Oleh: Pudja Mardi Utomo* & Henti Rosdayanti**
Di daerah ini masoi sangat dihargai secara adat dan tradisi. Untuk panen kulitnya dilakukan ritual khusus agar malapetaka tidak melanda. Mereka pun meyakini bahwa masoi adalah berkat Tuhan yang harus dijaga.
MASOI (Cryptocarya massoy) merupakan salah satu spesies endemik unggulan di hutan Papua. Tumbuhan ini termasuk dalam habitus pohon yang memiliki tinggi hingga 30 m dan diameter 30 cm, dengan ketebalan kulit hingga 0.75 cm. Masoi masih sekerabat dengan kayumanis (Cinnamomum sp).
Seluruh bagian tanaman masoi, baik daun, batang, kulit, buah maupun akar, beraroma wangi karena mengandung senyawa khas masoialacton.
Tanaman ini dikelompokkan ke dalam Hasil Hutan Non Kayu (HHBK), karena sudah biasa dipanen kulitnya untuk disuling menjadi minyak aromatik esensial yang diperdagangkan hingga ke pasaran internasional.
Minyak masoi asal Papua memiliki kualitas terbaik. Nilai jualnya di pasaran pun tinggi. Tak heran jika permintaannya terus meningkat, sementara pasokan minyak atsiri dipasaran terus berkurang. Hal tersebut disebabkan karena selama ini pemanfaatan kayu C. massoy masih berasal dari alam, karena belum adanya budidaya yang intensif. Maka tak perlu pula kaget, jika minyak masoi dapat dibandrol dengan harga hingga mencapai 5 juta per kg.
Di salah satu situs online (ebay.com), harganya fantastis. Hasil distilasi kulit masoi mencapai Rp.18.000.000,-/500 mL s/d 1.400.000/30 mL (dalam bentuk Eseential massoia-cryptocarya massoia wild). Bahkan dapat mencapai harga Rp. 5.053.333/100 mL (dalam bentuk parfum Hermes Herme Sense Santal Masoi a EDT Spray 3.3 oz).
Terancam Punah
Pohon masoi di alam terus diburu dengan sangat massif. Pasalnya, kulit kayu masoi sampai saat ini masih menjadi produk hutan unggulan yang banyak dicari produsen minyak wangi. Sementara populasinya di alam terus mengalami penurunan.
Berbagai hasil studi di lapangan melaporkan, bahwa tanaman masoi fase pohon di sejumlah hutan alam Papua sudah jarang ditemukan. Ujung-ujungnya, hingga masyarakat beralih berburu tanaman ini ke tanaman masoi fase tiang yang saat ini di lapangan juga sudah jarang ditemukan.
Masoi seperti umumnya pohon berkayu lain, pertumbuhannya lambat. Untuk mencapai fase pohon, bisa membutuhkan waktu hingga puluhan tahun. Oleh karena itu, masyarakat masih enggan untuk membudidayakan secara intensif. Mereka lebih senang berburu di hutan alam.
Saat ini IUCN menetapkan tanaman masoi ke dalam tanaman yang mendekati terancam punah (Vurnarable). Kondisi diatas, jika dibiarkan terus menerus, dihawatirkan dapat menyebabkan tanaman masoi punah.
Namun lain halnya dengan yang terjadi pada masyarakat di Kampung Us, Distrik Patipi, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Ada cerita unik mengenai kelestarian tanaman masoi endemik yang sampai saat ini masih ditanam dan dibudidayakan di kebun mereka secara turun temurun dari zaman nenek moyangnya.
Sejak dahulu leluhur mendorong menanam masoi, walaupun awalnya lebih memilih tanaman pala sebagai sumber penghidupan mereka. Pala merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat panen sepanjang tahun. Namun demikian, mereka juga percaya bahwa masoi merupakan berkat Tuhan. Mereka juga percaya bahwa masoi dan manusia telah ada bersama-sama sejak dahulu.
Masyarakat Kampung Us tidak langsung melaksanakan himbauan menanam masoi, meskipun leluhur telah menganjurkan menanam jenis ini. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Us mulai mengakses informasi melalui internet. Selain itu, adanya kunjungan tamu ke Kampung Us, baik dari aparat pemerintah maupun perorangan yang semakin banyak, maka mereka memperoleh informasi; ternyata minyak masoi memiliki ekonomi yang sangat tinggi dan prospek yang baik untuk dikembangkan.
Sejak saat itu, masyarakat termasuk generasi mudanya mulai ada kesadaran untuk menanam masoi dengan skala yang cukup luas, yang selama ini masoi hanya menjadi tanaman sela diantara tanaman pala.
Kearifan Lokal
Penulis ditemani periset lain, diantaranya Ahmad Suhendra, Dwi Pangesti Handayani serta seorang dosen Fakultas Kehutanan IPB – Bayu Winata, bersyukur memiliki kesempatan mengunjungi kampung ini dan mengetahui lebih jauh tentang budidaya tanaman masoi dari masyarakat langsung.
Kedatangan penulis ke Desa Us merupakan rangkaian kegiatan Ekspedisi dan Eksplorasi Masoi di Papua yang didanai oleh Kedeputian Riset dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dipenghujung bulan September tahun 2022, penulis sampai di Kampung Us yang disambut hangat oleh keluarga marga Kabes. Rumah yang penulis singgahi adalah rumah bapak Abraham Kabes, salah satu Mayor kampung tersebut –semacam Kamitua di Jawa.
Diantara gemriciknya suara hujan, Bapak Kabes yang telah berusia senja itu bercerita kepada penulis, yang saat itu berkumpul di ruang tengah. Dikatakannya, bahwa Kampung Us dihuni oleh masyarakat dari empat marga, yaitu Marga Kabes, Marga Tuturop, Marga Iha dan Marga Hindom.
Masyarakat kampung US telah lama mengenal kayu masoi. Berburu pohon masoi di hutan merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat dan menjadi andalan untuk perekonomian sehari-hari. Kini, masoi yang tumbuh secara alami sudah jarang ditemukan. Kalaupun ada, biasanya yang tumbuh di lereng-lereng bukit dan letaknya jauh dari kampung.
Berawal dari peninggalan moyang mereka yang masih bisa dilihat di kebunnya. Lokasinya di Bukit Wainopnop. Satu pohon besar masoi tumbuh menjulang tinggi. Umur pohon tersebut mungkin sudah ratusan tahun, seperti yang telah diceritakan oleh orang tua Mayor Kabes. Dari pohon itulah asal muasal tanaman masoi yang ada di kebun mereka.
Ditanamnya masoi oleh masyarakat Kampung Us tidak terlepas dari tradisi adat istiadat setempat. Dimana, setiap ada anak yang lahir, orang tua memiliki semacam kewajiban moral untuk menanam tanaman masoi yang menandakan kelahiran anaknya.
Meskipun masoi merupakan sebuah tanaman, namun mereka tidak sembarang dalam penebangannya. Ada tradisi ritual khusus yang harus mereka lakukan sebelum dan sesudah dilakukan penebangan. Dimana kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun masyarakat Kampung Us dalam penebangan masoi yang sangat unik.
Penebangan masoi diawali dengan sebuah ritual pengolesan minyak sayur yang telah dibacakan mantra. Minyak sayur ini kemudian dioleskan kebagian pohon yang akan ditebang. Begitu pula pada alat yang digunakan untuk menebang (seperti kapak, parang atau gergaji mesin) dan bahkan tangan yang akan menebang.
Setiap orang yang terlibat dalam proses pemanenan kulit masoi ini juga harus diolesi minyak ini. Ritual ini merupakan wujud penghormatan mereka terhadap pohon masoi. Jika ritual-ritual tersebut tidak lakukan, mereka percaya akan ada malapetaka yang bakal mereka terima.
Sambil melakukan eksplorasi tanaman masoi di lereng bukit Wainopnop, penulis berkesempatan mengunjungi kebun keluarga Bapak Kabes. Di kebun itu Bapak Kabes menunjukan pohon yang ditanam saat anak bungsunya lahir, yang saat itu umurnya 30 tahun. Pohon tersebut, saat kunjungan telah berdiameter lebih dari 25 cm, dan tingi lebih dari 25 meter. Hari itu pohon tersebut ditebang, untuk mendemotrasikan ritual-rituan yang mereka biasa lakukan saat penebangan kayu masoi dan bagaimana cara memanen kulit masoi.
Pada hari terakhir kegiatan, penulis diajak oleh sekitar 23 pemuda Kampung Us berkunjung ke kebun masoi mereka.
Fakta di lapangan ternyata diluar perkiraan penulis. Mengapa tidak? Selama ini penulis hanya mengetahui tanaman masoi yang dibudidayakan, seperti halnya yang dimiliki Bapak Kabes –yang ditanam sejak 25 tahun lalu. Ternyata, para pemuda ini telah menanam masoi puluhan hektar atau puluhan ribu pohon.
Masoi yang dibudidayakan pemuda Kampung Us sudah berumur antara satu tahun hingga delapan tahunan. Saat kunjungan, diameter batangnya sudah ada yang mencapai lebih dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 12 meter. Hal ini sangat mengembirakan, Penulis pun optimis, jika masoi dibudidayakan seperti yang dilakukan para pemuda Us, maka tanaman masoi akan lestari di Papua.
Semangat anak-anak muda ini harus didukung penuh, mereka mempraktikkan kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang mereka dan melakukan penanaman masoi secara sukarela ini merupakan salah bentuk konservasi jenis ini, karena keberadaannya masoi secara alami di luar Kabupaten Fakfak sangat mengkawatirkan, dimana masyarakat hanya memanen kulit masoi tanpa menanam kembali.
Sebagai penutup, penulis mengutip kalimat bijak Bapak Kabes; “Generasi saat ini adalah generasi penghubung kehidupan masa lampau dengan kehidupan masa depan. Oleh sebab itu, warisan yang kita terima berupa kekayaan alam yang luar biasa ini harus dikelola dengan baik, supaya dapat diwariskan kembali kepada anak cucu”.
Wangi masoi lestari karena tradisi.***
*) Peneliti Ahli Madya – BRIN, **) Perekayasa Ahli Muda – BRIN