Reforma Agraria dan Penantian FKWS

Sudah beberapa kali gerakan warga dilancarkan. Puncaknya, bersama perwakilan Pemkab Bogor, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Yogyakarta pun didatangi. Peluang terbuka, namun warga Sukawangi masih menunggu.

Penantian puluhan tahun warga di Puncak Dua Bogor, kini terbuka setelah PP Omnibuslaw diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ((KLHK). Memang, tanah untuk rakyat dan reformasi agraria, harus benar-benar nyata adanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kasus tenurial berkepanjangan melanda kawasan Puncak Dua. Titik sentrumnya ada di Desa Sukawangi, karena rakyat di wilayah itulah yang sejak beberapa waktu terakhir gencar menyuarakan desakan hatinya. Tuntutan hak tersebut makin teraspirasi   dan tampaknya sulit terbendung, manakala sebuah wadah paguyuban terlahir, yakni Forum Komunikasi Warga Sukawangi (FKWS).

Melalui forum tersebut, tercatat beberapa kali gerakan warga dilancarkan. Puncaknya, bersama perwakilan Pemkab Bogor, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)  Yogyakarta pun didatangi. Waktu itu, oleh Kepala BPKH, Suhendro A. Basori, dikatakan bahwa; mari sama-sama menunggu lahirnya PP turunan UU Ciptakerja (Omnibuslaw).

“Saya melihat peluang itu ada, tapi menunggu PP,” tutur Suhendro (baca; green.indonesia.co, 01/02/2021; Galau Hati Warga Sukawangi).

Sejak beberapa waktu lalu, PP turunan Omnibuslaw tersebut pun keluar. Harapan baru pun muncul, setelah penantian panjang.

Ketika dihubungi GI via whatshapp (14/07/21), Kepala BPKH menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan pembahasan lanjutan dengan pihak Pemkab Bogor. “Kami sudah membahas kembali dengan Pemkab Bogor, sesuai dengan ketentuan baru (PP 43/2021 – red) tersebut,” ungkap Suhendro kepada GI. Ditambahkannya, bahwa terkait masalah ini BPKH Yogyakarta  melayani 114 kabupaten/kota. “Semoga harapan warga Sukawangi tersebut diakomodir,” jelasnya.

Dinilai Lamban

Seperti dilansir di berbagai mediamassa, bahwa Reforma Agraria selama ini dinilai berjalan lamban. Selain pemberian setifikat dan retribusi lahan, diantara berbagai kegiatan Reforma Agraria tesebut termasuk pula upaya penyelesaian kasus-kasus tenurial, seperti halnya yang terjadi di kawasan Puncak Dua Bogor.  Namun  banyak pihak menilai upaya pencapaiannya di lapangan bergerak bak ‘langkah keong’. Lamban.

Lamongantoday.pikiran-rakyat (30/04/21) menulis, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam menjalankan agenda reforma agraria dianggap belum maksimal. Pasalnya, sejuah ini agenda reforma agraria masih jalan di tempat.

Terkait  hal itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo angkat bicara. Dia mengingatkan bahwa Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam masih tetap berlaku sebagai salah satu rujukan dalam mengatasi konflik agraria dan perlindungan tanah adat.

Lambatnya progres tersebut berpotensi tidak tercapainya target Reforma Agraria seperti yang tecantum dalam Nawacita Pemerintahan Jokowi. Untuk mengantisipasi hal itu, seperti dilansir dari mediaindonesia.com (23/01/21), Presiden Jokowi bertemu dan dialog mengenai percepatan penyelesaian konflik agraria dan reforma agraria dengan sejumlah aktivis gerakan reforma agraria di Istana Merdeka, Jakarta (3 Desember 2020). Rapat internal tersebut dipimpin langsung Presiden didampingi Mensesneg, Kepala Staf Kepresidenan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kapolri.

Sementara pimpinan organisasi masyarakat sipil (CSO) yang hadir adalah dari Konsorsium Pembaruan Agraria, Serikat Petani Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat, dan Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia.

Sejumlah rekomendasi penting dari rapat internal tersebut, sebagaimana diutarakan Agus Ruli Ardiansyah sebagai Sekretaris Umum SPI. Pertama, Presiden meminta pimpinan CSO untuk membuat usulan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan penyelesaian konflik agraria yang prioritas dengan kerangka waktunya.

Dalam artikel di media tersebut disebutkan, bahwa sepanjang 2020, bahkan sejak 2015, pelaksanaan reforma agraria di Indonesia berjalan ibarat keong, lamban sekali. Sementara itu, target nasional reforma agraria seluas 9 juta hektare, dan perhutanan sosial 12,7 juta hektare.

Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk menindaklanjuti Rapat Internal tersebut.Yang pertama dan utama,pemerintah perlu segera menuntaskan masalah pendataan dan pemetaan dari lokasi-lokasi usulan CSO untuk menjadi prioritas bagi pelaksanaan reforma agraria.

Data dan peta dari lokasi-lokasi yang berupa kasus-kasus konflik agraria agar segera ditangani dan diselesaikan secara sistematis. Data dan peta lokasi-lokasi yang diusulkan CSO dan memungkinkan sesara hukum dan sosial harus segera dieksekusi melalui redistribusi dan/atau distribusi tanah serta pemberdayaan ekonomi lebih lanjut.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *