Makan pun Ada Jejak Karbon-nya

Bukan hanya kerusakan hutan, atau asap pabrik dan kendaraan bermotor, perihal makan pun ada jejak karbon-nya.

NYARIS semua aktifitas meninggalkan jejak karbon. Bahkan makanan pun, adalah salah-satu sumber gas emisi. Ujung-ujungnya, tanpa sadar kerusakan dunia memang diakibatkan gabungan aktifitas manusia di muka planet ini.

Jejak karbon dari aktifitas pangan sebenarnya telah terjadi sejak mulai dari ekstraksi bahan baku, proses produksi, proses distribusi, hingga barang tersebut sampai di meja makan.

Sebuah sumber menjelaskan, bagi yang suka makan daging sapi misalnya, jejak karbon yang dihasilkan sangat tinggi. Karena daging sapi merupakan salah-satu penghasil gas emisi terbesar di dunia. Mengapa tidak?

Dalam proses pengadaannya, berapa liter bensin dan solar yang dibutuhkan untuk mengantarkan dan memproses makanan sapi. Apalagi kalau dagingnya harus didatangkan dari luar negeri alias impor, jejak karbonnya bertambah karena proses distribusinya yang panjang.

Dampak Jejak Karbon

Laporan dari The Lancet Countdown on Health & Climate Change menunjukkan, rata-rata 306 kejadian bencana akibat cuaca ekstrem tiap tahunnya meningkat 46% sejak tahun 2000.

Penyebabnya ialah tinggi jejak karbon yang dihasilkan. Dikatakan bahwa jejak karbon menyebabkan kenaikan suhu bumi yang sangat ekstrim. Dengan terjadinya peningkatan suhu 0,45-0,75°C, dapat menimbulkan badai tropis (siklon) serta berbagai bencana alam seperti banjir atau kekeringan.

Perubahan iklim yang disebabkan oleh jejak karbon juga menimbulkan perubahan produksi rantai makanan. Beberapa tanaman sulit untuk tumbuh dengan baik. Daerah yang memproduksi padi (beras) jadi kehilangan kemampuan karena iklim semakin panas.

Jejak Karbon juga berpengaruh terhadap kesehatan tubuh, misalnya penyebaran penyakit menular seperti malaria. Hal ini disebabkan oleh semakin luasnya pergeseran wilayah tropis ke wilayah sub-tropis, berbagai penyakit tropis juga akan menyebar di berbagai daerah.

Jejak karbon juga mengakibatkan rusaknya ekosistem laut. Hewan laut akan sulit untuk bertahan hidup. Selain itu, terjadi pula kenaikan air muka laut.

Dampak jejak karbon selanjutnya adalah berkurangnya kadar air bersih di bumi. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya jejak karbon dan berpotensi membuat suhu bumi meningkat dan naiknya permukaan air laut. Jika air bersih sudah berkurang, air seperti apa yang akan kita gunakan? Dampak lain yang biasa kita rasakan yaitu kekeringan.

Studi Bappenas menunjukkan, bahwa tanpa intervensi kebijakan, potensi kehilangan ekonomi di Indonesia akibat perubahan iklim dapat mencapai Rp115 Triliun pada tahun 2024. Uh… mengerikan.

***Riz***

Redaksi Green Indonesia