Makin banyak perusahaan yang berinisiatif menurunkan emisi. Di sisi lain, launching perdagangan karbon pun semakin membuka peluang bisnis baru bagi berbagai pihak untuk menghasilkan uang.
UANG dan lingkungan lestari. Kini bak dua sisi mata uang, dua-duanya kini bisa didapat. Artinya, ekonomi tumbuh di tengah kelestarian alam yang tejaga. Mantap..!
Hal itulah yang menjadi salah-satu pembahasan di penghujung kegiatan Carbon Accounting Training (CAT) yang digelar oleh PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL) bersama Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University pekan lalu. Salah-satu pematerinya adalah
Dr. Faroby Falatehan, S.P. – Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
Monetisasi Karbon?
Monetisasi adalah proses mengubah suatu aktivitas atau konten menjadi alat untuk menghasilkan uang. Sementara sustainable finance adalah keuangan dengan memperhatikan aspek sustainable secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dikatakan oleh Faroby, akhir-akhir ini momentum aksi iklim berada di titik kritis. Penyebabnya karena ‘pemulihan hijau’ dan target nol bersih menjadi agenda utama.
Lebih jauh dijelaskannya, bahwa dewasa ini makin banyak perusahaan yang mengambil inisiatif untuk mengumumkan dan mengambil tindakan menuju target pengurangan emisi jangka panjang. Di sisi lain, launching perdagangan karbon di Indonesia semakin membuka peluang bisnis baru bagi berbagai pihak untuk menghasilkan uang.
Di samping itu, launching perdagangan karbon sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia dalam upaya pengendalian perubahan iklim global.
Lalu bagaimana dengan sawit? Selama ini komoditas penghasil minyak nabati tersebut dianggap mengakibatkan polusi lingkungan. Padahal perusahaan sawit juga menghasilkan nilai ekonomi dan devisa yang cukup besar bagi negara. Menurut Faroby, bukan cuma perusahaan sawit atau perusahaan tambang. Meski menghasilkan uang, semua perusahaan mesti memperhatikan lingkungan. Bahkan termasuk juga perusahaan perbankan. “Dunia usaha harus memperhatikan masalah lingkungan,” tegasnya.
Pasar Karbon
Istilah “pasar karbon” sebenarnya masih salah kaprah dan mudah memicu kesalahpahaman. Contohnya banyak masyarakat yang mengira karbon yang menjadi komoditas pasar. “Bahkan ada yang mengira produk seperti arang (charcoal) yang masuk bursa,” kelakar Faroby sembari tertawa. Menurut Faroby, sosialisasi mengenai bursa dan pasar karbon tampaknya masih perlu digiatkan.
Dijelaskannya, bahwa ada dua jenis pembeli karbon. Yang pertama; berdasarkan kepatuhan. Yang kedua; sukarela. Lalu apa perbedaan compliance (kepatuhan) market dan voluntary (sukarela) market?
Compliance market diamanatkan pemerintah dan ada sanksi atas ketidakpatuhan. Sedangkan voluntary market didorong oleh tanggung jawab sosial perusahaan dan pilihan individu dan tidak ada sanksi hukum tetapi ada risiko reputasi.
‘Pasar kepatuhan’ wajib beroperasi di bawah kerangka regulasi yang ketat. Perusahaan harus tetap berada dalam batas yang dialokasikan atau membeli izin tambahan dari mereka yang membeli kelebihan. Sementara pada ‘pasar sukarela’, memungkinkan peserta untuk menyesuaikan strategi pengimbangan mereka agar selaras dengan tujuan keberlanjutan.*
(Alya/Riz)
No comment