PERMENDAG No. 15/2020 KARPET MERAH INVESTASI DI ATAS PUING LEGACY ?

Oleh : Agung Nugraha

Direktur Eksekutif Wana Aksara Intitute

Gugatan non litigasi cenderung bersifat politis. Namun lemah secara hukum. Gugatan politik lebih disukai karena dalam banyak hal bisa menjadi panggung. Namun hasilnya biasanya tidak terlalu efektif. Umumnya hanya menimbulkan kegaduhan di tingkat media dan jagat politik.

Dalam sebulan terakhir, sektor kehutanan kembali gaduh. Adalah penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan No. 15 Tahun 2020 (Permendag No 15/2020). Mengatur soal ketentuan ekspor produk industri kehutanan.

Sebuah antiklimaks. Betapa tidak. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah capaian terbesar Pemerintah RI pasca reformasi. Bukan hanya karena didukung segenap pemangku kepentingan. Namun juga diakui dan diterima komunitas internasional. Khususnya Masyarakat Uni Eropa. Bahkan menjadi rujukan bagi komunitas internasional lainnya.

Lebih dari itu. SVLK menjadi pintu masuk “pertobatan dosa” kehutanan Indonesia masa lalu. Dalam mewujudkan tata kelola hutan yang baik dan berkelanjutan. Menjelma menjadi tonggak sejarah berakhirnya zaman “jahiliyah” kehutanan Indonesia. Yang sejak era reformasi mengalami masa kegelapan. Tersebab merajalelanya praktek penebangan liar hingga penyelundupan kayu. Menjadi salah satu faktor penyebab sangat tingginya laju degradasi dan deforestasi hutan tropis di dunia.

Kini, Permendag No. 15 Tahun 2020 menjadi sebuah ironi. Atas nama investasi dan mendongkrak kinerja ekspor produk industri kehutanan, tidak perlu lagi memberlakukan Dokumen V-Legal/SVLK.

Sangat ironis. Haruskah memberikan karpet merah investasi dan peningkatan kinerja ekspor dengan merusak legacy yang sudah ada ? Quo vadis.

Kelemahan Mendasar

Sekali lagi, Permendagri No 15/2020 memang sebuah potret buram. Bahkan paradoks. Betapa tidak. Ada sederet kelemahan. Mulai dari sisi historis, prosedur, substansi, manfaat hingga beragam aspek lainnya.

Yang paling mendasar, Permendag No 15/2020 ini jelas sebuah kebijakan A-historis. Tersebab tidak mengacu pada sejarah pengembangan kebijakan dan aturan hukum tentang SVLK. Hampir dua dekade lalu. Yang merupakan upaya untuk membangun tata kelola kehutanan Indonesia yang baik. Mencegah dan mengatasi praktek illegal logging. Kini, SVLK tidak lagi menjadi sebuah kewajiban. Dengan alasan menjadi salah satu hambatan investasi dan peningkatan kinerja ekspor. Mengemuka pada sebuah Rapat Terbatas Koordinasi Menko Perekonomian. Beberapa waktu lalu.

Itu jelas logika sesat. Namun justru menjadi salah satu pilihan rasionalitas. Atas penerbitan Permendag No. 15/2020. Yang sekaligus menjadikannya cacat prosedur. Betapa tidak. SVLK dibangun melalui proses pembahasan partisipatif multipihak dan penuh keterbukaan. Jatuh bangun selama bertahun-tahun. Dengan berbagai tahapan dan uji coba,  demi memperoleh sebuah sistem terbaik dan kredibel. Dijalankan oleh kelembagaan yang wajib memiliki legalitas hingga integritas SDM. Kini, tanpa proses keterbukaan dan partisipasi multi pihak, Permendag No. 15/2020 secara sepihak mengeliminir SVLK. Sama artinya memelintir seluruh proses dan tahapan yang pernah dibangun oleh para pemangku kepentingan. Pemerintah, masyarakat sipil hingga komunitas internasional.

Kelemahan lain Permendag No 15/2020 adalah konsideran yang diacu. Penerbitan Permendag ini dilandasi oleh dua faktor. Keduanya adalah ketidaksesuaian perkembangan dan  kebutuhan masyarakat. Pertayaannya, adakah kedua temuan itu hasil evaluasi resmi penerapan kebijakan SVLK ? Sahih dan akuratkah studinya  ?

Sebaliknya. Jangan-jangan kedua faktor itu sepenuhnya didasarkan pada “bisik-bisik” antar oknum pejabat dan pemilik industri/eksportir  yang sarat dengan politik transaksional ? Mumpung situasi dan kondisi lagi tidak fokus tersebab wabah Corona. Faktanya, pasca implementasi SVLK kinerja ekspor produk industri kehutanan dalam satu dekade tarakhir justru terus mengalami peningkatan. Bahkan lompatan. Apakah kemendag hendak mengabaikan fakta itu ?

Selain konsiderans pertimbangan, tentu saja isi Permendag No 15/2020. Substansinya ternyata juga menimbulkan tabrakan hukum. Bagaimana bisa ?

Selain bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di bidang kewenangan kehutanan, yaitu UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juga bertentangan dengan UU No 18 tahun 2013 tentang P3H. Undang – Undang yang bertujuan menegakkan tata kelola hutan dan pencegahan kerusakan hutan. Sementara di tingkat antar Kementerian, Permendag No. 15/2020 juga menabrak Peraturan Menteri LHK No. P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan, atau Pada Hutan Hak.

Halooww, bagaimana bisa ada negara dalam negara ? Dimana Presiden selaku atasan para menteri ? Apakah Presiden Jokowi kecolongan ? Tidak mungkin. Karena jelas beliau seorang rimbawan. Walaupun, dulu juga pengusaha meubel. Namun sekali lagi semua harus berpikir positif.

Terakhir, kelemahan Permendag No 15/2020 adalah timbulnya distrust yang jelas menggerus social capital. Permendag No. 15/2020 hendak mengembalikan kehutanan Indonesia ke zaman “Kalabendu” maraknya malpratek penebangan liar dan penyelundupan kayu. Hal ini jelas merupakan sebuah kemunduran. Reduksionis. Menimbulkan ketidakpastian baru. Dari kondisi jaminan kepastian legalitas  dan keterlacakan sumber bahan baku melalui implementasi SVLK. Menjadi tidak dapat dipastikan lagi dan cenderung transaksional

Strategi langkah Ke Depan

Langkah Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang telah mengajukan surat terbuka berisi tuntutan pencabutan Permendag No 15/2020, atau setidaknya revisi dinilai tepat. Seyoganya harus terus didukung semua pihak.

Namun, harus diakui secara jujur bahwa sebuah surat tentunya memiliki banyak keterbatasan output. Hal ini yang harus menjadi bahan pertimbangan untuk bergerak maju ke depan melalui langkah yang lebih efektif.

Berdasarkan pengalaman gerakan masyarakat sipil, gugatan non litigasi cenderung bersifat politis. Namun lemah secara hukum. Gugatan politik lebih disukai karena dalam banyak hal bisa menjadi panggung. Namun hasilnya biasanya tidak terlalu efektif. Umumnya hanya menimbulkan kegaduhan di tingkat media dan jagat politik.

Di sisi lain, surat terbuka tidak memiliki tindak lanjut dan konsekuensi hukum yang jelas. Sebaliknya, Permendag No. 15/2020 sebagai sebuah kebijakan yang berdimensi legal memiliki konsekuensi hukum yang jelas dan pasti. Termasuk konsekuensi yang bersifat memaksa. Bahkan berisi sanksi bagi yang melanggar. Degan catatan bila ia sudah berlaku dan berkekuatan hukum tetap.

Apalagi dengan peta gerakan aktivis masyarakat sipil yang –jujur- saat ini terpecah (dua). Satu pihak adalah aktivis LSM yang kini menjadi pejabat dan birokrat. Termasuk lingkaran dalam istana. Dalam kelompok ini juga para aktivis masyarakat sipil yang kini menjadi politisi partai politik. Khsusnya parpol pendukung pemerintah. Soliditas para pihak, akan mudah digoyang. Dipecah melalui proses negosiasi dan okupasi. Target, meredam melalui upaya mengulur waktu (buying time). Harapannya, nanti akan padam sendiri. Seiring dengan habisnya ketahanan stamina dan logistik.

Atas dasar hal tersebut, selain surat perlu dipertimbangkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk mengajukan dua alternative tindak lanjut. Dalam bentuk gugatan hukum.

Pertama, terkait dengan cacat prosedur penerbitan Permendag No. 15/2020 bisa mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Kedua, atas tabrakan hukum substansi Permendag No. 15/2020 yang bertentangan dengan UU, bisa diajukan sebuah judicial review ke Mahkamah Agung. Keduanya tentulah memiliki skema dan mekanisme yang berbeda. Termasuk tata waktu masing-masing.

Sebagai catatan penutup, keberhasilan mengajukan satu atau dua langkah hukum di atas terhadap Permendag No. 15/2020 oleh Koalisi Masyarakat Sipil akan memberikan tiga dampak besar.

Pertama, mengembalikan legal standing Koalisi Masyarakat Sipil ke jalur semula. Yaitu penguatan masyarakat madani yang independen dan mandiri. diluar –kooptasi- kelembagaan Pemerintah. Kedua, sebagai momentum untuk tidak terulang kembali merubah dan apalagi “mempermainkan” SVLK. Ketiga, termasuk pelajaran kepada Pemerintah. Bahwa membangun legacy tidak boleh dilakukan dengan merusak legacy yang sudah ada. Quo vadis SVLK ?

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *