Tekan Emisi GRK, Jabar Menunggu Mitra

Isu perubahan iklim menuntut peran berbagai pihak, termasuk dunia usaha dalam upaya penurunan emisi GRK. Jawa Barat pun bersiap diri, namun masih menunggu kiprah berbagai pihak sebagai mitra.

BELANTARA Tatar Sunda mencari mitra. Tentunya mitra yang baik, yakni untuk melakukan aksi mitigasi penurunan emisi karbon, sesuai cita-cita republik, demi Indonesia lestari dan sehat.
Untuk itu, beberapa waktu lalu digelar diskusi terkait hal tersebut. Acara yang diinisiasi oleh Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Ir. Budi Mulia, MM itu menghadirkan puluhan Aparatur Sipil Negara (ASN) lingkup Dishut se-Jawa Barat.


Dalam diskusi itu, isu Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menyedot perhatian peserta yang hadir. Lalu bagaimana cara menghadirkan mitra? Tentunya yang bersedia mengakomodir kepentingan masyarakat, logis dalam cost sharing, dan benefit sharing.
Sebagai Pemateri, Dishut Jabar mengundang Praktisi Pembuatan Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) dan Ahli Penghitungan Karbon, Muhammad Ridwan. Usai penyampaian materi singkat, Ridwan yang juga Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL) itupun memberi kesempatan tanya-jawab. Dengan antusias sejumlah peserta pun lontarkan pertanyaan.
Firman, salah-seorang peserta diskusi yang mengaku mengelola hutan adat di Jawa Barat, angkat bicara. “Saya punya areal 180 ha, 31 ha berhutan, ada yang bisa menghitung karbonnya? Apakah masyarakat bisa bermitra dengan perusahaan?”
Banyak lontaran pertanyaan lain dari peserta. Memang, tampaknya forum diskusi tersebut cukup menarik perhatian, apalagi terkait dengan tema terkait isu Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Diantaranya, yang tercatat oleh GI, adalah dari komunitas petani tani aren dan kelompok tani produsen kompos, yang berada di kawasan Sumedang.
Selama ini sebenarnya mereka sudah dibantu oleh perhutani, melalui kegiatan Perhutanan Sosial (PS) di Ciamis. Namun tampaknya, seperti dilontarkan oleh seorang petugas Dishut dari Sumedang, mereka ingin lebih berkembang lagi.
“Nah… inilah penjelasan mengenai proyek karbon yang paling mudah saya pahami. Lalu apa yang bisa kami lakukan ke depannya terkait proyek karbon?” Tutur Agus, dari KPH Sumedang.

Dunia Usaha Wajib
Untuk menghitung karbon, bisa dilakukan,” ucap Ridwan, Sang Pemateri. Tapi, menurutnya, lebih dari itu, harus ada yang bisa membuat nilai ekonomi lahan, mencarikan pasar produk yang dihasilkan. “Disamping itu, terkait NEK, kita bisa menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi. Tentunya melalui kemitraan dengan pihak tertentu (dunia usaha/NGO),” jelas Ridwan.
Menurutnya, dari sisi ekonomi karbon (NEK) nilainya tidak terlalu tinggi. Kurang menggiurkan bagi pihak mitra, apalagi dengan luasan lahan terbatas. Namun perusahaan harus menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara.
Sementara dari segi pendanaan pembuatan DRAM, ada dua dana, CSR dan dana khsusus aksi mitigasi. Namun pelaksanaan tidak bisa langsung menggunakan dana CSR karena itu masuk pada kewajiban. “Dana CSR hanya sebagai tambahan (pendampingan),” tambah Ridwan.

NEK vs Nilai Lahan
Lebih jauh Ridwan menjelaskan, bahwa, ketika masyarakat ikut program kemitraan, maka perlu terlebih dahulu ada jaminan  kepastian lahannya?
“Artinya, dari pihak yang memfasilitasi (Dishut –red) perlu memastikan jika lahan tetap punya masyarakat. Untuk itu perlu dibantu proses legalitasnya, yakni dengan adanya SHM. Ini disebutkan dalam Permen 7 Tahun 2023,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif CKL itupun memberikan masukan yang penting bagi masyarakat, agar tidak salah kaprah dan terjebak. Dikatakannya, bahwa  nilai karbon itu sebaiknya sebagai pendapatan tambahan saja. “Tetap fokuslah pada peningkatan nilai ekonomi lahannya. Untuk itu perlu dikembangkan model-model rehabilitasi yang lebih kreatif,” ungkapnya.

Antusias
“Adakah contoh riil KTH dan Gapoktan yang sudah bermitra dan terbukti sukses? Biar kami bisa studi banding,” sergah Iwan, salah seorang peserta diskusi.
Menanggapi pertanyaan itu, Ridwan pun memaparkan perihal terkait kemitraan pengelolaan hutan dalam rangka penurunan emisi karbon. Dikatakannya, trend karbon seiring isu perubahan iklim, suka atau tidak suka, telah menuntut peran berbagai pihak, termasuk dunia usaha.
Ada tiga hal yang menjadi kewajiban swasta terkait momentum ini. Diantaranya; 1) Kewajiban mengurang emisi langsung. 2) membeli. 3) atau Pajak karbon. Pilihan yang paling disukai oleh kalangan dunia usaha adalah berperan secara langsung mengurangi emisi. 
“Artinya, pihak swasta (perusahaan atau NGO) butuh obyek (lahan/hutan) untuk melakukan kegiatan aksi mitigasi penurunan emisi. Salah-satu caranya adalah lewat kemitraan dengan masyarakat,” jelas Ridwan.

Mencari Mitra
Kesempatan tampaknya terbuka bagi kalangan dunia usaha untuk berkiprah di Tatar Pasundan. Yang dimaksud adalah untuk berkiprah dalam upaya penurunan emisi GRK di tanah air.
Mengapa tidak, selain mencari mitra kerjasama, pihak Dishut Jabar telah membentuk Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR). Hal ini untuk lebih memudahkan, karena selama ini hutan rakyat tersebar/terpencar. Dengan menggabungkan dalam wadah kelembagaan yang berskala lebih besar, diharapkan pengelolaannya akan lebih mudah. Ditambahkannya, jikahamparan lahannya  kecil+kecil dan individua, tentunya tidak ekonomis.
Menurut Budi Mulia, saat ini sudah ada 20-an UMHR di Provinsi Jawa Barat. “Ini untuk mewujudkan pengelolaan HR secara lestari,” jelasnya. Kepada GI Budi mengatakan, bahwa UMHR itu mirip Gapoktan. Perbedaan mendasarnya hanya pada obyeknya, yakni hutan.

“Kita sudah bentuk kelembagaan UMHR, namun karena tidak ada next-nya kami bingung. Dulu UMHR dibentuk utamanya untuk SVLK,” tutur Kabid Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan Dishut Jabar tersebut.
Menanggapi hal itu, Direktur CKL menyarankan agar dilakukan klasterisasi hutan rakya. *Petakan mana untuk pemenuhan industri, mana untuk pemenuhan NEK dan FOLU. Biar balance,” jelas Ridwan

***Aslam/Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *