Oleh : Dina Roffida Haqqi Daqianus*)
BENIH bermutu merupakan unsur vital kesuksesan pertanian di masa kini dan mendatang, termasuk benih hortikultura sayur. Berbagai kebijakan hadir sebagai pedoman dalam menciptakan jaminan mutu benih dengan melibatkan berbagai pihak yang saling berkolaborasi dalam kemajuan perbenihan nasional.

Upaya strategis telah dilakukan untuk mendorong industri benih, sebagai pelaku utama pemasok benih unggul dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kebutuhan benih. Sertifikasi benih menjadi penting keberadaannya sebagai bukti konkret penjaminan mutu sejak benih diproduksi di lapang hingga benih berlabel siap diedarkan.
Proses yang mengacu pada Kepmentan 642/Kpts/HK.150/D/X/2024 tentang sertifikasi benih hortikultura tersebut, tentu memerlukan curahan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kenyataannya, industri benih nasional kita menghadapi berbagai tantangan yang tidak hanya ditentukan oleh perubahan cuaca lapang, tetapi juga cuaca dalam sektor bisnis.
PSEKP (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) dalam tulisannya mengkaji tantangan perbenihan hortikultura.
Salah satunya 15/Permentan/HR.060/5/2017 mengenai ketidaksesuaian, di-amandemen menjadi Permentan Nomor 17/Permentan/HR.060/4/2018 tentang pengeluaran dan pemasukan benih hortikultura.
Jika disandingkan dengan Permentan Nomor 37/Permentan/HK.140/8/2016 tentang sarana hortikultura yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, Permentan Nomor 15/Permentan/HR.060/5/2017 menyatakan pemasukan benih dapat dilakukan dengan tujuan pengadaan benih bermutu untuk kepentingan komersial (pasal 6b) dengan syarat harus dilakukan tidak melebihi dua tahun (pasal 12 ayat 2).
Pelaksanaannya, terdapat waktu toleransi dari pemerintah terhadap impor benih F1 sejak varietas terbit, yang mana parental seed tersebut berasal dari introduksi luar negeri.
Selain itu, impor benih sayuran saat ini umumnya dilakukan pada komoditi bayam, brokoli, bunga kol, kubis, kalian, sawi putih, sawi pahit, sawi sendok, bawang merah, bawang daun, bawang bombay, timun Jepang, paprika, seledri, parsley, lobak, bit, dan zucchini. Komoditi tersebut dianggap tidak efisien secara ekonomi jika diproduksi di dalam negeri, sehingga dilakukan impor.
Hal ini bertentangan dengan Permentan Nomor 37/Permentan/HK.140/8/2016 dimana benih sayuran sebagai salah satu sarana hortikultura yang belum dapat diproduksi dalam negeri, disebutkan pada lampiran meliputi komoditi kubis, lobak, brokoli dan sawi putih. Implikasinya, benih impor selain yang disebutkan tersebut, tetap beredar di pasar domestik dengan alasan dibutuhkan oleh petani.
Cenderung Meningkat
Melengkapi fenomena tersebut, fakta terkini ditunjukkan melalui data Trade Map 2025 (HS 12099) dimana nilai impor benih sayuran Indonesia cenderung mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir. Peningkatan tertinggi sebesar 39% terjadi pada tahun 2023 dengan nilai impor 13.278 ribu U$ dari nilai impor sebelumnya sebesar 9.570 ribu U$.
Data impor sementara tahun 2024 menunjukkan angka 12.902 U$, dimana nilai tersebut menunjukkan terjadi sedikit penurunan. Moh. Aris, S.P, M.P, selaku ketua umum IPBH (Ikatan Produsen Benih Hortikultura) mengatakan bahwa saat ini IPBH sedang berupaya agar pemasukan benih dengan tujuan komersil agar ditiadakan, kecuali pada komoditas yang memang tidak bisa diproduksi di Indonesia.
Hal itu sejalan dengan program IPBH untuk melakukan penguatan industri benih nasional melalui inovasi breeding lintas sektoral seperti mendorong lebih banyak muncul industri yang berfokus menciptakan varietas baru dengan spesifik komoditas; aktualisasi bank benih dengan melibatkan Perguruan Tinggi, Litbang, Kementan, PERIPI, dan PVT; serta meningkatkan pengetahuan breeder lokal terutama anak negeri dengan pelatihan-pelatihan.

Teori perdagangan juga menyebutkan, larangan impor atas suatu komoditi tertentu dapat dilakukan dengan tujuan melindungi industri yang baru berkembang. Hal ini sejalan data yang disampaikan ketua umum IPBH bahwa 44% anggotanya masih pada tahap berkembang. Sedangkan sisanya sebesar 25% pada tahap berproses, 17% merupakan industri besar, dan 14% sudah berorientasi ekspor.
Dosen Kebijakan Pertanian IPB University, Dr. Nia Kurniawati Hidayat, S.E., M.Si menyebutkan kebijakan memang seharusnya berpihak pada industri benih nasional. Kolaborasi yang telah berjalan antara berbagai pihak yang berkepentingan dapat terus dilaksanakan, termasuk dengan adanya kegiatan-kegiatan pelatihan. Harapannya, melalui naungan IPBH, tujuan mencapai industri benih sayuran nasional yang bermutu dan mandiri dapat terealisasikan sehingga industri benih nasional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Tentang Penulis

Dina Roffida Haqqi Daqianus, S.P adalah Mahasiswi Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University. Penulis kelahiran 1998 ini melanjutkan pendidikan yang selinier dengan pendidikan sebelumnya, yaitu Program Studi Agribisnis, Universitas Jember (2017 – 2021).
Setelah lulus Pendidikan sarjana, penulis mencoba membangun karir dengan memasuki dunia kerja di bidang perbenihanhortikultura, sebagai pegawai swasta dan mengantarkan penulis hingga tergabung dalam kepengurusan IPBH (Ikatan Produsen Benih Hortikultura).
Keingintahuan yang besar dan semangat belajar yang dimiliki oleh penulis, akhirnya membuat penulis memutuskan untuk berhenti bekerja dan melanjutkan studi magister dengan minat topik studi yang saat ini diambil adalah perdagangan dan pemasaran pertanian.***
No comment