Jika selama ini produksi kelapa sawit banyak mendapat kritikan (secara ekologi, sosial ekonomi dan sebagainya), itu tidak adil. Sewajarnya; bandingkan dengan produksi minyak nabati lainnya.
TIDAK wajar, tidak fair, jika membandingkan kelapa sawit dengan hutan. Sehingga kegiatan agribisnis penghasil minyak nabati itu terus dituding sebagai perusak ekosistem.
“Ini tidak apple to apple. Mari kita bandingkan dengan kegiatan produksi sejenis, seperti dengan minyak kedele, bunga matahari dan sebagainya,” ungkap Prof. Dodik R. Nurrokhmat, mewakili Rektor IPB University, dalam sambutan (keynote spech) pada acara Konferensi Internasional Minyak Nabati di Bogor kemarin (Kamis, 30/11).
The 1st International Conference on Vegetable Oil 2023/ The 1st VOICe 2023) itu membahas Aspek Ekologi, Sosial-Ekonomi, dan Pemasaran Komoditas Minyak Nabati. Berbagai kalangan, baik nasional maupun internasional turut serta dalam kegiatan tersebut, baik secara offline maupun daring (online).
Sejumlah pakar dan periset dari mancanegara pun menjadi pembicara dalam kesempatan itu., diantaranya dari Canada, China, Brazil dan sebagainya.
Menjadi Isu Global
Lebih jauh mewakili Rektor IPB, Dodik menyampaikan, bahwa saat ini dunia telah disejahterakan oleh pertumbuhan ekonomi global. Namun di sisi lain, degradasi lingkungan dan perubahan iklim menjadi perhatian global.
“Minyak nabati merupakan salah satu kebutuhan pokok pangan manusia dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Namun, itu sering kali menjadi isu global dalam proses bisnisnya, mulai dari tingkat lokasi, produksi, hingga pemasarannya,” ungkapnya.
Dodik mencontohkan, misalnya produk minyak sawit. Komoditas ini sering dituding tidak ramah lingkungan, penyebab emisi, dan penurunan keanekaragaman hayati. Hal ini terjadi karena indikator keberlanjutan kelapa sawit sering dibandingkan dengan indikator kelestarian hutan alam.
“Membandingkan kelapa sawit dalam hal Indikator keberlanjutan, dengan hutan alam, jelas tidak seimbang. Dalam hal indikator keberlanjutan, kita harus membandingkan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya, seperti minyak yang berasal dari lobak, bunga matahari, dan kedelai,” jelas Dodik.
Informasi Berimbang
Oleh karena itu, konferensi tersebut ditujukan untuk memfasilitasi diskusi akademis dalam memberikan informasi yang lebih berimbang terkait dengan aspek ekologi, sosial ekonomi, dan pemasaran berbagai jenis minyak nabati, seperti kelapa sawit, rapeseed, canola, biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak atsiri, dan lain-lain.
Hasil penelitian ini adalah diperlukan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan terkait strategi pengembangan industri minyak nabati di pasar global, terutama industri dan perdagangan kelapa sawit di Indonesia.
“Kami menyelenggarakan konferensi ini karena keprihatinan kami akan perlunya penelitian dan pengetahuan tingkat lanjut,” tegas Dodik mewakili Rektor IPB University.
***Riz***