UNDP dan IPB University sedang mengkaji regulasi demi terwujudnya pasar skunder karbon yang ideal. Ini harapan baru bagi dunia bisnis di Indonesia.
MEMANG, menakar karbon (CO2) sulitnya bagai menangkap asap. Tidaklah mudah dan membutuhkan hitung-hitungan akademik. Namun di era kecanggihan Iptek, serta dibawah ancaman perubahan iklim saat ini, cemaran udara (karbon –red) itu malah diperjualbelikan (carbon trade).
Isu peluang ekonomi baru itu pun mencuat, lalu menarik perhatian banyak pihak.
Pohon dan rimba belantara adalah salah-satu tolok ukurnya, hingga karbon tidak perlu digantang sertadibungkus lalu dijual. Maka kalangan pengusaha hutan pun –awalnya mungkin– ada yang berpikir tak lagi menebang kayu. Bahkan, dalam FGD sesi III terkait perdagangan karbon di Bogor kemarin (Rabu, 22/02), ada yang berpendapat demikian.
Para ‘pendosa lingkungan’ juga tak tinggal diam. Mereka (dunia otomotif, pertambangan dan energi dan sebagainya) harus ‘menebus dosa’ dengan menurunkan emisi, atau menjadi pembeli di bursa karbon.
Maka, jelas, pasar barang yang secara awam (selama ini) non tradable tersebut harus menjadi layak jual (tradable). Perhitungan harganya adalah NEK (Nilai Ekonomi Karbon). Berulang kali, sejak FGD sesi I hingga yang ketiga kemarin, Prof. Dr Dodik R Nurrochmat, Guru Besar IPB University memaparkan hal ini.
Peluang Bisnis
Lantas apanya yang dibeli? Ya sertifikat. Mirip bursa efek.
Hal tersebut diperjelas oleh Purwadi Soeprihanto, Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia APHI. “Bursa karbon itu adalah bursa Efek,” tuturnya dalam FGD itu.
Menurutnya, semua hal itu kuncinya adalah SRN. “Kalau sampai sekarang belum ada yang mendaftarkan ke SRN, maka kita tidak bisa bergerak apa-apa terkait pasar karbon,’ ungkap Purwadi.
Dia menilai jika sampai sekarang pasar karbon masih didominasi oleh pelaku pasar voluntary. Purwadi pun menyoroti, perlunya penetapan kriteria karbon yang dapat diperdagangkan melalui bursa karbon dan perdagangan langsung.
Sementara atas nama Ketua Umum KADIN, Dharsono Hartono, melalui Zoom, mengatakan bawa peluang perdagangan karbon lewat pasar sekunder terbuka lebar. KADIN pun mendukung terwujudnya Bursa Karbon hingga berjalan dengan lancar.
Bantu Pemerintah
“Kami dari Kadin mendukung, terutama dalam mendorong pelaku pasar untuk ikut meramaikan pasar karbon nasional,” ucap Dharsono yang menjadi keynote spech dalam diskusi tersebut.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Kehutanan IPB University, Dr. Naresworo Nugroho, dalam sambutannya, mengatakan pentinhnya kegiatan FGD ini dalam rangka terwujudnya green market, pasar karbon skunder dan infrastrukur hijau. “Untuk itulah, kami (IPB) dan UNDP melakukan kajian terkait hal ini,” tutur Dekan Fahutan IPB University itu.
Sementara perwakilan UNDP yang hadir dalam FGD tersebut, Heri Tabadepu, menjelaskan bahwa kerjasama pihaknya dengan IPB adalah untuk mengkaji serta menghimpun berbagai masukan dari para ahli dan dunia usaha dalam mewujudkan pasar skunder karbon di Indonesia.
“Konteks kami saat ini adalah sedang membantu pemerintah dalam mewujudkan pasar karbon skunder. Disamping itu menyiapkan regulasi-regulasi terkait pasar karbon,” ungkap Heri.
Disambut Antusias
Masih dalam FGD itu, Dirjen PHL-KLHK, Agus Justianto, menyatakan apresiasinya kepada IPB dan UNDP. “Kita mengakui, terkait perdagangan karbon, kita belum memiliki regulasi yang lengkap. Dengan FGD ini diharapkan dapat menghasilkan atau memberi masukan yang baik bagi pemerintah dalam hal kebijakan terkait perdagangan karbon,” tuturnya.
Di pihak lain, Direktur Pengawasan Asset OJK, Aldi Ernandam mengungkapkan bahwa Perdagangan karbon harus memenuhi syarat dan berbagai ketentuan.
“Sekarang kami (OJK) sedang menggodok syarat dan ketentuannya di Indonesia. Memang, perdagangan karbon bukanlah hal yang mudah, seperti halnya perdagangan pada umumnya. “Jadi perlu diatur sedemikian rupa,’ jelas Aldi Ernanda.
FGD bursa karbon itu pun disambut baik oleh pelaku bisnis kelapa sawit.
Dalam kesempatan itu, Joko Supriyono dari GAPKI, mengatakan bahwa dunia usaha kelapa sawit sudah mulai concern terkait penurunan emisi karbon. Tapi, menurutnya, untuk sektor perkebunan, masih perlu lebih jauh kajian sistem penghitungan dan lain sebagainya, baru kita bicara atau ikut serta dalam perdagangan karbon.
Sementara Dr. Anggawira, Ketua Aspebindo dan juga Sekjen BPP HIPMI, melihat adanya standar ganda dalam perdagangan karbon dunia. “Untuk itu perlu formulasi yang baik sehingga NEK mampu menjadi insentif bagi para pelaku bisnis, terutama dalam bisnis hijau (green business),” ungkap Angga.
***Riz/FAK***