Meliuk gemulai, lalu mati. Di bawah permukaan air di bibir pantai. Yang hidup terus melambai, seolah memberi pesan kepada aktifitas reklamasi dan aliran sungai.
PESAN kematian itu disampaikan oleh Dr. Agustin Rustam, ahli dan peneliti ekosistem padang lamun dari BRIN, saat ditemui GI dalam acara Pelatihan Blue Carbon Accounting (BCA) di Aula PKSPL-IPB Baranangsiang – Bogor, kemarin (12/12).
Selain bisu, lamun (seagrass) pun seolah sembunyi, di bawah permukaan air laut dangkal, di bibir pantai. “Bahkan keberadaannya pun seolah tidak pasti. Ini sebuah tantangan. Untuk itu kita berharap makin banyak para ahli dan akademisi yang tertarik untuk menelitinya, agar ekosistem padang lamun lebih terangkat dan terang,” jelas Agustin saat berbincang dengan GI.
Saat ditanya berapa luas padang lamun di Indonesia saat ini, Dia menjawab; sulit ditentukan angka pastinya. “Luas padang lamun kita diperkirakan sekitar tiga juga hektar. Namun luasan itu terus berkurang dari tahun ke tahun. Ekosistem lamun tergradasi, baik oleh aktifitas reklamasi maupun cemaran aliran sungai,” jelas Agustin.
Dari waktu ke waktu, perlahan tapi pasti, tanpa disadari kontaminasi air sungai yang masuk ke laut menjadi ancaman bagi ekosistem padang lamun. “Kandungan nutrien, cemaran pupuk, pestisida, dan limbah kimia dari industri, yang terbawa aliran sungai, pelan tapi pasti mematikan lamun,” jelas Agustin. Sementara aktifitas reklamasi daratan (pantai), secara pasti membuat lamun mati, terbabat dan sirna secara mendadak, tambahnya.
Lebih jauh Periset BRIN tersebut memperingatkan, perlunya penerapan hukum dan aturan demi pelestarian pada lamun. Bagi kegiatan reklamasi; seharusnya wajib menanam lamun di lokasi lain (di luar lokasi reklamasi). Sedangkan aktifitas bantaran sungai (baik rumah tangga ataupun industri), agar insyaf dan berhenti mengotori sungai.
***Riz***