Mak Rum, salah-seorang ibu penggendong beras, menyatakan bahwa usaha berdagang beras keliling sudah dilakukannya sejak puluhan tahun silam. “Alhamdulillah, sanaos saalit-saalit tiasa ngabantos kapriogian sadidinteun,” tuturnya.
Kampung Arca adalah Dusun terpadat di Desa Sukawangi. Berada di sepanjang lintasan Jalur Puncak Dua. Arca juga merupakan dusun terujung di timur Kabupaten Bogor. Seperti telah disebutkan sebelumnya, nyaris seluruh warga Arca petani hortikultura (sayuran semusim, jeruk lemon, dan bunga potong hortensia).
Selain sayuran, semua bahan pangan (beras, telor, daging ayam atau sapi) berasal dari luar dusun, bahkan dari luar Desa Sukawangi. Apalagi ikan laut, yang ada di sini umumnya sudah asin. Kecuali beras, semua bahan pangan tersebut tersedia, alias bisa dibeli di warung-warung kampung.
Lantas ada apa dengan beras? Inilah uniknya kawasan Puncak Dua, khususnya Desa Sukawangi dan sekitarnya.
Siapapun ibu rumah tangga di Kampung Arca, bila beras habis, tak perlu risau. Tinggal tunggu sebentar saja, ibu-ibu penggendong beras lewat. Seperti sudah ada regulasi saja, timing kedatangannya teratur, tidak serentak bergerombolan atau konvoi, tapi satu per satu. Jika konsumen luput, tinggal tunggu yang berikutnya.
Dan biasanya, sang penggendong beras menghampiri rumah-rumah. Bak pengamen saja, mereka langsung ke pintu-pintu dapur, atau berdiri di depan jendela sambil berteriak; “Beraass……!”
Dari dalam rumah terdengar sahutan; “Maaf Mak, masih ada beras …”. Maka si-penggendong beras pun berlalu, menghampiri pintu-pintu dapur lainnya yang tersingkap.
Beras Kampung
Keberadaan mereka, dengan tradisi seperti itu telah berlangsung sejak dulu. “Di sini warung-warung tidak ada yang menjual beras. Kalau ada yang berniat membuka toko beras, mending urungkan saja niat itu. Tidak akan laku,” tutur seorang pemilik warung kepada GI.
Diceritakan bahwa beras dalam gendongan emak-emak pejalan kaki itu lebih enak, bersih dan fresh. Mereka petik dari sawah atau ladang sendiri, dijemur lalu dibawa dalam jumlah terbatas ke rice milling sekitar kampung, untuk dijual besok. Jadi semua serba baru, dan jelas; tanpa pengawet.
Umumnya, rombongan ‘ibu penggendong beras’ itu berasal dari desa sebelah, seperti Kampung Rawagede, Cibitung dan lain-lain, dimana sawah-sawah berada dalam spot-spot kecil.
Pagi-pagi, saat matahari sepenggalah dan udara masih sejuk, mereka –dengan frekuensi yang teratur– bergerak keluar desa, sasarannya adalah kampung-kampung yang tidak punya sawah, seperti Kampung Arca – Desa Sukawangi. Jumlah yang digendong bervariasi, dari sekedar sampel (beberapa liter) hingga sekarung kecil (10 – 20 liter). Gendongannya adalah kain yang diselempangkan miring (kain kebad), dari bahu ke pinggang.
Bagi pembawa sampel, biasanya untuk pemintaan dalam jumlah besar (40 – 50 liter). Jika pembeli cocok dengan sampel yang diajukan, keesokan harinya baru diantar. Soal harga, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan beras di tempat lain pada umumnya. Cuma saja, rasa (khas kampung – Cianjur tempo dulu) serta tradisinya itu yang unik.
Salah-seorang ‘penggendong beras’ itu adalah Ibu Rum (57 th), atau yang biasa dipanggil “Mak Rum”. Dikatakannya, bahwa dirinya melakukan usaha berdagang beras keliling itu sejak puluhan tahun silam. “Alhamdulillah, sanaos saalit-saalit tiasa ngabantos kapriogian sadidinteun,” tutur Mak Rum.*(bersambung)
***Riz***
No comment