adalah ‘Kawasan Lubuk Larangan Desa Rantau Kermas.’ Isi pengumumannya: Dilarang melakukan penangkapan ikan di lokasi tersebut. Barang siapa yang kedapatan melakukan penangkapan ikan, maka dihukum dengan sanksi adat beras 20 gantang, kambing 1 ekor dan uang 2 juta rupiah.
Cukup tegas aturan Lubuk Larangan ini. Dan konon, Lubuk Larangan ini baru bisa dipanen setelah 3 (tiga) tahun. Dalam kurun waktu tersebut, anggota MHA Serampas berpuasa untuk menangkap ikan di areal Lubuk Larangan tersebut. Sama sekali tidak boleh. Boleh untuk tempat melepas lelah saja, sambil memberi makan ikan.
Kearifan Lokal
Menurut tokoh masyarakat Serampas, sebutan untuk Masyarakat Hukum Adat di Desa Rantau Kermas ini, pernah kedapatan beberapa orang mencuri kesempatan memancing di situ. Tertangkaplah mereka, lalu mendapat sanksi adat seperti tercantum dalam papan pengumuman tersebut.
Ternyata mereka berasal dari luar Desa Rantau Kermas. Mereka mencoba memancing di kawasan Lubuk Larangan, karena mengira bahwa kawasan Lubuk Larangan minim pengawasan. Padahal, masyarakat setempat mengawasinya dengan cermat.
Tujuan Lubuk Larangan –yang ditetapkan sepanjang kurang lebih 3 (tiga) kilometer itu, menurut tokoh masyarakat Serampas, adalah untuk menjaga keberadaan ikan di sungai, menjaga satwa air dan kelestarian alam secara umum. Disamping itu, dapat meningkatkan ekonomi MHA secara khusus.
Bila masa panen tiba, maka masyarakat Desa Rantau Kermas akan melaksanakan ritual dan kegiatan panen secara bersama-sama. Ikan-ikan yang dikumpulkan sebagian besar dijual untuk menambah kas desa –yang nantinya akan kembali memberi keuntungan kepada masyarakat, sebagian dinikmati bersama-sama dan sebagian lagi –yang berukuran kecil dibiarkan berada di sungai untuk ‘modal’ mereka saat menetapkan kembali Lubuk Larangan dengan jangka waktu tertentu. Cara panennyapun melalui cara-cara yang bijaksana, yang biasa digunakan tanpa merusak alam lingkungan sungai.
Dalam praktiknya, kearifan kawasan Lubuk Larangan ini, areal dan jangka waktunya, ditetapkan bersama oleh MHA Serampas. Kesepakatan ini menetapkan kawasan Lubuk Larangan itu sebagai kawasan terlarang untuk mengambil ikan dengan cara apapun termasuk cara-cara yang dapat merusak lingkungan sungai. Sanksi Adat telah menanti terhadap mereka yang berani melanggarnya. Baik untuk kalangan dalam MHA Serampas, ataupun masyarakat/warga luar yang melakukan pelanggaran, akan terkena sanksi tersebut.
Sejauh ini, yang melakukan pelanggaran dan dikenai sanksi adat menurut catatan mereka adalah warga luar Rantau Kermas. Warga Rantau Kermas, berdasarkan hasil wawancara, tidak ada yang berani melanggar kesepakatan Adat tersebut dan akan sangat merasa malu bila melanggar hukum/kesepakatan Adat yang telah ditetapkan.
Hal lain yang menonjol adalah; bahwa Masyarakat Hukum Adat Serampas sangat menjaga alam lingkungannya dengan baik. Mereka melihat Lubuk Larangan dengan Hutan Adat –yang mereka beri nama: ‘Hutan Adat Depati Karo Jayo Tuo’, merupakan suatu kesatuan.
Bila mereka menjaga, memelihara dan merawat Hutan Adatnya maka kebutuhan air mereka untuk kebutuhan sehari-hari, irigasi pertanian hingga ketersediaan air sungai sebagai pasokan utama listrik mereka yang bersumberkan mikro hidro akan dapat terjaga dan baik.
Raih Kalpataru
Hutan Adat Depati Karo Jayo Tuo atau yang lebih dikenal dengan nama Hutan Adat Marga Serampas, dengan luas sekitar 24 Hektar mendapatkan status penetapannya melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor SK.6745/MenLHK-PSKL/KUM.I/12/2016 pada tanggal 28 Desember 2016.
Untuk Lubuk Larangan mereka telah merencanakan membuat rangkaian ekowisata, apalagi Masyarakat Hukum Adat Serampas telah memperoleh bantuan dua buah bangunan sederhana. Bangunan itu sebagian besar terbuat dari kayu, sumbangan dari Dinas Pariwisata Kabupaten, gunanya adalah sebagai penginapan yang nantinya akan dikelola oleh Bumdes. Rangkaian wisatanya dapat berupa tracking (perjalanan) melintasi Hutan Adat, lalu ke Lubuk Larangan, sambil menikmati makan siang dan memberi makan ikan di Lubuk Larangan.
Saat meninjau Lubuk Larangan, sayapun menikmati asyiknya memberi makan ikan yang bergerombol hilir mudik di sungai, dengan melempar serpihan roti ataupun nasi. Mereka –ikan-ikan itu berebutan mengambil makanan yang kita lemparkan ke sungai. Sangat-sangat menyenangkan. Untuk itu, saya dapat memahami mengapa mereka memasukkan ke dalam agenda ekowisata mereka berupa pemberian makan ikan di Lubuk Larangan sambil menikmati makan siangnya.
Aktifnya MHA Serampas mengelola alam lingkungannya, oleh pihak luar telah dianggap berhasil. Untuk itulah, pada tahun 2020, pengelola hutan adat di kawasan ini mendapat penghargaan Kalpataru.
Kegiatan-kegiatan masyarakat, terutama inisiatif masyarakat, seperti yang diperlihatkan Masyarakat Hukum Adat Serampas ini sangat perlu untuk diapresiasi dan mendapat dukungan semua pihak. Apalagi mereka sangat berkeyakinan bahwa bila Hutan Adat yang mereka miliki terjaga, maka masyarakatpun sejahtera, termasuk memelihara adat Lubuk Larangan tersebut.
*)Peneliti Sosiologi Kehutanan, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)