Melihat Praktik Budidaya Kakao di Mahakam Ulu

Oleh : Eddy Mangopo Angi1 dan Catur Budi Wiati2

Tidak ada perlakukan khusus dari masyarakat Mahulu dalam kegiatan penanaman kakao, bahkan mereka tidak terlalu memikirkan varietas kakao yang mereka tanam.

MAHAKAM Ulu (Mahulu) luar biasa. Selain memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, salah-satu kabupaten baru di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ini sangat strategis karena berbatasan langsung dengan Kalimantan Barat di sebelah barat, Kalimantan Utara di sebelah timur dan Malaysia di sebelah utara. 

Kabupaten yang beribukota di Kampung Ujoh Bilang – Kecamatan Long Bagun itu, saat ini masih didominasi oleh tutupan hutan sebesar 1.794.502 ha (93%) dengan kondisi geofisik wilayah daerah perbukitan dan hamparan  pegunungan yang sebagian besar dibelah  oleh Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya.  

Luasan ini semakin berkurang bila dibandingkan data tahun 2000 sebesar 1.844.742 ha (96%) dan data tahun 2009 sebesar 1.818.448 ha (95%). Luasan ini masih sangat berbanding terbalik dengan jumlah penduduknya yang pada tahun 2021 hanya mencapai 35.010 jiwa.

Karena itu wilayah yang penduduknya sebagian besar didominasi etnik Dayak dari sub etnik Dayak Bahau, Kayan, Aoheng, dan Kenyah hanya memiliki kepadatan penduduk sebesar 2,29 jiwa/km2.

Potensi ekonomi  Mahulu sangat bervariasi, mulai dari sektor perkebunan (karet, kelapa sawit, kakao, dan kopi), sektor kehutanan (kayu, gaharu, rotan, sarang burung walet, dan gaharu), sektor pertanian (sawah dan padi gunung), serta sektor peternakan (babi, ayam, sapi, dan ikan sungai dan keramba).

Sementara di sektor pertambangan terdapat batu bara, emas, biji besi, uranium, minyak bumi, dan galian C. Lalu ada pula sektor pariwisata (budaya seperti acara adat istiadat dan kerajinan, serta wisata alam seperti batu dinding dan jeram).

Dalam sektor perdagangan wilayah Kabupaten Mahulu berada pada posisi strategis untuk kegiatan perdagangan antar daerah yaitu Mahak Baru Kabupaten Malinau, Sarawak Malaysia, dan Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalteng.

Mandat Konservasi

Kabupaten Mahulu merupakan kabupaten yang mengemban mandat konservasi lingkungan pada skala internasional karena seluruh wilayahnya merupakan bagian Heart of Borneo (HoB). 

Berdasarkan rencana pola ruang, kabupaten ini dibagi dalam 3 (tiga) zonasi makro. Zona 1 wilayah hulu merupakan kawasan hutan alam dengan tingkat kelerengan yang curam, sehingga pola ruangnya lebih banyak diperuntukan untuk kegiatan wisata alam dan budaya.

Zona II wilayah tengah dengan kondisi hutan sekunder dialokasikan sebagai arahan pola ruang pusat pemukiman di perkotaan dan pusat pemerintahan kabupaten.

Lalu Zona III wilayah hilir merupakan pintu gerbang kabupaten, lebih banyak didominasi lahan-lahan perkebunan dan pertanian sehingga arahan pola ruangnya lebih banyak diperuntukan untuk pemukiman dan pertanian, perkebunan dan peternakan lahan kering.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Mahulu tahun 2017-2037 disebutkan bahwa kawasan peruntukan perkebunan dengan luasan 252.014 ha terdapat di Kecamatan Long Bagun, Long Hubung, Laham, Long Apari dan Long Pahangai.

Agribisnis Kakao

Tanaman kakao adalah salah satu komoditi perkebunan unggulan dari Kabupaten Mahulu. Kakao di wilayah ini berkembang dalam bentuk Perkebunan Rakyat dengan luas mencapai 1.499 ha ( 19,97%) dari total luasan kebun kakao di Provinsi Kaltim yang mencapai 7.508 ha. Sedangkan nilai produksinya mencapai 371 ton (11,22%) dari 3.307 ton produksi keseluruhan Provinsi Kaltim (BPS Kaltim 2021).

Data lain menyebutkan luas kebun kakao di Kabupaten Mahulu saat ini mencapai 2.273 ha dengan total produksi 257 ton yang tersebar di 5 kecamatan yaitu Kecamatan Long Hubung 938 ha (15 ton), Laham 277 ha (33 ton), Long Bagun 536 ha (67 ton), Long Pahangai 428 ha (130 ton) dan Long Apari 95 ha (12 ton) dengan 224 orang petani kakao yang tersebar di 5 kecamatan tersebut (DKPP Kabupaten Mahulu, 2022).

Data tersebut menunjukkan bahwa komoditas kakao dari Kabupaten Mahulu memegang peranan cukup penting sebagai salah satu sentra kakao di Provinsi Kaltim.

Budidaya Sederhana

Bila mengunjungi Kabupaten Mahulu, cukup mudah bagi kita untuk menemukan tanaman kakao.  Mengapa? Karena sebagian besar masyarakat Mahulu memperlakukan kakao seperti tanaman tahunan lainnya.

Mereka menanam tanaman kakao di bekas-bekas ladang yang telah ditinggalkan (bera) sekitar 4-5 tahun lebih setelah tanam. Kakao ditanam bercampur dengan tanaman lain seperti durian, lai, gaharu dan lain-lain (agroforestry). Luas kebun kakao campur ini rata-rata berkisar 1 – 2 ha per Kepala Keluarga. Tidak ada perlakukan khusus dari masyarakat Mahulu dalam kegiatan penanaman kakao, bahkan mereka tidak terlalu memikirkan varietas kakao yang mereka tanam.

Tanaman kakao pertama kali dikenal melalui program dari pemerintah, kemudian menyebar melalui kerabat atau tetangga mereka dari kampung lain yang telah lebih dahulu menanam.  Masyarakat Mahulu sangat jarang melakukan kegiatan pemeliharaan termasuk pemberian pupuk terhadap tanaman kakao. Mereka berharap kakao tumbuh subur dari tanah paska pembakaran.

Hal tersebut dikarenakan masyarakat Mahulu masih terbiasa dengan pola penyiapan lahan sistem tebas dan bakar. Setelah ditanam, tanaman kakao umumnya akan mereka tinggalkan dan hanya akan dikunjungi setelah kakao mulai berbuah. 

Kegiatan pemanenan buah kakao dilakukan dengan penentuan warna saja. Buah kakao dianggap sudah masak jika sudah berwarna hijau kekuningan, merah atau kuning.

Pemanenan dilakukan dengan cara memetik buah langsung atau memangkas tajuk yang ada buahnya. Produksi kakao yang dihasilkan masyarakat Mahulu masih sangat rendah yaitu berkisar antara 50-100 kg/ha/bulan/petani. Sedikit sekali yang produksinya bisa mencapai 150 kg/ha/bulan/petani. 

Singkat cerita, pengolahan kakao di Mahulu masih dilakukan dengan sangat sederhana yaitu hanya buah kakao dibelah, diambil bijinya dan langsung dijemur untuk menghilangkan lendir.

Pemasaran kakao cukup mudah dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Mahulu karena di beberapa kampung sudah terdapat beberapa penampung/pengepul kakao. Kakao tersebut kemudian diangkut menggunakan kapal ke Samarinda oleh penampung besar untuk dikirim ke Sulawesi.

Harga buah kakao di tingkat penampung hanya berkisar sekitar 7.500/kg, sedangkan biji kakao kering dijual dengan harga kisaran Rp 20.000-25.000/kg kering di tingkat kampung. Rendahnya harga jual bukan hanya disebabkan karena kualitas buah kakao yang rendah, namun juga perlakuan paska panen biji kakao sebelum dijual ke penampung yang masih sangat sederhana.

Kendala Pengembangan

Praktik sederhana yang masih dilakukan masyarakat Mahulu dalam budidaya kakao memang menjadi kendala dalam pengembangan kakao di wilayah ini. Selain itu,  pemerintah daerah setempat masih memiliki banyak permasalahan lain. Salah-satu nya adalah masalah status lahan kebun kakao yang sebagian besar masih dalam kawasan hutan.

Wilayah Kabupaten Mahakam Ulu sebagian besar masih didominasi kawasan hutan, kondisi ini menyebabkan kebun kakao juga banyak dibuka masyarakat di dalam kawasan hutan. Keberadaan kebun kakao dalam kawasan hutan menyebabkan upaya pengembangan kakao di Kabupaten Mahulu tidak dapat berjalan optimal.

Pengembangan komoditi kakao yang berada dalam kewenangan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Mahulu memiliki keterbatasan dalam kegiatan pendampingan dan pembinaan bila kebun kakao berada dalam kawasan hutan.

Tak hanya itu. Keberadaan kebun kopi di kawasan hutan menyebabkan masyarakat tidak mungkin meningkatkan status kepemilikan kebun menjadi hak milik.

Akibatnya masyarakat sulit mendapatkan akses permodalan, terutama bila bersumber dari bank. Padahal modal merupakan masalah utama yang dimiliki hampir seluruh petani kakao di Kabupaten Mahakam Ulu. Belum lagi ancaman hama dan penyakit tanaman kakao yang pastinya jauh lebih besar karena berada dalam kawasan hutan yang jauh dari pemukiman.

Banyak pihak, baik dari lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah, telah memberikan perhatian dan dukungan dalam pengembangan kakao di Kabupaten Mahakam Ulu. Salah satu program yang menonjol adalah dengan membiayai beberapa petani untuk mengikuti pelatihan budidaya kakao di Jember dan Sulawesi Selatan.

Setelah program tersebut saat ini dapat ditemukan beberapa petani yang menjadi dokter kakao di masing-masing kampung untuk mendampingi petani kakao mulai dari cara budidaya sampai dengan paska panen kakao.

Di beberapa kampong, yaitu di Kampung Laham dan Long Tuyoq juga telah terbangun demplot percontohan budidaya kakao yang baik sesuai standar Good Agricultural Practices (GAP). Untuk menaikan harga jual, beberapa petani bahkan juga telah mengikuti pengolahan paska panen kakao dan produk turunannya di Jogjakarta.

Selain itu, dengan menjadikan kakao sebagai komoditi perkebunan unggulan, Pemerintah Kabupaten Mahulu melalui berbagai program di beberapa OPD telah mendorong masyarakat untuk melakukan budidaya kakao di wilayah yang sesuai tata ruang kampung dan peruntukannya.

Disamping itu, dilakukan pula penguatan kelompok tani serta mendorong pembentukan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) di masing-masing kampung. BUMKam sangat penting karena dapat untuk membantu pemasaran dan permodalan kakao.

Untuk membuka jaringan pasar dengan pihak luar (dalam dan luar negeri), Pemerintah Kabupaten Mahulu juga telah melakukan penandatanganan kerjasama dengan pihak pembeli kakao.    

Namun demikian, minat budidaya kakao yang rendah adalah masalah yang paling utama dalam pengembangan kakao di Kabupaten Mahakam Ulu. Seperti karakter etnis Dayak pada umumnya, Masyarakat Mahulu cenderung lebih tertarik pada kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam daripada kegiatan bertani/budidaya.

Nilai jual kakao yang rendah juga semakin menambah keengganan masyarakat untuk menanam kakao. Budidaya kakao umumnya hanya dilakukan saat masyarakat mempunyai waktu luang. Masyarakat Mahulu masih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang cepat menghasilkan uang seperti kegiatan mendulang emas (secara tradisional), mencari kayu, mencari madu dan lain sebagainya. 

Jumlah produksi, kualitas dan harga jual yang rendah tentu saja menyebabkan nilai jual kakao tidak dapat bersaing dengan kegiatan-kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, tantangan terbesar dalam pengembangan budidaya kakao adalah merubah kebiasaan masyarakat yang terbiasa dimanjakan dengan keberadaan sumberdaya alam yang melimpah di sekitar mereka.

Masyarakat harus disadarkan bahwa kekayaan sumberdaya alam yang melimpah tersebut tidak selamanya dapat dinikmati. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat, tetapi seluruh pihak yang perduli terhadap kelestarian alam dan lingkungan di Kabupaten Mahulu.

1Konsultan Riset Independen Tata Kelola Hutan dan Lahan; dan 2Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Redaksi Green Indonesia