Menurut Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, dari perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia tengah berada di persimpangan jalan (at across road).
KEHIDUPAN kian ‘menghadap’ ke laut, dan pelestarian ekosistem pesisir dan laut adalah taruhannya. Mengapa tidak? Fakta menunjukkan, bahwa sumber daya alam di darat semakin menipis (langka) atau semakin sulit untuk dikembangkan. Dengan demikian, maka peran pesisir dan lautan akan semakin penting.
Hal itu disampaikan pakar kelautan IPB, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, pada Konferensi Nasional X Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil, 9-10 Nopember 2021.
Menurut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dan pendiri PKSPL-IPB itu, kapasitas dan daya dukung ekosistem bumi dalam menyediakan segenap bahan kebutuhan manusia itu terbatas, bahkan menurun akibat kerusakan lingkungan dan pemanasan global (global warming). Sementara saat ini sekitar 1 milyar penduduk dunia masih miskin absolut/fakir (spending< US$ 1,25/hari) (14%), 3 milyar penduduk dunia masih miskin (spending< US$ 2/hari) (41%). Hanya 55 negara (28%) yang yang sudah maju dan makmur (World Bank, 2014; World Bank, 2020).
“Wilayah di bumi yang paling tertekan akibat berbagai jenis kerusakan lingkungan dan global warming adalah wilayah pesisir, karena: sekitar 60% penduduk dunia tinggal dan 65% kota-kota dunia terdapat di wilayah ini,” papar Rokhmin.
Dilematis Indonesia
Dalam konferensi itu, lebih jauh Rokhmin mengatakan, bahwa kondisi yang mencemaskan tentang ancaman terhadap keberlanjutan (sustainability) planet bumi dan ekosistem pesisir pada tataran global, dalam banyak hal (tosome extent) juga terjadi di Indonesia.
“Namun, karena Indonesia masih sebagai negara-berpendapatan menengah bawah dengan GNI (Gross National Income) per kapita US$ 3,870 dan tingkat kemiskinan yang tinggi, sekitar 10,2% total penduduk (BPS, 2021) dan 37% total penduduk (World Bank, 2021). Maka, Indonesia terpaksa (dilematis) masih harus meningkatkan laju (intensitas) pembangunan (pemanfaatan SDA & JASLING) di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut,” jelasnya.
Ditambahkannya bahwa sejumlah wilayah pesisir dan laut Indonesia telah mengalami berbagai kerusakan lingkungan (pollution, overfishing, deforestasi mangroves, konversi ekosistem alam pesisir menjadi man-made ecosystem, biodiversity loss, dll) yang telah mengancam sustainable capacity dari wilayah pesisir tersebut untuk mendukung pembangunan ekonomi ke depan.
Padahal, total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun atau US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. Laut juga memberikan lapangan kerja 45 juta orang atau 40% dari total angkatan kerja Indonesia.
“Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Padahal negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya lebih dari 30%,” tutur mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.
Menurutnya, dari perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia tengah berada di persimpangan jalan (at across road).
***Riz***
No comment