Prof. Dr. Acep Akbar, MP*)
BANGSA Indonesia telah diberi pelajaran yang banyak dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), yaitu sejak terjadinya kebakaran hutan yang besar pertama tahun 1983/1984 di Kalimantan Timur. Saat itu areal hutan dan lahan yang terbakar mencapai luas 3,5 Juta hektar.
Kemudian sejak tahun 1997/1998, kebakaran besar mulai merambah ke lahan gambut. Sampai tahun 2023 ini, Indonesia telah memiliki pengalaman pengendalian karhutla selama 40 tahun, tetapi hingga saat ini belum memperoleh sistem pencegahan karhutla yang efektif.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) saat ini melaporkan, bahwa saat musim kemarau panjang tahun 2023 ini telah terjadi 499 kejadian karhutla sepanjang Januari sampai dengan Agustus 2023 dengan luas lahan terbakar mencapai 90.405 ha. Ini menunjukkan bahwa kebakaran sulit dihindari ketika terjadi gejala alam El-nino.
Akankah peristiwa karhutla berakhir ?, Untuk menentukan strategi pencegahan yang tepat diperlukan pemahaman tentang apa arti kebakaran hutan, apa saja yang menjadi unsur penyebab dan pendukung atau pengendali karhutla.
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran bahan organik yang menyebar secara bebas (wild fire), dengan mengkonsumsi bahan bakar alam hutan, meliputi serasah, humus, tanah gambut, rumput, ranting-ranting, semak, dedaunan dan pohon segar.
Dengan pertimbangan kebakaran, sering terjadi tidak hanya di kawasan hutan tetapi juga di lahan non kawasan hutan seperti di lahan-lahan pertanian masyarakat, maka kebakaran hutan sering disebut kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan selalu dimulai dengan api awal yang kecil dibuat manusia (Anthropogenik), baik sengaja maupun tidak sengaja.
Api merupakan hasil proses fisika dan kimia dari tiga komponen, yaitu bahan bakar, udara dan panas, sehingga api tidak mungkin terjadi jika salah satu komponen tersebut tidak ada. Energi panas yang diperlukan agar terjadinya api awal harus mencapai suhu titik bakar tertentu.Sebagai contoh; kertas, ketika terjadi penyalaan suhunya sudah mencapai 1600 sd 2600 C.
Suhu harian sebagai akibat penyinaran matahari hanya dapat mencapai 320– 360 C, sehingga masih jauh untuk mencapai suhu titik bakar kertas sekalipun. Padahal jika bahan bakar belum kehabisan kandungan air dalam selnya, ia juga belum bisa memproduksi lidah api.
Untuk menghabiskan air dalam sel bahan organik tumbuhan diperlukan proses penguapan dan destilasi air terlebih dahulu sampai akhirnya terjadi proses pembakaran gas yang berarti terjadi api awal.
Hal tersebut menggambarkan bahwa api awal susah terjadi akibat alam melainkan selalu dibuat dengan suatu aktivitas penyulutan yang langsung menjadi api, Selanjutnya melalui proses konveksi, konduksi dan radiasi, api terus menyebar luas kearah bahan bakar baru yang tersedia.
Keberhasilan pencegahan karhutla akan tergantung kepada tiga aspek, yaitu; aspek pertama adalah hal-hal yang berhubungan dengan bahan bakar. Aspek kedua, yang berhubungan dengan energi panas yang mencapai suhu titik bakar. Dan aspek ketiga, yang berhubungan dengan ketersediaan udara. Ketiga aspek tersebut selalu berhubungan dengan aktivitas manusia.
Hanya udara bebas yang paling kecil dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Namun unsur bahan bakar dan proses pemanasan awal sangat dipengaruhi oleh unsur manusia.
Bagaimanakah klarifikasi tentang peranan manusia dalam hubungannya dengan pemanasan awal. Bagaimana pula hubungan manusia dengan bahan bakar, dan bagaimana juga peran manusia hubungannya dengan oksigen di udara.
Tulisan ini bermaksud menganalisis peran ketiga paktor penyebab karhutla hubungannya dengan manusia dan alternatif pencegahan kebakaran yang tepat.
Keterbatasan selama ini yang sering muncul adalah belum menyeluruhnya sasaran manusia yang dijadikan obyek pencegahan. Sebagai contoh sekalipun pendekatan pencegahan karhutla sudah dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan selama ini, tetapi hanya terbatas pada aktivitas pendidikan kepada masyarakat yang terbatas, seperti melakukan penyuluhan peraturan larangan membakar dan pengetahuan lingkungan yang terbatas hanya kepada para penyuluh dan anggota-anggota regu Masyarakat perduli api (MPA). Sedangkan Masyarakat lainnya yang berprofesi sebagai petani ladang tradisional dan pencari sumberdaya alam hasil hutan seperti kayu, madu, rotan dan lain-lain masih sering menggunakan api sebagai cara persiapan lahan dan membuka akses masuk hutan.
Fasilitasi teknologi tepat guna di tingkat masyarakat desa untuk melakukan pencegahan dan pemadaman dini kebakaran juga belum optimal. Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya adalah penegakan hukum terhadap pelanggar pembakaran belum ditegakan sepenuhnya hingga di tingkat desa sekitar hutan.
Peran Manusia dalam Kebakaran Hutan
Sebelum terjadi kebakaran, peranan manusia dalam mengurangi oksigen sangat kecil. Dengan kata lain, upaya mencegah terjadinya karhutla melalui mengurangan oksigen sangat kecil, dan hampir tidak mungkin. Udara selalu tersedia dimana saja, dimana 20,93 % mengandung Oksigen (O2).
Peran manusia dalam mematikan api melalui pemutusan oksigen hanya mungkin ketika api sangat kecil atau api lilin. Ketika api awal terjadi sangat kecil, maka sebagian kecil para pemadam dapat melakukan penutupan api menggunakan karung basah atau menutupnya dengan pasir dan tanah.
Di sisi lain, api lilin dapat ditutup dengan gelas sehingga api mati akibat tidak ada oksigen. Namun peristiwa karhutla yang terlanjur sedang dan besar sangat sulit dimatikan dengan cara menutupi api. Celah lobang kecil pada penutup sudah cukup untuk mendukung penyalaan api.
Baik pada peristiwa kebakaran Karhutla maupun kebakaran Gedung bangunan atau kebakaran kota, hampir tidak pernah para pemadam melakukan penutupan api yang sudah besar dengan alat penutup. Pertimbangannyta adalah; tidak efektif dan efisien. Solusi pemadaman yang dilakukan para pemadam karhutla adalah dengan melakukan semprotan air, baik menggunakan pompa dari darat maupun bom air dari udara (water bombing) menggunakan pesawat helikopter.
Kadang-kadang pengkabutan (fogging) dilakukan menggunakan pesawat jet. Teknologi tersebut pada perinsipnya bertujuan menurunkan temperature dan memisahkan oksigen dari proses pembakaran bahan organik.
Peran Manusia dalam Bahan Bakar Tersedia
Unsur bahan bakar sebenarnya merupakan komponen kebakaran yang paling pasti bisa menghentikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Andai saja bahan bakar bisa dikendalikan pada setiap menjelang musim kemarau, maka tidak mungkin terjadi api kebakaran yang besar dan luas.
Dari tiga jenis bahan bakar karhutla yang ada, yaitu bahan bakar besar (diameter > 7,5 cm), sedang (diameter 2,5 sd 7,5 cm) dan kecil (diameter < 2,5 cm), sesungguhnya hanya bahan bakar kecil lah yang sangat menentukan terjadinya penyalaan awal suatu kebakaran.
Sebagai contoh, suatu tegakan kebun kayu atau hutan tanaman apabila vegetasi rumput dan semak bawah tegakan dibersihkan atau dipendekkan pada musim kebakaran, maka kebun dan hutan tersebut tidak terbakar, padahal pohon tersebut adalah bahan bakar. Hanya saja batang pohon tersebut merupakan bahan bakar besar sehingga memerlukan waktu yang lama untuk menyala.
Dengan demikian, jika semua pemilik hutan dan kebun, baik masyarakat sekitar hutan maupun para pengusaha perkebunan, termasuk hutan tanaman industri, bisa memendekkan bahan bakar bawah hingga 5 s.d 10 cm, atau bahkan menghilangkan bahan bakar halus bawah tegakan pohon yang dimanfaatkan menjadi bahan pupuk, pelet pakan ternak dan pelet energi, pasti kebakaran hutan dan lahan tidak akan terjadi.
Kegiatan tersebut hanya perlu dilakukan saat menjelang musim kemarau, walaupun tindakan tersebut memerlukan biaya.
Peran Manusia dalam Pemanasan Awal Karhutla
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa terjadinya api secara alami sangat kecil kemungkinannya, maka pemanasan awal hampir semuanya dilakukan oleh manusia pengguna api di lahan.
Suhu titik bakar suatu bahan bakar selalu dicapai dan diawali dengan penyulutan api yang sudah jadi oleh manusia. Kebiasaan alat yang digunakan untuk membuat api adalah korek api dan gas macis, yang biasa digunakan untuk menyulut rokok. Gas penyulut rokok tersebut disulutkan ke bahan bakar halus berupa rumput, pakis atau sampah organik yang kering yang terus merambat ke seluruh bahan bakar yang ada.
Profil manusia yang sering melakukan penyulutan awal meliputi; peladang tradisional tebas bakar, atau pencari ikan dan hasil hutan yang membuka akses jalan masuk hutan dengan membakar. Bisa juga para pelaksana pembuka lahan untuk land clearing perusahaan, para penggemar camping ground yang suka memasak di lapangan, pekerja proyek yang suka memasak di sekitar lahan, atau para peternak sistem lepas yang suka meremajakan rumput untuk pakan ternak serta para pembakar sampah hasil panen padi melalui pembakaran jerami padi yang masih berdiri.
Para penyulut itulah yang seharusnya menjadi obyek penyuluhan dan pelatihan dari pemerintah dan swasta pemerhati lingkungan.
Jika kesadaran untuk tidak menyulut telah timbul dari profil manusia dimaksud, maka tidak akan terjadi api liar (wild fire). Meskipun mungkin tidak ada manusia yang bermaksud membuat kebakaran besar tetapi akibat kelalaiannya dapat menghasilkan api liar yang tidak terkendali.
Pembakaran terkendali (prescribe burning) hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang betul betul telah berdisiplin secara turun-temurun dengan kerifan lokalnya sehingga tidak menghasilkan api liar.
Langkah-langkah Pencegahan yang terintegrasi
Berbagai langkah yang dapat menciptakan pencegahan secara terintegrasi, baik oleh pihak pemerintah maupun perusahaan swasta adalah sebagai berikut :
A. Mengkoleksi data dasar secara dinamis profil manusia pengguna api lahan di setiap desa. Caranya; 1.) Kenali para pengguna api rutin di lahan di setiap desa. Perlu adanya data mata pencaharian yang biasa menggunakan api apakah petani ladang, pekebun, nelayan tangkap di beje, peternak sistem lepas, pencari HHBK, dan lain-lain.
2.) Arahkan pembinaan matapencaharian kepada para pengguna api dalam pembukaan lahan dengan melakukan pelatihan/training berbagai jenis matapencaharian yang ramah lingkungan.
Pelatihan matapencaharian tanpa bakar disesuaikan dengan budaya matapencaharian yang berlangsung di setiap desa sasaran. Untuk Masyarakat tertentu yang tidak bisa melakukan pertanian tanpa bakar dapat diberi pelatihan metode pembakaran terkendali, namun sebisa mungkin diutamakan pelatihan berbagai matapencaharian tanpa harus membakar.
B. Jenis-jenis pelatihan dan pendidikan yang dapat diberikan kepada pengguna api lahan di desa. Diantaranya;1.) Bertani tanaman semusim dengan pola agroforestry secara intensif, beternak lebah madu, serta bertani jamur merang yang dapat dijual di pasar terdekat. Atau pembuatan pupuk organik berkualitas tinggi yang dapat dipasarkan, pembuatan arang briket berkualitas eksport, pembuatan pellet pakan ternak dan pellet energi dari bahan organik berupa rumput dan semak yang biasa dibakar, beternak ayam ras dan ayam kampung, atau beternak sapi dan kambing. Bisa pula, misalnya, beternak ikan metode terpal air diam dan air mengalir, domestikasi Beje (kolam-kolam alami di lahan gambut), pembuatan kerajinan yang bernilai ekonomi tinggi dari bahan sumberdaya alam yang ada di suatu desa dengan mengutamakan yang telah membudaya tetapi diberi inovasi tanpa pembakaran lahan.
2.) Jenis-jenis pendidikan berupa penyuluhan yang perlu terus diberikan kepada masyarakat desa, terutama yang memiliki kerawanan tinggi terhadap kebakaran lahan yang meliputi; ilmu kebakaran hutan yang menekankan pada bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan dari karhutla dan teknik-teknik pencegahan dan pemadaman kebakaran yang efektif. Lalu berikan juga teknik-teknik pembangunan tanaman pasca terjadi kebakaran lahan.
3.) Masyarakat Peduli Api (MPA) dapat berperan sebagai innovator dan mediator semua aspek pendidikan atau pelatihan yang diterima oleh masyarakat baik yang berasal dari lembaga pemerintah maupun swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar proses pembaharuan dalam rekayasa sosial dapat berjalan lancar di masyarakat desa.
4.) Seorang community pacilitator atau panyuluh yang memiliki pendidikan setingkat sarjana dan memiliki kapasitas bergaul bersama masyarakat diperlukan di setiap desa agar semua program pemberdayaan masyarakat di desa dapat berjalan sebagaimana mestinya. Community pacilitator berperan sebagai mediator antara program pemerintah dengan masyarakat desa.
C. Fasilitasi Jenis-jenis teknologi tepat guna di tingkat desa, yang meliputi; 1.) Teknologi yang diperlukan dalam pencegahan karhutla. Diantaranya; a.) Teknologi alarm desa saat terjadi kebakaran di desa untuk merespon cepat adanya api liar secara dini. b.) Papan peringatan tingkat bahaya kebakaran yang praktis mudah dibaca yang menunjukkan bahaya rendah, tinggi dan sangat tinggi. c.) Teknologi pengurangan bahan bakar halus bawah tegakan hutan dan kebun dapat menggunakan alat grass cutter dan herbisida sehingga dapat mencegah masuknya api liar dari luar ke dalam unit kelola. Bahan bakar hasil tebasan dikelola menjadi bahan berguna. d.) Teknik pembuatan stok air ketika musim El Nino yang dapat berupa sumur bor, kolam air, dan pembuatan bak beton untuk penampung air di musim kering. e.) Jika memungkinkan dibuat menara pengamat asap tingkat desa. f.) Teknik penggunaan pesawat tanpa awak atau drone untuk kepentingan deteksi/patrol asap dan pemadaman dini kebakaran lahan.
2.) Teknologi yang diperlukan dalam pemadaman karhutla. Diantaranya; a.) Peralatan pemadam karhutla di lahan kering mineral dan lahan rawa gambut yang terdiri dari peralatan tangan dan mesin pompa pemadam yang sesuai. b.) Teknik pemadaman dini kebakaran yang efektif dan efisien diberikan di desa rawan. c.) Teknik pembuatan sekat bakar sementara dan permanen untuk melokalisir penyebaran api saat kebakaran. d.) Teknologi pesawat tanpa awak drone untuk pemadaman dini api kecil secara cepat.
3.) Teknologi yang diperlukan dalam pasca kebakaran, yang meliputi a.) Photografi yang sangat jelas dan berkoordinat sehingga dapat digunakan untuk upaya penegakan hukum bagi pelanggar pembakaran. b.) CCTP dapat dipasang di areal-areal yang memungkintan banyak pelanggaran pembakaran. c.) Mekanisme kolaborasi yang praktis antara regu masyarakat peduli api, TNI/POLRI, BNPB, BPBD, dan Regu Manggala Agni dari Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan untuk upaya penegakan hukum. d.) Teknik inventarisasi dampak negatif karhutla berbasis desa. Serta e.) Teknik revegetasi pasca kebakaran dengan berbagai jenis pohon dan pola tanam.
4.) Teknologi yang diperlukan dalam mengurangi dampak karhutla. Diantaranya; a.) Teknologi penetral asap berupa mesin penghisap dan pembersih udara yang praktis dan bersifat mobile di tingkat masyarakat desa. b.) Teknologi pengamanan kesehatan akibat karhutla berupa rumah anti asap yang dipakai hanya saat kondisi asap yang terlanjur tebal dan padat akibat kebakaran khususnya kebakaran gambut.
D. Tegakan hukum bagi pelanggar pembakaran sembarangan. Upaya ini meliputi;
1.) Berikan pengetahuan secara terus-menerus tentang semua aturan yang telah dibuat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang berhubungan dengan karhutla, utamanya (a) undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, (b) undang-undang nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan, (c) undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, (d) peraturan pemerintah nomor 4 Tahun 2001 tentang pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, (e) peraturan daerah tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan, (f) Peraturan Presiden nomor 3 Tahun 2007 tentang Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB), dan (g) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 32 Tahun 2016 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
2.) Inisiasi dan fasilitasi pembuatan peraturan desa yang mengatur pengelolaan kebakaran hutan dan lahan secara mandiri di tingkat desa yang disinergikan dengan hukum kearifan lokal yang berlaku di desa sasaran.
3.)Tingkatkan penegakan hukum karhutla bagi semua pelanggar pembakaran hingga ditingkat desa.
4.) Perlu ada modifikasi aturan hukum karhutla untuk tataran desa terutama dalam hal besaran denda dan sangsi kurungan penjara yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat desa misalnya setiap pemancing ikan di musim kering tidak diperbolehkan membawa korek api, gas, dan alat penyulut lainnya ke areal pemancingan dan atau ke areal penangkapan ikan/pemasangan perangkap ikan alami seperti beje atau parit baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Kepada pelanggarnya diberikan sangsi denda mengikuti contoh penerapan protokol kesehatan saat wabah virus corona (covid) 19.
5.) Uji kedisiplinan bagi setiap perusahaan perlu dilakukan setiap tahun yang diarahkan pada disiplin memiliki SDM brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Brigdalkarhutla), sarana prasarana pemadaman karhutla, standar operational procedure (SOP) pengendalian karhutla, kalender musim kegiatan brigdalkarhutla dan meminimalisir bahan bakar halus berupa rumput dan semak di bawah tegakan hutan tanaman pada setiap musim kemarau.
Terintegrasi dan Berkelanjutan
Berdasarkan pada apa yang menjadi makna dari kebakaran hutan dan lahan, apa faktor penyebab dan faktor pendukung terjadinya kebakaran, serta potensi solusi pencegahan kebakaran yang ada menuju pengelolaan lahan tanpa membakar, maka pendekatan pencegahan potensial adalah dengan melakukan pendekatan pencegahan secara terintegrasi dan berkelanjutan.
Caranya adalah dengan melakukan pendidikan dan pelatihan, pendekatan teknologi dan penegakan hukum hingga ke tingkat desa, khususnya desa-desa di sekitar hutan.
Pendidikan dan pelatihan lebih diarahkan pada perubahan matapencaharian masyarakat yang biasa menggunakan api, dengan materi teknik pemanfaatan tumbuhan rumput dan pakis sebagai bahan bakar halus menjadi bahan pupuk, makanan dan energi yang bermanfaat bagi manusia dan hewan ternak.
Fasilitasi teknologi di tingkat desa, terutama diarahkan pada teknologi yang mendukung deteksi dan pemadaman dini pada kebakaran yang tidak terduga dan belum meluas, dan penegakan hukum lebih diarahkan pada implementasi penyesuaian besaran denda dan lama kurungan penjara yang sesuai kemampuan masyarakat sekitar hutan, tetapi berefek jera.
Jika kebakaran telah menyebar sangat luas akan menjadi bencana yang tidak dapat diatasi dengan teknologi apapun. Api hanya akan berhenti setelah bahan bakar habis atau hujan minimal dua minggu secara berturut-turut. Dengan prinsip api kecil kawan dan api besar menjadi lawan, maka padamkanlah api liar yang tidak diinginkan pada saat api masih kecil dan bersifat setempat.***
*)Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi.