Oleh:
Siti Fatimah Nurul Qomariyah* dan Rosita Dewi**
PERUBAHAN Iklim secara global ditandai dengan menurunnya curah hujan, dan meningkatnya suhu bumi. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi pangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Penyebab utama perubahan iklim adalah efek rumah kaca. Gas-gas rumah kaca yang terbentuk secara alami maupun akibat dari aktifitas manusia (antropogenik) seperti Karbondioksida (CO2), Nitrous oksida (N2O), Metana (CH4), Hidrofluorocarbons (HFCs), Nitrogen trifluoride (NF3), Sulfur Hexafluoride (SF6), dan Perfluorocarbons (PFCs).
Gas-gas tersebut tidak mudah hilang karena memiliki usia (life time) yang sangat lama. Peningkatan gas rumah kaca (GRK), peningkatan suhu muka bumi, peningkatan permukaan air laut dan berkurangnya tutupan salju di daratan, merupakan beberapa indikator terjadinya pemanasan global
CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia merupakan penyumbang terbesar pemanasan global. Menurut World Meteorological Organization, berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 Negara, akan berpengaruh terhadap krisis pangan.
Bahkan, Organisasi pangan dunia FAO, juga meramalkan tahun 2050 mendatang, dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.
Seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda. Sehingga diperlukan tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini. Indonesia menempati posisi ke empat untuk konsumsi beras terbesar di dunia yaitu 35,200 juta ton GKG (Shahbandeh, 2023).
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2023 mencapai 278.696.2 (BPS, 2023). Upaya pemenuhan kebutuhan pangan dengan meningkatkan produksi padi perlu dilakukan untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Usaha peningkatan produksi padi harus dilakukan meskipun adanya kompetisi sumberdaya lahan dan krisis iklim global.
Total luas panen padi pada tahun 2022 sebesar 10,45 juta hetar, sedangkan total produksi padi tahun 2022 sebesar 54,75 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) (BPS 2022).
Penelitian yang dilakukan Mulyani et al 2016, mengenai Analisis Konversi Lahan Sawah Menggunakan Data Spasial Resolusi Tinggi di sembilan provinsi sentra produksi padi di Indonesia, menghasilkan perkiraan laju konversi lahan sawah nasional sebesar 96.512 hektar per tahun. Dia memprediksi, pada tahun 2045 Indonesia hanya akan memiliki lahan sawah irigasi seluas 5,1 juta hektar.
Sebagai negara agraris, Indonesia dapat mempersiapkan diri untuk menghadapai ancaman tersebut dengan menerapkan praktik budidaya tanaman pangan, kaya nutrisi, tahan terhadap kekeringan, dan mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia.
Informasi Satistik Konsumsi Pangan Tahun 2022, menunjukkan bahwa data konsumsi rakyat Indonesia, meliputi; beras sebesar 93,949 Kg/kap/tahun, jagung sebesar 1,370 Kg/kap/tahun dan tepung terigu 2,750 Kg/kap/tahun.
Sedangkan rata-rata Konsumsi per kapita bahan makanan yang mengandung kedelai sebesar 8,208 Kg/kap/tahun, kacang tanah sebesar 0,301 Kg/kap/tahun, ubi kayu sebesar 5,525 Kg/kap/tahun, keladi/talas dan umbi lainnya 0,944 Kg/kap/tahun, Ubi jalar 3,400 Kg/kap/tahun dan sagu sebesar 0,335 Kg/kap/tahun.
Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat potensi bahan pangan alternatif sumber energi atau karbohidrat selain beras. Pola konsumsi pangan masyarakat terhadap makanan pokok berupa beras, selama ini sebenarnya dapat disubstitusi dengan pangan lainnya seperti umbi, maupun biji-bijian yang merupakan pangan lokal.
Sorghum untuk Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang cukup dalam jumlah dan mutunya, aman merata dan terjangkau. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pangan dalam jumlah yang cukup.
Pangan lokal yang selama ini telah lama dikenal oleh masyarakat, perlu dikonsumsi sebagai bahan substitusi beras, dan dibudidayakan dengan intensif. Pola tanam menunjang ketersediaan pangan dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia baik di lahan basah, kering, maupun marginal. Kesesuaian komoditas dengan agroklimat setempat, menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan tanaman pangan alternatif selain beras.
Sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) merupakan tanaman pilihan, karena dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi lahan, tahan kering, dan dapat dimanfaatan seluruh bagian tanamannya. Selama ini sorghum dapat dijadikan sebagai sumber bahan pangan (sorghum biji), dapat dijadikan pakan (hijauan), maupun dapat dimanfaatkan niranya (batang).
Beberapa wilayah di Indonesia telah berhasil mengembangkan tanaman sorghum. Komoditas ini mempunyai kandungan nutrisi dasar yang tidak kalah penting dibandingkan dengan serealia lainnya, dan mengandung unsur pangan fungsional.
Biji Sorghum mengandung karbohidrat 73%, lemak 3,5%, dan protein 10%, bergantung pada varietas dan lahan pertanaman (Suarni, 2012).
Sorghum merupakan bahan pangan yang mudah diproduksi, toleran terhadap kekurangan air karena adanya lapisan lilin pada batang dan daun shorghum yang dapat mengurangi transpirasi tanaman, mempunyai daerah adaptasi yang luas, keragamana genetiknya besar sehingga memiliki ragam varietas yang sangat berbeda, dapat ditanam secara tumpangsari, tahan terhadap hama dan penyakit.
Sorghum juga dapat digunakan sebagai sumber pangan, sumber pakan, dan sebagai bahan baku industri.
Di Indonesia, tanaman sorgum cocok ditanam di daerah dataran rendah sampai daerah yang berketinggian 800 mdpl dengan curah hujan antara 375-425 mm, suhu optimal pertumbuhan pada sorgum antara 23°C-30°C dan kelembaban relatif 20-40%.
Tanaman sorgum juga masih dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang tergenang atau pada tanah yang berpasir (Siregar, 2021).
Nutrisi dasar sorgum tidak jauh berbeda dengan serealia lainnya. Secara umum kadar protein sorgum lebih tinggi dari jagung, beras pecah kulit, dan jewawut, tetapi lebih rendah dibanding gandum. Kadar lemak sorghum lebih tinggi dibanding beras pecah kulit, gandum, jewawut, dan lebih rendah dibanding jagung (Suarni, 2012). Di Indonesia terdapat 19,9 juta ha lahan kering yang dapat dimanfaatkan bagi Sorghum (Subagio dan Suryawati, 2013). Daya adaptasi Sorghum yang cukup luas, sangat potensial untuk dikembangkan di lahan marginal sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan alternatif selain beras.
Kekeringan merupakan kendala umum dalam budidaya tanaman. Sepertiga dari lahan pangan dunia mengalami kekeringan, yang meningkat dari tahun ke tahun. Langkah-langkah mitigasi diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Penggunaan kompos dan biochar pada tanah Ultisol dapat meningkatkan hasil dan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman kekeringan.
Sensitifitas sorgum terhadap kekurangan air bergantung pada tahap perkembangannya. Tanaman sangat sensitif terhadap kekeringan pada tahap vegetatif dan reproduksi awal. Pertanian dunia menghadapi banyak tantangan seperti memproduksi 70% lebih banyak bahan pangan untuk populasi manusia yang terus bertambah.
Namun, produktivitas tanaman tidak meningkat pada tingkat yang sama dengan permintaan pangan. Produksi varietas yang toleran terhadap garam sangat penting untuk mempertahankan produksi tanaman di daerah yang rawan garam. Sebagai usaha dalam meningkatkan luas lahan tanaman pangan.
Seperti diketahui bahwa 30% lahan pertanian dapat hilang dalam 25 tahun ke depan karena tekanan garam, total kerugian gagal panen diperkirakan dapat mencapai 50% pada tahun 2050 akibat dari perubahan iklim. (Hu et al., 2019).
SDA dan Energi yang Terbatas
Sumber daya alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), adalah sumber daya alam yang hampir tidak pernah habis. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya siklus pembaharuan yang terus terjadi, misalnya keberadaan air yang selalu tetap ada karena daur hidrologi.
Meskipun sumber daya alam yang dapat diperbaharui ini tidak pernah habis, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberadaannya sehingga mempunyai kewajiban untuk menjaga sesuai kegunaannya.
Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat diperbaharui ternyata dapat dimanfaatkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Sumber daya alam berupa tumbuhan merupakan contoh dari SDA hayati yang memiliki keragaman dan jumlah yang banyak. Pemanfaatan sumber daya alam berupa tumbuhan dapat digunakan sebagai bahan pangan.
Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), adalah sumber daya alam yang jika habis maka tidak dapat tersedia dalam waktu yang singkat. Perlu jutaan tahun agar bisa dibentuk atau dihasilkan kembali.
Penggunaan sumber daya alam ini sangat cepat sementara proses tersedia kembali sangat lambat, karena proses pembentukannya yang panjang. Sedangkan ketergantungan kita pada sumber daya alam yang satu ini cukup tinggi.
Di berbagai negara, energi masih diproduksi menggunakan bahan bakar fosil, yang mengakibatkan peningkatan besar emisi karbon dioksida ke atmosfer dan, dengan demikian, berpengaruh terhadap efek rumah kaca. Kondisi seperti ini, perlu dirubah dengan mencari sumber energi alternatif yang jejak karbonnya tidak terlalu membebani lingkungan.
Meningkatnya harga minyak mentah dan pelepasan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer dari bahan bakar fosil membuat bahan bakar nabati alternatif menjadi lebih menarik.
Menurut Sunan et al., (2023) beberapa bahan bakar nabati alternatif, khususnya bioetanol, dan biodiesel, telah diproduksi dan digunakan di seluruh dunia. Produksi bioetanol komersial saat ini bergantung pada sumber daya pertanian, khususnya jagung (di Amerika Serikat), tebu (di Brasil), gandum, jagung, dan singkong (di China), singkong dan tetes tebu hitam (di Thailand). Penelitian terbaru berfokus pada pencarian sumber energi terbarukan.
Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) telah diidentifikasi sebagai salah satu tanaman energi alternatif yang berpotensi tinggi untuk produksi bioetanol karena batangnya yang mengandung karbohidrat yang sangat larut, khususnya gula yang dapat difermentasi seperti sukrosa, glukosa, dan fruktosa.
Selain itu, tanaman ini juga mengandung komponen yang tidak larut seperti selulosa dan hemiselulosa, yang dapat dikonversi menjadi etanol.
Sorghum manis dapat ditanam dan dipanen dalam waktu 100-120 hari, periode penanaman yang lebih pendek dari tebu. Selain itu, sorghum juga dapat dapat dibudidayakan di semua iklim dan jenis tanah dan hanya membutuhkan sedikit pupuk dan hanya membutuhkan 1/3 air lebih banyak dari tebu.
Berdasarkan tinjauan literatur, sorghum manis memberikan hasil etanol yang tinggi 600-650 gal / hektar, dibandingkan dengan hasil etanol dari jagung 450 gal/hektar (Wu et.al, 2010).
Sorghum merupakan tanaman bioenergi yang dapat dikembangkan di Indonesia untuk menghasilkan bioetanol. Etanol berasal dari sorgum yang difermentasi yaitu sekitar 40-55% tergantung kualitas sari sorgum, proses fermentasi dan sterilisasi (Suryaningsih dan Irhas, 2014).
Potensi sorghum (Sorghum bicolor(L.) Moench) layak untuk dikembangkan sebagai sumber pangan dan energi, yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan sumber energi bahan bakar nabati alternatif.***
*Mahasiswa Program Studi Agronomi Pascasarjana IPB, Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Biologi dan Pertanian UNAS Jakarta, **Mahasiswa Program Studi Silvikultur Tropika Pascasarjana IPB, Peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)