Prospek Cerah di Senyapnya Rimba

Salah-satu pembicara webinar adalah Muhammad Ridwan, Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL). Ahli penghitungan karbon itu menyatakan, bahwa hutan primer dan sekunder merupakan penyimpan karbon (C) terbesar.

HUTAN Indonesia sangat luas. Ini sebuah kebanggaan, apalagi di era maraknya isu Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dewasa ini.

Mengapa tidak? Di tengah hijau dan bisunya belantara itu, terendap karbon dengan nilai ekonomi tinggi. Dengan teknik penghitungan karbon, akan dapat diketahui berapa NEK-nya. Hal itulah yang dibahas dalam sebuah webinar, Sabtu, 25 Januari lalu.

Webinar yang bertema ‘Perhitungan Karbon dan Penyiapan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) di Indonesia’ itu diikuti oleh hampir 200 peserta dari berbagai sektor, mulai dari akademisi, perusahaan swasta, hingga lembaga pemerintah. Adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI Dunia), Direktorat Kajian Strategis, Bidang Kesehatan dan Lingkungan yang menggelar kegiatan tersebut.

Ketepatan Metode  

Salah-satu pembicara webinar adalah Muhammad Ridwan, Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL). Ahli penghitungan karbon itu menyatakan, bahwa hutan primer dan sekunder merupakan penyimpan karbon (C) terbesar.

Potensi karbon tersebut perlu dihitung. Tujuannya adalah untuk mendapatkan potensi akurasi karbon yang tinggi, serta potensi karbon pada tiap tipe vegetasi. Disamping itu, dengan menghitung karbon dapat diketahui seberapa besar potensi penuruan emisi sesuai FREL Nasional. Dan yang tak kalah penting lagi ialah untuk mendapatkan Tier 3 (tingat kepercayaan tinggi).

Ridwan pun menjelaskan hal tersebut secara rinci, yang meliputi konsep dasar dan pentingnya perhitungan karbon, metodologi dan pendekatan perhitungan karbon, serta tantangan dan peluangnya di Indonesia.

“Pilihlah metodologi yang sudah standar dalam menghitung karbon. Gunakan metodologi sesuai dengan karakteristik yang disyaratkan (tipe hutan, jenis kayu atau curah hujan) dan transparan,” jelasnya.

Dikatakannya, ada dua (2) jenis metode penghitungan karbon, yakni Metode Destruktif dan Metode Alometrik. Tapi Ridwan menyarankan yang kedua (alometrik). “Dengan penggunaan persamaan statistik atau menggunakan rumus yang sudah ada,  maka akurasinya cukup, biaya relatif murah dan dengan waktu yang lebih cepat,” tambah Direktur Eksekutif PT. CKL itu.

Peluang dan Tantangan

“Ada peluang besar, namun terdapat juga beragam tantangan dalam pengelolaannya,” ucap Ridwan.

Menurutnya, salah-satunya ialah soal kepastian areal PS dan hutan rakyat, terutama dalam hal boundary. Selain itu arealnya kecil dan terpencar, membutuhkan waktu yang lama.

Dibutuhkan kehadiran pemilik lahan serta upaya membangun kesepakatan. Tak hanya itu, keinginan jenis tanaman pun beragam. “Dibutuhkan biaya yang besar,” tutur Ridwan.

Namun prospeknya cukup cerah. Dengan menggarap NEK di areal PS dan hutan rakyat, maka peluang peningkatan pendapatan, lapangan kerja serta diversifikasi sumber penghasilan akan terbuka. Ada pula manfaat sosialnya, termasuk keamanan pangan serta pengembangan kapasitas masyarakat.

Perlu Kelanjutan

Pembicara lain dalam webinar ini adalah Suci Andriyanningsih dari Green Leadership Indonesia yang membahas mengenai penyiapan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM) di Indonesia. Moderator dalam webinar itu, adalah Rifqi Rahmat Hidayatullah, Dosen Kehutanan Universitas Brawijaya sekaligus pendiri Binaya Foundation.

Nugraha Akbar Nurrochmat, ketua acara, dan Adhie Marhadi, Koordinator PPI Dunia, menyatakan bahwa webinar ini merupakan salah satu bentuk dukungan pelajar Indonesia yang tersebar di seluruh dunia untuk mensukseskan perdagangan karbon Indonesia.

Mereka juga berharap kegiatan lanjutan yang serupa dapat terus dilaksanakan untuk mendukung kolaborasi lintas sektor dalam upaya mencapai target pengurangan emisi nasional.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *