Nur M Heriyanto dan Rozza Tri Kwatrina*)
Di masa mendatang, peran dan manfaat Ruang Terbuka Hijau akan semakin strategis dalam mitigasi perubahan iklim.
PERUBAHAN iklim sedang terjadi, dan isunya sangat lekat dengan wilayah perkotaan. Mengapa? Karena perkembangan kota seringkali diikuti oleh perkembangan teknologi, industri, peningkatan jumlah penduduk serta bertambahnya sarana transportasi.
Akibatnya, wilayah perkotaan menjadi sumber utama emisi dari transportasi, pemukiman, dan industri. Gas pencemar (polutan) dari aktifitas manusia tersebut jelas berdampak negatif terhadap lingkungan terutama pencemaran udara.
Gas rumah kaca (GRK) yang dilepaskan ke atmosfer sangat tinggi, sehingga Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi penurunan sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.
Di sektor kehutanan dan lahan, target penurunan emisi ini dituangkan dalam kebijakan Indonesia Forest and Other Land Use Net Sink 2030 melalui salah satu strategi utamanya, Peningkatan Serapan Karbon (sink).
Untuk wilayah industri dan perkotaan, peningkatan serapan karbon melalui pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi pilihan yang banyak dilakukan. Ruang Terbuka Hijau menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang adalah area memanjang/ jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Perannya sangat penting dalam menyangga (biofiltering), mengendalikan (biocontroling), dan memperbaiki (bioengineering) kualitas lingkungan hidup wilayah perkotaan. Vegetasi, melalui daun, akan menyerap dan menjerap polutan seperti nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida (SOx), karbon monoksida (CO), dan timbal (Pb) yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor, dan industri.
Dengan potensi jasa lingkungan seperti itu, tidak salah jika pemerintah di wilayah perkotaan dan industri menjadikan RTH sebagai salah satu program prioritas penataan tata ruang wilayah kota. Apalagi kebijakannya sudah ada dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang menyebutkan bahwa setiap kota diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya untuk RTH dalam rencana tata ruang wilayahnya, dimana 20% diperuntukkan bagi RTH publik dan 10% diperuntukkan bagi RTH privat pada lahan-lahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat.
Beberapa kota sudah mengadopsinya dalam kebijakan daerahnya. Untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya misalnya, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur) yang mengatur luas RTH minimal 30% dari keseluruhan kawasan.
engalokasikan wilayah untuk RTH di wilayah perkotaan metropolitan seperti Jakarta dan sekitarnya tentunya bukan tantangan yang mudah. Namun upaya tersebut terus dilakukan termasuk di ruang-ruang privat seperti area industri atau area lainnya.
Ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau.
Untuk perusahaan besar, alokasi ruang yang diwajibkan adalah 20%. Beberapa perusahaan telah menunjukkan komitmennya, diantaranya RTH Toyota di Sunter Jakarta Utara seluas 2,7 Ha dari luas total luas pabrik 8 Ha, RTH Toyota Karawang 36 Ha dari luas total pabrik 100 Ha, dan RTH PT. Gajah Tunggal Tbk Tangerang 29,84 Ha (25,4%) dari luas total kawasan pabrik 117,47 Ha.
Serapan Karbon RTH
Sampai saat ini jenis tanaman yang digunakan dalam ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan masih tergantung pada beberapa jenis saja. Misalnya angsana (Pterocarpus indicus), tanjung (Mimusops elengi), sawo kecik (Manilkara kauki) dan jabon Neolamarckia cadamba.
Adanya kecenderungan masyarakat kota yang senang bila memiliki pohon-pohon estetika mahal, seperti palem import yang memang berpenampilan indah (walaupun tidak menyalahi aturan), sebenarnya tidak menyumbangkan banyak dalam upaya pengendalian lingkungan.
Ada jenis tumbuhan lain yang juga berpotensi menyerap karbon di RTH, diantaranya kayu afrika (Maesopsis eminii), khaya/mahoni afrika (Khaya anthotheca), ampupu (Eucalyptus deglupta), cemara norfok (Araucaria heteroplylla), trembesi (Samanea saman), bintaro (Cerbera manghas) dan ketapang (Terminalia catappa).
Pepohonan tersebut berpengaruh baik terhadap perubahan iklim mikro, tetapi sering kali kurang mendapat perhatian karena jasa ekosistemnya belum banyak dipahami atau tidak dikuantifikasi dengan baik. Padahal, serapan karbon tumbuhan dapat dihitung dari pengukuran biomassanya.
Pertanyaannya, sebenarnya berapa besar kontribusi tanaman di RTH dalam menjerap karbon di wilayah industry dan perkotaan? Hasil penelitian peneliti BRIN di beberapa wilayah industri di Jawa Barat mencatat kandungan karbon di beberapa RTH, seperti RTH Toyota Karawang memiliki kandungan karbon 3,67 ton C/Ha, RTH Toyota Jakarta sebesar 28,01 ton C/Ha, dan RTH Gajah Tunggal Tbk Tangerang sebesar 13,92 ton C/Ha.
RTH: Bersama untuk Semua
Mengelola RTH membutuhkan kontribusi bersama, tidak saja oleh pemerintah tapi juga semua entitas di wilayah perkotaan. Peran RTH perlu dioptimalkan, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Intensifikasi dilakukan dengan menambah atau memperkaya vegetasi dan jenis tumbuhan yang ditanam di RTH. Jenis yang ditanam di beberapa RTH umumnya beragam dan berfungsi sebagai keindahan, naungan, memperbaiki iklim mikro, tumbuh cepat, penguat tanah dari longsor dan menyerap CO2.
Pada umumnya tegakan dengan komposisi jenis yang beragam di suatu RTH akan lebih baik dibandingkan dengan jenis yang homogen. Jenis yang ditanam dapat dari tumbuhan jenis lokal ataupun eksotik dan tumbuh cepat atau sedang.
Tumbuhan yang berbunga dan berbuah juga jadi pilihan dalam hubungannya dengan satwa liar, terutama burung dan serangga yang menyukai bunga, buah, dan biji sebagai pakannya. Dan yang tidak kalah penting adalah tidak berbahaya bagi manusia, misal adanya serbuk sari yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia.
Berbeda dengan intensifikasi, ekstensifikasi lebih pada upaya menambah jumlah dan luasan RTH. Dengan keterbatasan lahan di wilayah perkotaan, maka peran swasta sangat diharapkan untuk menanami lahan kosong dengan tanaman yang banyak menjerap emisi.
Alternatif lainnya adalah membuat serapan dengan metode seperti vertical garden, roof garden, balcony garden, atau corridor garden yang mulai banyak dibangun di perkotaan. Inti dari metode ini adalah mengoptimalkan ruang pada bangunan untuk ditanami tumbuhan yang berpotensi menjerap emisi.
Semakin banyak ruang yang dapat dimanfaatkan, semakin tinggi manfaat yang diperoleh. Masyarakat juga dapat berperan di area pemukiman dengan metode planter box garden atau container garden yang tren beberapa tahun terakhir. Prinsipnya sama, yaitu mengoptimalkan ruang dan area untuk berkebun dan menanam tanaman hias, obat, dan pangan keluarga. Ini menjadi pilihan menarik yang makin banyak diminati orang di wilayah perkotaan.
Di masa mendatang, peran dan manfaat Ruang Terbuka Hijau akan semakin strategis dalam mitigasi perubahan iklim. Jika setiap pemerintah daerah mengoptimalkan RTH di kota dan wilayah industri sebagai upaya Peningkatan Cadangan Karbon, maka target penurunan emisi sebagaimana Indonesia FOLU Net Sink 2030, akan lebih cepat tercapai.
Tidak itu saja, perkembangan kota yang makin pesat akan sejalan dengan upaya menciptakan lingkungan yang sehat, serta menurunkan tingkat emisi GRK yang menjadi komitmen bersama dan diwujudkan secara bersama.
*)Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, BRIN