Petani sawit berharap, pemerintah segera mengawasi dan mengambil tindakan hukum yang tegas kepada pabrik kelapa sawit/perusahaan dari tingkat trader, grower hingga produsen yang ikut andil dalam menentukan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit secara sepihak.
KEGEMBIRAAN petani sawit tidak berlangsung lama. Harga Tandan Buah Segar (TBS) komoditas bahan baku minyak goreng itu kini anjlok. Padahal sebelumnya, petani di beberapa sentra produksi sawit sempat berpesta menikmati hasil panen kebunnya.
Di Pasaman Barat misalnya, seperti dilontarkan Ahmad, sebelum masuk Ramadahan lalu, petani sawit sedang berbahagia. Harga sawit mencapai Rp 4.000,- per kilogram. Namun kini, usai Idul Fitri, para petani kembali ‘gigit jari’. Harga kembali turun nyaris setengahnya.
Lalu, beberapa hari lalu, Kamis (12/05) di Jakarta, para petani kelapa sawit Indonesia yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melakukan rembug bersama terkait permasalahan di tingkat petani sawit. Mereka bereaksi paska pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor Crude Palm Oil (CPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil.
Petani sawit yang tergabung dalam dua serikat tersbut sepakat bahwa, Kebijakan pelarangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng sawit harus dijadikan momentum Pemerintah untuk merombak sistem perkebunan kelapa sawit yang ada.
Biang Kerok Kisruh
Dikatakan bahwa masalah yang dihadapi sektor perkebunan kelapa sawit secara nasional paling tidak didasari oleh tiga aspek, Pertama, reforma agraria yang belum dijalankan sehingga perkebunan kelapa sawit masih menjadi sumber konflik agraria dan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Kedua, pekebunan kelapa sawit yang menerapkan sistem pertanian monokultur berdampak pada lingkungan hidup.
Ketiga, ketergantungan petani sawit kepada korporasi kelapa sawit sangat akut, petani sawit belum mempunyai pabrik pengelolaan kelapa sawit, seperti industri pengolahan menjadi CPO hingga minyak goreng. Hulu hilir kelapa sawit hanya dikuasai segelintir orang kuat.
Sebab itu petani sawit berharap, pemerintah segera mengawasi dan mengambil tindakan hukum yang tegas kepada pabrik kelapa sawit/perusahaan dari tingkat trader, grower hingga produsen yang ikut andil dalam menentukan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit secara sepihak di lapangan. Mereka menilai, tindakan sepihak itu tidak berdasar pada harga penetapan pemerintah. Praktik menyimpang itu merugikan petani sawit.
Para petani menduga, bahwa penetapan harga TBS kelapa sawit saat ini tidak lagi merujuk pada harga internasional yang sebelumnya berlaku. Yang berlaku adalah harga nasional. Dugaan ini tidak lepas dari fakta sebelumnya bahwa pabrik kelapa sawit tidak mematuhi harga yang ditetapkan oleh Pemerintah.
“Oleh karena itu, kami menyuarakan bahwa negara tidak boleh kalah, Kami mendukung sepenuhnya agar Pemerintah jangan menyerahkan urusan penentuan harga TBS kelapa sawit kepada pengusaha sawit,” demikian ungkap para petani seperti dikutip sejumlah mediamassa Jumat (13/5/2022).
Petani Menjerit
Saat ini petani sawit di seluruh wilayah sentra sawit di Indonesia tengah menghadapi penurunan harga TBS kelapa sawit yang ditetapkan pemerintah provinsi setelah Permendag 22/2022 disahkan.
Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah segera mengawasi dan mengambil tindakan hukum yang tegas kepada pabrik kelapa sawit/perusahaan dalam menentukan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit secara sepihak.
Sebagai contoh, penetapan harga TBS kelapa sawit Provinsi Riau untuk periode 11 – 18 Mei 2022, telah terjadi penurunan harga sebesar Rp. 972,29 per kg menjadi Rp. 2.947,58 per kg untuk sawit umur 10 – 20 tahun. Padahal sebelumnya pada periode 27 April – 10 Mei 2022, harga TBS kelapa sawit umur 10 – 20 tahun di Riau ditetapkan Rp. 3.919,87 per kg.
***Riz***
No comment