Oleh: Ardiyanto Wahyu Nugroho*)
Hutan mangrove di kawasan IKN menyimpan potensi wisata yang cukup besar, sekaligus dapat dikelola untuk tujuan konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
IBU kota baru Republik ini, atau yang disebut ‘Ibu Kota Nusantara (IKN)’ di Provinsi Kalimantan Timur, direncanakan mulai beroperasi tahun 2024. Kawasannya mencapai seluas sekitar 256 ribu hektar.
Kawasan IKN tersebut terdiri dari sejumlah ekosistem seperti hutan tropis, hutan sekunder dan hutan mangrove. Selain hutan, kawasan IKN terdapat juga pemukiman, lahan pertanian masyarakat maupun perkebunan.
Untuk ekosistem mangrove, keberadaannya dapat dikatakan terancam oleh alih fungsi lahan pasca-penetapan IKN. Mengapa? Karena statusnya sebagian besar bukan merupakan kawasan hutan negara. Namun demikian, hutan mangrove di kawasan IKN menyimpan potensi wisata yang cukup besar, sekaligus dapat dikelola untuk tujuan konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Saat ini, terdapat sejumlah destinasi ekowisata di kawasan IKN yang dikelola oleh masyarakat yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove.
Bekantan Sungai Hitam Samboja
Sungai Hitam Samboja merupakan ekosistem mangrove yang merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) Merdeka. Secara administrasi, wilayah Sungai Hitam terletak di dua kelurahan, yaitu Kampung Lama dan Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Lokasi Sungai Hitam dekat dengan pantai Tanah Merah, sekaligus juga bermuara di pantai tersebut. Dari kota terdekatnya, Balikpapan, ke Sungai Hitam dapat ditempuh melalui jalur darat biasa. Lama perjalananj sekitar 1,5 jam (jarak + 55 km). Sedangkan jika ditempuh dari ibu kota Propinsi Samarinda, jaraknya mencpai sekitar 85 km. Lalu dari pusat pemerintahan IKN, Sungai Hitam dapat ditempuh sekitar 1,5 jam perjalanan.
Daya tarik utama ekowisata bekantan di Sungai Hitam adalah menyusuri sungai dengan kapal mesin kecil berkapasitas penumpang 6 – 8 orang. Pengunjung disarankan mendatangi wisata ini pagi atau sore hari, saat Bekantan mencari makan pada pohon pakan di pinggir sungai.
Selain itu, pengunjung ditawarkan untuk melihat kampung nelayan di Kelurahan Kuala Samboja yang tersambung dengan muara sungai hitam yaitu pantai Tanah Merah.
Perjalanan menaiki kapal dimulai di dermaga yang terletak di Kampung Lama, total perjalanan pulang pergi biasanya sekitar 1,5 jam. Fasilitas yang terdapat di Sungai Hitam saat ini sangat terbatas, hanya terdapat satu toilet, dermaga dan 6 perahu motor.
Habitat bekantan berada di sebelah kanan dan kiri Sungai Hitam yang berbatasan langsung dengan rumah penduduk serta jalan raya. Satwa tersebut tinggal di areal bervegetasi seluas 67,6 ha.
Namun, habitat bekantan di Sungai Hitam juga dikelilingi oleh kawasan perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara dan beberapa pabrik. Oleh karena itu, habitat ini penting tidak hanya untuk bekantan saja namun juga bagi makhluk hidup lain sebagai tempat berlindung (refuge area).
Dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012, jumlah bekantan yang teridentifikasi di Sungai Hitam adalah total 143 ekor. Setelah tahun itu, belum pernah lagi dilakukan penelitian untuk mengetahui jumlah Bekantan terkini.
Ekowisata di Sungai Hitam mulai diperkenalkan pada tahun 2010 , dengan mengandalkan para wisatawan pengunjung Yayasan BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) sebagai alternatif tujuan wisata bagi pengunjung yayasan tersebut. Meskipun yayasan tersebut bergerak dalam rehabilitasi orangutan, namun mereka mempunyai fasilitas seperti penginapan bertaraf internasional.
Orangutan dijadikan atraksi untuk menarik minat pengunjung sekaligus sebagai salah satu sumber dana untuk upaya konservasi orangutan. Saat ini, tren tersebut tidak berubah meskipun turis lokal juga beberapa kali terlihat berkunjung.
Ekowisata Mangrove Mentawir
Hutan Mangrove Mentawir merupakan bagian dari ekosistem mangrove Teluk Balikpapan yang terletak di bagian utara atau mendekati daerah hulu. Hutan tersebut berada di Kelurahan Mentawir, Kecamatan Penajam. Luasnya mencapai 2.300 hektar. Sekitar 13% diantaranya merupakan bagian dari kawasan Teluk Balikpapan, seluas 1.700 hektar di bawah konsesi PT. Inhutani, dan 300 hektar diantaranya dialokasikan untuk ekowisata.
Sebagian penduduk Mentawir juga menggantungkan hidupnya dari ekosistem mangrove, seperti nelayan dan pemandu wisata. Sejak tahun 2010 masyarakat Kelurahan Mentawir sudah tidak mengambil kayu dari hutan. Kelurahan itu sendiri merupakan salah-satu desa tujuan wisata dan kampung iklim.
Hutan Mangrove Mentawir dapat diakses lewat darat maupun laut dari Kota Balikpapan. Akses darat dapat ditempuh sekitar 2,5 hingga 3 jam dari Balikpapan. Sedangkan akses laut ditempuh lebih singkat dari pelabuhan Kampung Baru, Balikpapan, sekitar 30 menit.
Lamanya waktu tempuh akses darat dari Balikpapan ke lokasi ini disebabkan perjalanan harus memutar yaitu melewati Kecamatan Samboja terlebih dahulu. Jika jalan dari Balikpapan menuju Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN terealisasi maka waktu tempuh ke Mentawir menjadi jauh lebih singkat.
Di Desa Mentawir telah terbentuk sebuah kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Tiram Tambun. Kelembagaan warga ini dibentuk untuk mengelola sejumlah potensi wisata di wilayah tersebut, yaitu wisata mangrove, air terjun, dan trek bambu.
Pengelolaan potensi wisata di tempat tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja baru, sekaligus juga untuk melestarikan hutan mangrove.
Pokdarwis tersebut sudah memproduksi beberapa produk turunan dari hutan mangrove yaitu sirup pedada, dodol, dan bedak dingin. Selain fungsi ekonomis bagi warga kelurahan, HMM juga mempunyai fungsi ekologis seperti melindungi dari abrasi air laut, mencegah banjir, habitat bagi sejumlah biota laut maupun darat, dan penyerap karbon.
Teluk Balikpapan
Wilayah Kota Balikpapan mempunyai sejumlah fragmen hutan mangrove. Salah-satunya yaitu hutan mangrove yang terletak di sekitar Teluk Balikpapan.
Kawasan Teluk Balikpapan mempunyai luas sekitar 16.831 hektar. Sumber lain menyebutkan, luas Teluk Balikpapan mencapai 20.301 hektar. Lokasi ini merupakan habitat penting bagi primata dilindungi, yaitu Bekantan (Nasalis larvatus).
Hutan Mangrove Teluk Balikpapan juga berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Sungai Wain yang masuk wilayah hutan lindung dan dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Balikpapan.
Selain Bekantan, kawasan Teluk Balikpapan juga merupakan habitat beberapa satwa dilindungi lainnya, yaitu Pesut, Kura-kura hijau dan dugong. Teluk Balikpapan sendiri merupakan tempat bermuaranya 54 sungai.
Untuk menyusuri Teluk Balikpapan dan melihat hutan mangrove, pengunjung dapat memulai perjalanan dari Pelabuhan Semayang yang terletak di Balikpapan Kota atau Pelabuhan Kampung Baru yang terletak di Balikpapan Barat. Di sini, pengunjung akan menaiki perahu kecil atau yang disebut dengan nama lokal ‘klotok’ dengan kapasitas 4 – 6 penumpang.
Biaya perjalanan berkisar antara Rp 350 ribu – Rp 500 ribu per trip, sesuai dengan ukuran kapal. Biaya perjalanan dari Pelabuhan Semayang tentunya lebih mahal karena perjalanan menyusuri Teluk Balikpapan akan lebih panjang.
Dari pelabuhan, pengunjung akan melihat pemandangan pemukiman penduduk di sekitar pelabuhan. Hutan mangrove akan terlihat beberapa saat setelah perahu berangkat di sebelah kanan dan kiri. Pengunjung juga akan melewati bagian bawah jembatan Pulau Balang yang mengubungkan Balikpapan dengan Penajam.
Teluk Balikpapan merupakan kawasan yang sangat strategis bagi perekonomian Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Di tempat itu terdapat sejumlah fasilitas penunjang perekonomian untuk kedua kota tersebut.
Beberapa fasilitas itu diantaranya kawasan industri seluas 2.189 ha yang dibangun oleh Pemerintah Kota Balikpapan, pembangkit listrik dengan kapasitas 2 x 110 megawatt milik PT. PLN, serta beberapa pelabuhan milik sejumlah perusahaan tambang batubara, dan beberapa pelabuhan lokal yang menghubungkan Balikpapan dengan Penajam Paser Utara.
Sejumlah nelayan juga beraktivitas mencari hasil laut di kawasan Teluk Balikpapan. Hal tersebut menyebabkan ancaman tersendiri bagi ekosistem mangrove di kawasan Teluk Balikpapan.
Mangrove Center Graha Indah
Hutan Mangrove Graha Indah atau Mangrove Center berada di Kelurahan Graha Indah, Kecamatan Balikpapan Utara. Dari pusat kota Balikpapan, lokasi wisata ini dapat ditempuh sekitar 10 – 20 menit, tergantung kondisi lalu lintas jalan.
Boleh dikatakan bahwa wisata ini memiliki aksesibilitas terbaik karena berada di wilayah kota, kondisi jalan baik dan pilihan transportasi cukup banyak. Bahkan, ojek online pun dapat menjangkau tempat wisata ini dari pusat kota. Wisata ini dikelola oleh masyarakat lokal yang diketuai oleh Agus Bei, seorang tokoh masyarakat setempat yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.
Di lokasi wisata, terdapat dermaga dengan beberapa kapal untuk mengangkut penumpang.
Sama seperti wisata Bekantan Sungai Hitam, pengunjung wisata mangrove Graha Indah dapat menyusuri sungai kecil yang ada di dalam hutan mangrove, dari demaga menuju Teluk Balikpapan.
Lama perjalanan biasanya 1,5 – 2 jam pulang pergi. Biaya sewa kapal adalah sekitar Rp 300 ribu sekali perjalanan, dengan kapasitas penumpang 6 – 8 orang. Ada juga kapal dengan kapasitas penumpang yang lebih banyak. Oleh karena itu, pengunjung disarankan untuk datang berombongan untuk menghemat sewa kapal.
Untuk mereka yang tidak mau naik kapal, karena sejumlah alasan, pengunjung bisa melihat-lihat hutan mangrove di sekitar dermaga, di sepanjang jembatan kayu dengan panjang sekitar 150 meter. Pengunjung juga dapat berfoto di sepanjang jembatan kayu tersebut dengan latar belakang hutan mangrove.
Bila beruntung, pengunjung dapat berjumpa dengan bekantan di sekitar dermaga tanpa harus menyusuri sungai.
Yang membedakan dengan wisata Sungai Hitam adalah; satwa Bekantan di Graha Indah dapat dijumpai hampir setiap waktu sepanjang hari, tidak terbatas pada pagi dan sore hari. Artinya, kesempatan pengunjung untuk dapat bertemu dengan bekantan cukup besar.
Jadi, kapanpun pengunjung datang di sepanjang hari, kemungkinan untuk berjumpa dengan bekantan cukup tinggi. Meskipun demikian, sekumpulan bekantan akan segera menjauh bila kapal tidak hati-hati mendekat. Hal tersebut berbeda dengan bekantan di Sungai Hitam yang relatif tidak takut terhadap pengunjung sehingga pengunjung dapat melihat satwa tersebut lebih dekat.
Kondisi hutan mangrove Graha Indah masih cukup baik. Selain untuk wisata hutan ini dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan dan memancing.
*)Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional