Mangrove memiliki potensi yang tak kalah penting dibanding kawasan hutan lainnya. Mangrove primer dan sekunder merupakan penyimpan karbon (C) terbesar. Perlu dilakukan penghitungan cermat, dengan metode yang tepat.
HUTAN di gunung – hingga pesisir pantai, tetap saja berupa belantara tumbuhan. Dalam soal penghitungan karbon pun, tidaklah berbeda jauh. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), Muhammad Ridwan, saat menjadi salah-seorang pemateri dalam Pelatihan Blue Carbon Accounting (BCA) di Kampus IPB University – Baranangsiang belum lama ini.
Dalam kegiatan yang digelar Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB tersebut, ahli penghitungan karbon itu memaparkan metode plotting assessment karbon mangrove. Dimulai dari tahapan penentuan jumlah plot karbon mangrove, hingga trik pendugaan stok karbon biru di pesisir, khususnya pada kawasan mangrove.
Lebih jauh Ridwan menjelaskan, bahwa tahapan penentuan jumlah plot diawali dengan menentukan klasifikasi lahan mangrove pada lokasi studi. “Gunakan acuan nasional (FREL atau FRL),” ungkapnya.
Kegiatan selanjutnya dalam penentuan jumlah plot ialah dengan menghitung luas masing-masing klasifikasi tutupan lahan mangrove.
Dikatakannya, bahwa jumlah plot studi karbon hutan mangrove juga dapat diketahui melalui penggunaan rumus dari IPCC. “Dalam hal ini, sekarang sudah tersedia Winrock Calculator,” tambah Ridwan.
Lalu mengapa karbon (C) pada mangrove perlu dihitung?
Menurut praktisi carbon accounting tersebut, mangrove memiliki potensi yang tak kalah penting dibanding kawasan hutan lainnya. Mangrove primer dan sekunder merupakan penyimpan karbon (C) terbesar. Untuk mendapatkan potensi akurasi karbon yang tinggi, maka penghitungan karbon perlu dilakukan, tentu saja dengan metode yang benar.
“Ini diperlukan dalam upaya mendukung pencapaian target penurunan emisi nasional yang sesuai FREL/FRL Nasional,” jelas Direktur Eksekutif PT. CKL tersebut.
***Riz***