OMNIBUS LAW DAN REVISI UU KEHUTANAN MOMENTUM ATAU JEBAKAN ?

Oleh :

Agung Nugraha

Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute

Hari Rabu, 22 Januari 2020, DPR RI resmi mengesahkan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas prioritas 2020. Satu diantaranya menjadi kepedulian – sekaligus kegalauan – rimbawan. Tentu saja rencana RUU Perubahan Kedua UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Selanjutnya disebut revisi UU Kehutanan).

Rimbawan kini terbelah. Bukan dua, melainkan menjadi tiga kubu. Menghadapi rencana revisi UU Kehutanan. Pertama, kubu konservatif yang menolak secara tegas upaya revisi tersebut. Kedua, kubu moderat yang menerima revisi UU kehutanan secara terbatas. Dengan sejumlah catatan sebagai jalan tengah. Ketiga, gerbong reformis yang dengan antusias mendukung sepenuhnya perubahan revisi –bahkan- perombakan total UU Kehutanan.

Dalam dunia akademik, dialektika pro kontra adalah wajar. Termasuk terbelahnya para cendekia. Lumrah. Yang paling penting bukan dimanakah sang cendekia memilih posisi dan perkubuan. Hal paling penting dan krusial adalah apakah sebagai intelektual, para rimbawan benar-benar memahami essensi dan substansi. Mengapa dan untuk apa revisi atau anti revisi atas undang undang kehutanan itu dilakukan.

Nir Naskah Akademik

Sesungguhnya, rimbawan tidak akan terpecah. Sebaliknya perbedaan pilihan atau perkubuan itu justru akan menjadi sebuah potensi memperkaya outcome. Bila proses revisi UU Kehutanan ini mengikuti arahan UU No. 12 Tahun 2011 Jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Perubahannya. Ya, seyogyanya Prolegnas 2020 tentang revisi UU Kehutanan memiliki naskah akademik yang obyektif dan dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan bertanggung gugat.

Betapa tidak. Langkah penting dan sedemikian strategis atas keberadaan SDH dengan berbagai aspeknya ternyata tidak -atau belum- didasari oleh sebuah naskah akademik resmi. Karena inisiatif revisi dari DPR RI, seyogyanya DPR RI memiliki naskah akademik yang berisi hasil evaluasi capaian UU Kehutanan dan kebutuhan sekaligus target perubahan yang diperlukan.

Ada empat perspektif naskah akademik. Setidaknya akan mampu menjelaskan hasil evaluasi capaian UU Kehutanan.

Pertama Aspek filosofis. Bagaimanapun UU Kehutanan merupakan pengejawantahan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. ”Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Pertanyaan bahkan gugatannya. Apatah pengaturan hutan melalui UU Kehutanan telah memakmurkan rakyat ? Anda pasti bisa menjawab dengan tegas.

Kedua, aspek historis. UU Kehutanan telah berusia 32 tahun. Sejak menggantikan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok Pokok Kehutanan. Kini, 21 tahun kemudian UU Kehutanan sudah masuk prolegnas untuk direvisi. Satu dekade lebih cepat.

Terjadi percepatan yang bisa bermakna ganda. Bisa jadi perubahan sosial dan dinamika lingkungan strategis kehutanan demikian cepat. Sebaliknya, substansi UU Kehutanan terlalu teknis sehingga tidak cukup lentur apalagi “kenyal” untuk mengakomodir berbagai perubahan lingkungan strategis.

Dengan digitalisasi teknologi dan revolusi industri 4.0, diprediksi UU Kehutanan ke depan akan makin cepat membutuhkan revisi. Kecuali, konseptor revisi UU Kehutanan benar-benar bervisi futuristik. Memiliki kompetensi memaknai perubahan sosekbud dan lingkungan serta mensimulasikannya dalam bentuk pengaturan penyelenggaraan kehutanan ke depan. Untuk itu, tentulah diperlukan Rimbawan Transglobal.

Ketiga, aspek sosiologis. Hutan untuk rakyat sudah menjadi adagium reformasi. Kenyataannya, ketimpangan akses dan distribusi asset SDH antara rakyat, negara dan korporasi masih jauh dari merata. Program perhutanan sosial memang sudah digulirkan. Termasuk kebijakan reforma agraria. Namun, kini hampir semua LSM dan masyarakat adat menggugat capaian kinerja Pemerintah yang dinilai jauh dari maksimal. Kalau tidak disebut minimal. Naskah akademik revisi UU Kehutanan inilah yang akan membuka mata semua pihak tentang pentingnya revisi itu.

Terakhir, aspek yuridis. Pertanyaan kalangan ahli hukum adalah apakah memang saat ini terjadi kekosongan hukum kehutanan ? Sehingga perlu melakukan revisi UU Kehutanan. Atau yang terjadi bukan kekosongan hukum, melainkan justru gajala tabrakan hukum. Keberadaan berbagai UU sektoral seperti UU agraria, UU LH, UU KSDAE, UU P3H, UU Otda, UU Perkebunan, UU Pertanian, UU Pertambangan dan UU sektoral lainnya telah menimbulkan pertentangan pengaturan kehutanan dengan berbagai sektor lain di lapangan.

Bila fakta pertama yang mengemuka, konteks revisi UU Kehutanan adalah penyempurnaan. Bila fakta kedua yang terjadi, mutlak diperlukan harmonisasi. Maka, rasionalitas Omnibus Law pun menemukan momentumnya.

Momentum Atau Jebakan ?

Persoalan kehutanan tampak rumit dan kompleks. Termasuk dalam konteks kendala investasi. Salah satunya –konon- justru banyak disebabkan karena rumitnya perijinan di kehutanan. Situasi yang kemudian  mendorong Presiden RI berencana menerbitkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Semua pihak sudah sepakat. Bahwa untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi bagi penciptaan lapangan kerja harus ada penyederhanaan peraturan. Disamping reformasi birokrasi. Bukan hanya sektor lain diluar kehutanan –seperti tambang dan  perkebunan- yang banyak terkendala oleh perijinan kehutanan. Bahkan industri kehutanan di hulu dan hilir pun juga kini terengah-engah menghadapi dinamika perubahan global.

Sebagian pihak, memandang bahwa Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja yang dipadukan dengan revisi UU Kehutanan ini menjadi sebuah momentum. Kapan lagi ? Selama ini banyak pihak yang merasa menghadapi tembok kokoh kehutanan. Bahkan tak sedikit yang frustasi. Tatkala ingin masuk ke dunia usaha yang bersentuhan dengan kewenangan kehutanan. Ibarat masuk hutan rimba yang tidak jelas ujung pangkalnya. Karena itu, banyak sekali issue yang selama ini dinilai menjadi constraint investasi. Melalui revisi UU Kehutanan ini akan bisa lebih disederhanakan. Bahkan dihilangkan. Menjadi bebas hambatan bak jalan tol.

Itulah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran. Terutama kalangan aktivis lingkungan dan para konservasionis. Akan jebakan batman Omnibus Law terhadap kelestarian SDH. Aturan soal lingkungan dan sosial budaya masyarakat, yang secara substansial menjadi eksternalitas dunia usaha juga dinilai sebagai hambatan. Ini yang dinilai bahaya karena akan menjelma menjadi sebuah sesat pikir.

Bahwa, hutan memiliki tiga pilar dasar yang saling berkaitan. Pilar ekonomi, ekologi dan sosial yang harus dijaga keseimbangannya. Mengurangi bahkan menegasikan salah satu pilar, justru akan menghasilkan investasi yang justru akan merusak pilar lainnya. Kelestarian fungsi lingkungan. Sekaligus menghancurkan peradaban masyarakat. Itulah jebakan batman Omnibus Law. Karakter kehutanan yang multi dimensi akan dibuat dimensi tunggal : ekonomi. Karakter kehutanan yang bersifat jangka panjang akan disederhanakan dalam konteks kepentingan jangka pendek. Bahkan sasaat.

Sekali lagi, kembali pada soal naskah akademik yang kini menjadi sebuah keniscayaan. Yang kemudian diturunkan dalam bentuk legal drafting pasal demi pasal. Maka revisi UU Kehutanan masih akan bisa dilihat dalam cakrawala yang jernih. Perspektif komprehensif dalam bingkai “komparatif knowledge” yang bersifat multi disiplin. Bukan hanya melulu kacamata kuda investasi. Tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan kepentingan keberlanjutan kehidupan sosial budaya masyarakat.

Sebagai sebuah catatan penutup. Kiranya sama sekali belum terlambat bagi publik untuk menagih politisi DPR RI yang membidangi kehutanan. Agar mau berbagi naskah akademik yang menjadi rasionalitas pertimbangan perlunya revisi UU Kehutanan.

Ini penting bahkan sangat mendesak. Tanpa naskah akademik yang secara teori dan empirik bisa membuktikan perlunya revisi UU Kehutanan, maka Prolegnas RUU Perubahan Kedua UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan akan menjadi pedang bermata dua. Sangat berbahaya. Bahkan terancam kehilangan legitimasinya. Quo vadis ? ***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *