Salah-satu pembahasan dalam COP26 di Skotlandia ialah soal mitigasi dan adaptasi mangrove, seperti dipaparkan Virni Budi Arifanti, salah-seorang dari delegasi Indonesia di KTT tersebut.
GLASGOW, Skotlandia (07/11/21). Mangrove merupakan salah-satu materi yang tak kalah menarik disajikan oleh delegasi Indonesia di KTT-COP yang digelar di kota tersebut tahun ini. Adalah Virni Budi Arifanti, Ph.D yang tampil menyajikan materi itu. Ekosistem hutan pesisir tersebut, dikatakannya, tak kalah penting dalam mengantisipasi perubahan iklim global.
Dalam materinya, Doktor jebolan Oregon State University itu memaparkan peran penting ekosistem mangrove dalam menyelamatkan dunia, serta begitu besarnya perhatian Indonesia dalam upaya penurunan emisi CO2 melalui rehabilitasi dan pelestarian hutan mangrove.
Seperti diketahui, bahwa sejumlah pemimpin dunia menghadiri KTT yang membahas perubahan iklim, COP26, di Glasgow, Skotlandia, mulai 31 Oktober hingga 12 November 2021. COP26 adalah konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di planet ini, sebagaimana dilansir dari situs web PBB.
Darurat Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah berubah menjadi darurat global yang mengancam banyak jiwa dalam tiga dekade terakhir. Meskipun ada komitmen baru yang dibuat oleh negara-negara menjelang COP26, beberapa peneliti memprediksi kenaikan suhu global akan naik 2,7 derajat Celsius pada abad ini. Kenaikan suhu sebesar itu pada akhir abad ini akan menyebabkan kerusakan yang sangat masif di muka bumi dan mengakibatkan banyak bencana alam.
Bahkan Sekjen PBB, Antonio Guterres, dengan blak-blakan menyebutnya sebagai bencana iklim, yang sudah dirasakan hingga tingkat yang mematikan di bagian paling rentan di dunia. “Jutaan orang sudah mengungsi bahkan terbunuh oleh bencana yang diperburuk oleh perubahan iklim,” ulasnya.
Bagi Guterres, dan ratusan ilmuwan di Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), ambang batas 1,5 derajat Celsius adalah satu-satunya jalan untuk mencegah kerusakan lebih parah di muka bumi.
“Jam terus berdetak. Dan untuk membatasi kenaikan, dunia perlu mengurangi separuh emisi gas rumah kaca dalam delapan tahun ke depan. Ini adalah tugas besar yang hanya dapat dilakukan jika para pemimpin yang menghadiri COP26 datang dengan rencana yang ambisius, terikat waktu, dan menghapus batu bara secara bertahap untuk mencapai nol emisi,” seru Guterres.
Mangrove
Sebelumnya, yakni pada Senin (01/11) Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia tersebut. Dikatakan Jokowi, bahwa Indonesia akan terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim yang menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.
Lebih jauh Presiden menyampaikan, bahwa Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai 2024 yang merupakan terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.
Terkait mangrove, dihadapan peserta dari berbagai negara, Virni – Peneliti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tersebut memaparkan, bahwa Indonesia memiliki luas hutan mangrove terbesar di dunia. Dalam paparannya yang bertajuk ”Mangroves For Climate Change Mitigation And Adaptation” Virni menjelaskan bahwa mangrove merupakan salah-satu ekosistem yang potensial penyimpan karbon terbesar. Potensi karbon biru (blue carbon) di pesisir itu, memiliki peran penting dalam menurunkan emisi karbon.
Karbon biru menjadi layanan ekosistem yang penting, terutama karena terkait aksi mitigasi perubahan iklim. Lebih jauh Virni pun menjelaskan perkembangan mangrove di Indonesia selama ini. Melalui grafik dipaparkan terkait hutan mangrove serta perkembangan emisi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
***Riz***
No comment