Harga beras dan sejumlah bahan pokok lain, kini merangkak naik. ‘Biang kerok’-nya berbagai faktor, termasuk dampak perubahan iklim.
DALAM beberapa waktu terakhir ini, terutama sejak pergantian tahun, tak terdengar lagi teriakan;”beas…beas” di Kampung Arca, Sukawangi – Puncak Dua, Bogor. Emak-emak penggendong beras yang biasa menjajakan bahan pangan pokok itu, akhir-akhir ini tak satupun kelihatan.
Warga yang umumnya petani hortikultura (sayur dan tanaman hias) di kawasan itu, akhirnya membeli beras ke pasar, lumayan jauh di luar desa. Sebagian membeli beras di Pasar Tradisional Cipanas atau ke minimarket (Alfa, Indomaret) yang juga di luar desa.
Harganya pun berbeda jauh. Jika selama ini, beras gendongan emak-emak itu sekitar Rp 7.000,- per liter (atau setara kisaran Rp 9.000,- per kilogram). Kini petani Sukawangi membelinya di pasar dengan harga mencapai Rp 11.000,- atau lebih per kilogramnya. Belum lagi ditambah biaya transport dari kampung ke pasar.
Seperti diketahui, hingga saat ini, ojeg dan kendaraan motor roda dua adalah transportasi utama di kawasan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Pasar Cipanas itu. Jelas, ongkos pasti lebih mahal dibanding angkot.
Lalu kemana ibu-ibu penjaja beras itu? Ternyata, sejak akhir tahun 2022 lalu persawahan di sekitar Puncak Dua tidak berproduksi.
Seperti pernah diberitakan GI (greenindonesia.co, 28 Juni 2020), bahwa para penjual beras keliling itu adalah petani padi. Mereka menjual sendiri hasil panen yang sudah digiling. Jelas, beras dalam gendongan itu masih baru, segar dan hangat.
Harga Naik
Kondisi di Desa Sukawangi – Puncak Dua Bogor tersebut adalah sekelumit cerita terkait pangan (beras) akhir-akhir ini. Boleh jadi, hal demikian merupakan ’potret’ daerah lain di Indonesia. Banyak sekali mediamassa yang mengabarkan bahwa harga beras dan berbagai bahan pangan lain, akhir-akhir ini memang sedang merangkak naik.
Seperti dikutip dari merdeka.com – Bank Dunia menyebut harga beras yang menjadi makanan pokok di Indonesia sangat mahal. Bahkan harganya lebih tinggi dari negara-negara di ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.
Harga eceran beras Indonesia secara konsisten menjadi yang tertinggi di ASEAN selama satu dekade terakhir, 28 persen lebih tinggi dari harga di Filipina dan dua kali lipat harga di Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menyebut proses produksi beras di Indonesia sangat tidak efisien. Akhirnya, harga jual beras di dalam negeri pun semakin mahal.
Banyak lagi pendapat berseliweran terkait naiknya harga pangan, terutama beras akhir-akhir ini. Mulai dari dampak perubahan iklim yang berakibat gagal panen, penurunan produksi akibat alih fungsi lahan persawahan, harga pupuk subsidi serta pestisida dan lain sebagainya.
Dalam diskusi Indef: Efek Resesi Global terhadap Ekonomi Politik Indonesia 2023, medio Desember lalu, Ekonom Senior Indef, Muhammad Nawir Messi, mengatakan bahwa 33 negara telah menyatakan menutup perdagangan pangannya keluar negeri. Tentunya hal ini akan berdampak kepada Indonesia yang notabene masih banyak mengimpor bahan pangan dari luar negeri.
Perubahan Iklim
Sejak jauh hari, banyak pihak mengingatkan jika ketahanan pangan nasional berpeluang akan terpengaruh dampak perubahan iklim. Hal tersebut akan terjadi jika sistem pertanian Indonesia tidak disiapkan dengan baik.
Beberapa dampak perubahan iklim antara lain adalah cuaca ekstrem, seperti hujan lebat, kekeringan, gelombang panas, dan badai tropis. Hal itu dinilai dapat mempengaruhi proses tanam dan hasil pertanian nasional.
***Riz***