Oleh: Herman Sari*)
KESAN pertama yang kita ingat begitu mendengar kata sutra adalah kain mahal dan ekslusif. Selain itu tampilannya juga berbeda dengan kain lainnya, berasa lembut dan terlihat berkilau.
Bahkan kata sutra juga digunakan oleh Imam Al Ghazali yang mengidentikkan sutra dengan kelembutan – Kata-kata lembut melunakkan hati yang lebih keras dari batu, kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra -.
Tapi tahukah kenapa kain tersebut bisa berharga mahal, lembut dan nyaman dipakai? Tulisan ini akan membahas lebih dekat terkait sutra dan bagaimana diperolehnya.
Jenis Sutra dan Penghasilnya
Sutra merupakan salah satu serat alami yang diperoleh langsung dari alam, tepatnya berasal dari hewan. Ciri umum serat alami biasanya mempunyai karakter kuat, padat dan tahan penyetrikaan. Serat alami sendiri selain dari hewan seperti sutra, bulu domba dan laba-laba; juga bisa dihasilkan dari tumbuhan seperti kapas dan rami serta juga dari bahan tambang seperti asbes.
Sutra merupakan bahan baku tekstil yang mempunyai karakter serat lembut dan berkilau. Kilauan sutra disebabkan oleh serat sutra yang berbentuk segitiga seperti prisma, sehingga memberikan kesan mewah pada sutra.Sutra sendiri merupakan serat alami yang terbentuk dari filamen kepompong ulat sutra. Ulat atau lebih tepatnya ngengat penghasil sutra termasuk dalam kelas Insecta.
Beberapa ordo serangga yang menghasilkan kepompong sutra adalah lepidoptera, hymenoptera, neuroptera, tricoptera dan siphonoptera.
Di dunia terdapat sekitar 400-500 spesies ngengat penghasil sutra. Ada empat jenis sutra alam yang dikenal dan diproduksi secara komersial di dunia namun kategorinya menjadi 2 kelompok besar yaitu sutra budidaya/murbei dan sutra liar.
Sutra Budidaya (Sutra Murbei)
Sutra budidaya/murbei merupakan yang paling penting dan menyumbang sebanyak 90 persen produksi dunia, oleh karena itu istilah “sutra” secara umum mengacu pada sutra dari ulat sutra murbei (Morus sp.) atau Bombyx mori L.. Jenis ulat ini sudah didomestikasi dan dibudidayakan sehingga lebih dikenal dengan sebutan sutra budidaya.
Murbei menjadi satu-satunya makanan bagi ulat sutra Bombyx mori L. ini maka tak heran namanya mengacu pada makanan tersebut, sutra murbei (mori dari kata morus atau murbei). Walaupun ada kelebihan dari sutra liar seperti warna yang lebih alami, tidak berbau dan kenyal, namun produktivitas sutra budidaya sangat tinggi (lebih dari 90%) dan memiliki kualitas sutra yang tinggi. Tak heran karena alasan itu maka pemerintah Australia lebih merekomendasikan budidaya sutra murbei dibanding sutra non-murbei/liar.
Sutra Liar (Non-Murbei)
Sutra liar/non-murbei dinamakan demikian karena sutra ini dihasilkan oleh jenis ulat yang belum banyak didomestikasi, berkembang biak secara liar namun mempunyai potensi untuk menghasilkan serat sutra. Sumber makanan utamanya juga bukan daun murbei, bermacam-macam tergantung jenisnya.
Berbagai jenis sutra liar telah dikenal dan digunakan di beberapa wilayah seperti Cina, India dan Eropa sejak dahulu kala. Meskipun demikian skala produksinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan sutra budidaya.
Sutra liar umumnya berkembang di alam sehingga umumnya memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa untuk menghadapi perubahan lingkungan dan cuaca, yang membuat jenis penghasil sutra liar ini cukup tahan terhadap berbagai jenis iklim.
Sutra liar berbeda dari sutra budidaya dalam warna dan tekstur serta kepompongnya. Tiga jenis sutra non-murbei/sutra liar yang penting secara komersial diantaranya: Sutra Eri; sutra muga; dan sutra fagara.
Sutra eri yang umumnya berwarna putih krem yang juga dikenal dengan sutra errandi ini berasal dari dua (2) spesies ulat yaitu Samia ricini dan Philosamia ricini (Lepidoptera: Saturniidae).
Ulat sutera eri adalah satu-satunya ulat sutera yang didomestikasi secara lengkap selain Bombyx mori. Ulat Samia ini sangat berbeda dengan ulat Bombyx jika dilihat dari segi warna dan juga bentuk kokonnya (kepompong).
Serdangkan ulat sutra Samia memang bukanlah asli Indonesia, namun berasal dari India. Jenis ini terdistribusi di India, China, Jepang, Kuba, Yunani, Prancis dan Italia.
Ulat sutera eri merupakan spesies polifag yang memiliki pola makan primer dan sekunder. Pakan primer ulat ini adalah daun jarak kepyar (Ricinus communis L.) dan kesseru (Heteropanax fragrans), sedangkan pakan sekundernya yaitu daun singkong (Manihot esculenta) dan daun singkong karet (Manihot glaziovii).
Sutra liar komersil lainnya adalah sutra muga, yaitu sutra yang dihasilkan dari ulat sutra Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae), menghasilkan benang sutera berwarna kuning keemasan yang sangat menarik dan kuat, sehingga sering disebut juga sutra emas. Kokonnya berbentuk seperti jaring, tidak berbau, lebih berpori, dan tidak mudah kusut dibanding sutra lainnya.
Umumnya bersifat semi-domestikasi, yaitu pembibitan dapat dilakukan di kandang pemeliharaan, pertumbuhan dewasa tetap terjadi di alam bebas.
C. trifenestrata adalah species polifag yang menyukai berbagai jenis inang, seperti kayu manis, kedondong, mangga, kenari, coklat, kina, alpukat, jambu mete, dan banyak lagi. Namun berdasarkan beberapa penelitian dan pengalaman yang dialami oleh petani, jambu mete menjadi salah satu pakan yang paling disukai oleh C. trifenestrata.
Selain jenis sutra liar yang komersil di dunia, terdapat juga sutra ulat jebung atau gajah yang juga dikembangkan di Indonesia. Larvanya di Jawa dikenal sebagai ulat keket atau ulat jedung, sedangkan ngengatnya dikenal sebagai kupu gajah atau kupu sirama-rama. Di dunia dikenal dengan sutra Fagara yang diperoleh dari ngengat sutra raksasa Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dan beberapa spesies atau ras terkait lainnya yang menghuni wilayah bio-geografis Indo-Australia, Tiongkok, dan Sudan.
Pada awalnya A. atlas dianggap sebagai hama. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata A. atlas merupakan penghasil sutera yang sangat potensial. Attacus atlas L. dapat hidup pada 84 jenis tanaman host. Diantaranya adalah tanaman senggugu (Clerodendron serratum spreng), dadap (Erythrina variegate), gempol (Nauclea orientalis), keben (Barringtonia asiatica), sirsak (Annona muricata L.), alpukat (Persea americana), dan jambu mete (Anacardium occidentale linn.).
Cara pemeliharaan
Sutra budidaya/sutra murbei: Mengingat jenis sutra ini telah dibudidayakan, maka cara pemeliharaan dilakukan di dalam ruangan. Sebelum dilakukan pemeliharaan perlu dilakukan desinfeksi ruangan agar keberhasilan pemeliharaan untuk produksi kokon dapat berhasil dengan baik dan mempunyai kualitas yang tinggi. Desinfeksi ruangan pemeliharaan berukuran sekitar 4 x 8 m dilakukan lima hari sebelum pemeliharaan ulat sutera.
Ulat sutra B. mori mengalami metabolisme sempurna, terdiri dari telur, ulat, kepompong, dan ngengat. Selama fase ulat, ulat mengalami lima stadium atau instar. Instar pertama hingga ketiga disebut ulat kecil, yang berlangsung sekitar dua belas hari. Sedangkan keempat dan kelima instar disebut ulat besar, yang juga berlangsung sekitar dua belas hari. Pada fase ulat diberi makan tiga kali sehari dengan menaburkan cacahan daun murbei hingga tahap akhir pemberian makan dan mencapai tahap pendewasaan.
Pengokonan dimulai setelah ulat menunjukkan tanda-tanda mau mengokon yaitu nafsu makan berkurang atau tidak mau makan, tubuh tembus cahaya, dari badannya keluar kotoran yang berwarna coklat kuning, dan dari mulutnya keluar serat halus yang akan menghalangi ulat untuk makan. Ulat yang sudah mempunyai ciri-ciri tersebut kemudian dimasukkan ke alat pengokonan bernama seriframe.
Proses pembuatan kokon akan berlangsung selama sekitar dua hari. Empat hari kemudian ulat yang ada dalam kokon akan berubah menjadi pupa. Terhitung 12 hari dari mulai mengokon, pupa akan berubah menjadi ngengat dan keluar dengan jalan melubangi kokon.
Lamanya siklus hidup berbeda antar ras yang ada dalam B. mori L.. Siklus hidup ras Cina berkisar 19-20 hari, lebih cepat 1-2 hari dibanding ras Jepang. Keberhasilan terhadap budidaya ulat sutera dapat dikatakan berhasil apabila terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan budidaya yaitu kuantitas dan kualitas pakan (daun murbei), kemampuan dan keterampilan petani, dan kondisi biofisik lokasi budidaya.
. Siklus hidup B. mori L.
Sutra liar/non-murbei:
Sutra eri; Ulat sutera Samia merupakan serangga yang melalui proses metamorfosis secara sempurna mulai dari telur, larva/ulat, pupa/kepompong, dan serangga dewasa berupa ngengat. Telur memiliki lama waktu perkembangan selama 7-10 hari, larva ±14 hari, kepompong ±14 hari, dan serangga dewasa hidup selama 4-5 hari. Satu serangga dewasa mampu menghasilkan sebanyak 300-400 telur selama hidupnya.
Sutra muga; Ulat sutra muga atau emas menjalani hidup sebagai ulat selama 20 – 45 hari dengan 4 kali pergantian kulit. Setiap fase diantara pergantian kulit berlangsung selama 4-9 hari. Pada akhir instar ulat akan berukuran 4-6 cm dan menjadi rakus, hal ini dikarenakan agar memperoleh cukup tenaga untuk membentuk kepompong. Proses pengokonan berlangsung selama 2 hari kemudian 17 – 21 hari kemudian kepompong akan muncul ngengat dewasa.
Tubuh ulat berwarna hitam dengan bintik dan bulu putih dengan bagian kepala dan ujung perut berwarna merah cerah. Ulat itu berasal dari telur ngengat dewasa berwarna coklat muda dengan tiga bercak transparan di sayap depan.
Sutra fagara; Ulat-ulat tersebut sebelum menjadi kupu-kupu mengalami instar hingga 6 kali. Instar 1 hingga 3 dipelihara di dalam ruangan. Instar 4-6 di luar ruangan. Pada saat pemeliharaan di luar ruangan diberi sungkup (pelindung) supaya tidak dimakan burung dan lebah. Pemeliharaan di luar ruangan dilakukan sampai menjadi kokon (kepompong).
Stadium larva terbagi dalam enam tahapan instar, setiap instar ditandai dengan pergantian kulit (moulting) pada larva. Instar pertama berlangsung selama 4-5 hari, begitu juga instar kedua sampai instar keempat. Instar kelima berlangsung selama 6-8 hari dan instar keenam berlangsung selama 8-10 hari. Instar keenam memiliki waktu yang lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi pupa dan akan mengokon. Ulat berwarna hijau muda, memiliki duri lunak dan berselimut tepung putih.
Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna, karena dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pengokonan bahkan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian
Imago keluar melalui lubang pada ujung anterior kokon yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbuka sempurna.
Imago atau ngengat A. atlas betina memiliki panjang antena mm dan lebar 3 mm, sedangkan ngengat jantan memiliki panjang antena mm, lebar mm. Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing, sedangkan ngengat betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan ukuran tubuhnya lebih besar daripada ngengat jantan.
Perbedaan Beberapa Sutra Liar/ Non Murbei
Daerah Penghasil di Indonesia
Sutra budidaya/sutra murbei: Jenis sutra murbei pertama kali masuk ke Indonesia di wilayah Sulawesi dan kemudian menyebar di Jawa dan Sumatera. Produksi benang sutra di Sulawesi Selatan mencapai 70–80% dari total produksi benang nasional.
Hingga tahun 2012 tercatat 11 provinsi yang ada di pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera menjadi sentra sutra murbei. Namun sejak serangan penyakit pebrine yang menyerang ulat yang puncaknya terjadi pada tahun 2012, maka hanya 2 provinsi saja yang masih mengembangkan sutra murbei yaitu provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.
Sutra liar/non-murbei: Pembudidaya sutra eri mulai berkembang dari Kulon Progo, DIY dan kemudian mulai mengembangkannya hingga Kalimantan Utara, Malang Jawa Timur dan areal Jawa Tengah. Untuk pengrajin budidaya sutera fagara berada di Desa Tanggeran, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas serta Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Kab, Imogiri, DIY.
Potensi ke Depan
Keanekaragaman spesies ulat sutera dan habitatnya menunjukkan betapa kompleks dan luar biasanya alam semesta. Selain itu juga menunjukkan bagaimana manusia telah menggunakan sumber daya alam ini selama ribuan tahun untuk menghasilkan sutra, salah satu bahan textile paling berharga dan mewah di dunia.
Penggunaan ulat sutera yang lebih beragam dapat membantu meningkatkan keragaman genetik dan keberlanjutan industri.
*)Periset PR Zoologi Terapan BRIN