Untuk menghindari konflik lahan di Ibu Kota Negara (IKN) beberapa kalangan menilai bahwa pemetaan lahan harus dilakukan sebagai dasar kebijakan pengalihan lahan.
EKONOMI HIJAU. Klaim tersebut telah dikumandangkan pemerintah sembari memulai langkah pembangunan IKN di Ranah Borneo. Beberapa peraturan turunan yang dibuat untuk memastikan komitmen tersebut antara lain; Perpres tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) IKN, serta Perpres tentang Pembagian Wilayah IKN dan Peraturan Kepala Otorita IKN tentang Rencana Detail Tata Ruang IKN.
Cakupan wilayah IKN mencapai 256.142 hektare (ha) yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Diantaranya, telah direncanakan adanya kawasan inti di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 ha.
Sesuai dengan pengakuan masyarakat setempat, kawasan tersebut masih memiliki status Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Artinya, penduduk yang tinggal di kawasan ini bisa sewaktu-waktu direlokasi karena kawasan mereka belum beralih menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga belum bersertifikasi hak milik.
Untuk itu, seperti ditulis dalam Siaran Pers ID Comm beberapa waktu lalu, sejumlah pihak menyarankan beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk memastikan komitmennya. Diantaranya adalah penerapan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam Pembangunan IKN.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Emil Kleden, menyatakan bahwa prinsip dasar tersebut penting untuk dijadikan panduan utama bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan IKN. “Perlu diingat, sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. Hak tersebut perlu dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan ke depannya,” ucapnya seperti dikutip Pers Release ID Comm tersebut.
Ditambahkannya bahwa interaksi penyelenggara IKN dengan masyarakat setempat mengenai hak atas tanah perlu diperjelas. Kalau tidak dibereskan, maka konflik akan terus terjadi dan merusak relasi kedua pihak dalam jangka panjang.
“Jangan sampai langkah represif menjadi solusi yang diambil untuk menyelesaikan konflik. Selain membutuhkan biaya besar, dinamika relasi yang kurang kondusif ini akan menimbulkan konflik susulan di masa depan ,” jelas Emil.
Ditambahkannya, bahwa penerapan prinsip FPIC bisa dilakukan dengan cara memastikan bahwa persetujuan Masyarakat Adat ini disepakati tanpa merugikan pihak tertentu dari komunitas tersebut (seperti perempuan dan anak muda), tidak didasari informasi yang menyesatkan, serta penafsiran sepihak akan hukum yang berlaku.
Soal Hutan Adat
Selanjutnya, langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah secara lebih seksama adalah melakukan pemetaan tata ruang lokasi pembangunan IKN terhadap hutan adat. Misalnya, apakah ada persinggungan lahan IKN dengan wilayah hutan adat, bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap hak Masyarakat Adat atas tanah mereka, dan sebagainya.
Masih dalam Pers Release itu, Pakar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM), Rikardo Simarmata, berpendapat bahwa langkah awal pemetaan adalah dengan mengumpulkan data seputar kepemilikan lahan atau tanah yang digunakan untuk IKN. Kepemilikan bisa jadi oleh individu dan kelompok.
“Di sekitar lokasi IKN sudah banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Mereka di sana sudah bergenerasi. Orang-orang dari Jawa didatangkan untuk industri migas dan untuk proyek transmigrasi. Orang-orang dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah datang untuk alasan memperbaiki hidup. Jadi, klaim adanya tanah adat dengan penguasaan komunal di sekitar lokasi IKN memang perlu dilakukan dengan hati-hati”, tambah Rikardo.
Diingatkannya pula agar pemerintah perlu serius dalam melakukan pendataan kepemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah.
Ekonomi Hijau
Seperti dimaklumi, potensi konflik yang terjadi antara pembangunan dan kelestarian hutan seringkali dipicu kepentingan ekonomi. Untuk itu, penyelenggaraan ekonomi hijau diharapkan mampu menjembatani potensi konflik kepentingan agar masyarakat sekitar merasakan manfaat ekonomi sekaligus menerima manfaat dari keseimbangan ekologi yang terjaga dengan baik.
Hal tersebut diungkapkan oleh Riche Rahma Dewita, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Menurutnya, arah pembangunan ekonomi hijau bisa difokuskan pada praktik-praktik jasa lingkungan. Misalnya, pemanfaatan air sebagai pembangkit tenaga listrik, penerimaan pendapatan dari aksi pelestarian hutan lindung yang bisa berkontribusi terhadap penurunan efek gas rumah kaca negara, ataupun penyelenggaraan agroforestry yang memanfaatkan hasil bumi dari hutan.
“Semua praktik tersebut sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi langsung pada kehidupan mereka,” ungkap Riche. Namun, dirinya juga menegaskan pentingnya mempertimbangkan kapasitas masyarakat, dimana kebijakan itu diterapkan.
“Apakah sesuai dengan arah mata pencaharian masyarakat sekitar, seberapa jauh pemahaman masyarakat sekitar tentang pengelolaan lahan yang mendukung pelestarian lingkungan, teknologi apa yang telah digunakan untuk mendukung penyelenggaraan ekonomi hijau, dan sebagainya,” jelas Riche.
***Riz***
No comment