Saat Singgah di Kedai Kopi Aceh

//Catatan perjalanan Tim Survey PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), Aslam, ini menarik untuk di simak. Bukan di Aceh, tapi di Berau.//

TEGUKAN pertama menghilangkan lelah perjalanan panjang Bogor-Berau. Tegukan keduanya menghangatkan badan, lalu tegukan ketiga membuka obrolan sesama pengunjung kedai kopi pagi itu.
Pagi itu, sesampainya di Kabupaten Berau, penulis dihantar tuan rumah menuju Kedai Kopi Aceh untuk santap sarapan. Suasana kedai nampak masih sibuk, namun terlihat sepi karena baru buka. Belum ada pengunjung pagi itu. Rombongan kamilah yang pertama.
Penulis langsung memilih deretan kursi di luar kedai agar lebih leluasa memandang lansekap di depan. Persis di depan kedai kopi ini, diseberang jalan, sungai lebar dan besar khas Kalimantan terbentang. Nama sungainya adalah Sungai Segah. Penulis yang sudah merasa lapar langsung memesan nasi goreng untuk sarapan, tak lupa kopi susu khas aceh untuk menemani.

Kopi Susu Khas Aceh
Sembari menunggu masakan dihidangkan, penulis menyusuri anjungan sepanjang sungai. Jika kita berdiri di tengah jalan, tersaji formasi unik di sudut Kota Berau ini. Kita mulai dari apa yang penulis lihat di sisi kiri jalan.
Di sisi kiri jalan, sebuah anjungan dibangun di sempadan sungai. Anjungan ini dilengkapi tempat duduk, pohon-pohon yang baru ditanam, serta hiasan ala-ala trotoar. Pada bagian tengah, ada tulisan ikonik ‘Sungai Segah” berwarna putih besar terpajang. Untuk membatasi anjungan dengan sungai, dibangun pembatas bernuansa kayu.

Anjungan Sungai Segah
Jika duduk di sini, kita bisa melihat banyak kegiatan manusia.
Di bagian lain sungai, terlihat himpunan rumah yang dibangun tidak jauh dari pinggir sungai. Di kejauhan, tampak lahan berbukit yang didominasi pohon. Pada sungainya, bisa didapati beragam jenis transportasi air. Paling banyak berupa speed boat. Ada juga kapal besar pengangkut peti kemas serta kapal-kapal lain berukuran sedang.
Sepuluh menit penulis berdiri menghadap sungai, tiap menitnya ada saja kapal yang melintas. Lalu apa yang ada di sisi kanan jalan? Di sudut ini, berjejer toko-toko tingkat dua bergaya bangunan lama. Bangunannya nampak seirama walau tidak persis mirip juga. Toko-toko ini dimanfaatkan para pemiliknya dengan berjualan aneka macam barang. Penulis melihat ada toko hanphone, toko kelontong, perkakas motor, dan toko pakaian.

Bergaya Lama
Kembali ke kedai kopi, pesanan penulis sudah terhidang di atas meja. Formasi pengunjung pun sudah berubah. Saat penulis datang, nampak teman rombongan sudah berbincang hangat dengan dua orangh sebagai ‘pengunjung kedua’ kedai kopi itu.
Mereka awali percakapan dengan menjelaskan apa-apa saja yang ada di Berau ini. “Di Berau ini, ada banyak suku yang datang kesini. Paling banyak dari Jawa, kedua terbanyak orang-orang Bugis.”
“Selain itu ada juga yang datang dari kawasan timur Indonesia dan dari beberapa wilayah di Suamtera. Suku Toraja juga lumayan banyak yang tinggal di sini”.
“Ada juga orang China dan Aceh walaupun sedikit, tidak lebih seribu kepala,” ucap seseorang. Dia menyebut perkiraan jumlahnya. Satu dua obrolan berlanjut hingga topik bergeser ke isu lingkungan
“Di Berau ini hutan tinggal sedikit, tambang dan perkebunan kelapa sawit yang banyak,” ungkap seseorang lainnya.
Dikatakannya, bahwa tambang itu merusak tanah. “Saya pernah dengar penelitian mengatakan butuh waktu 40 tahun untuk tanah dapat menjadi baik lagi,” tambahnya.
“Bapak coba lihat kalo dari pesawat. Lihat saja pasti banyak danau-danau besar berwarna air biru itu (bekas galian tambang),” imbuhnya berupaya meyakinkan.
Obrolan berlanjut beberapa saat hingga kedua orang pengunjung kedai kopi ini izin ingin melanjutkan perjalanan.
Seperti “Membaca Koran”, penulis yang lebih banyak menyimak pagi itu merasa penuh dengan informasi-informasi baru yang keluar dalam percakapan.*

Aslam

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *