Kemiri: Tanaman ‘Strategis’ Warga Desa Hutan

Tanaman kemiri adalah sumber pendapatan tangguh masyarakat desa hutan

KEMIRI (Aleurites moluccana) merupakan  jenis asli Indo-Malaysia dan sudah diintroduksikan ke Kepulauan Pasifik sejak jaman dahulu  (Krisnawati et al.,, 2011). Kini tanaman tersebut telah menyebar ke Austria, India, Indonesia, Philipina, Kepulauan Pasifik dan Brasil.

Di Indonesia, wilayah penyebaran kemiri meliputi: Sulawesi Selatan,  Aceh, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimatan Timur dan Kalimantan Selatan, serta wilayah lainnya.  

Tanaman ini mudah dibudidayakan, karena dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk lempung merah, liat berbatu, pasir dan batu kapur. Kemiri tidak memerlukan sistem pengairan yang baik, dapat tumbuh pada tanah yang agak asam dan sedikit basa, serta cukup toleran terhadap kekeringan.

Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur dan menyukai cahaya. Pohon kemiri banyak djumpai di daerah beriklim hujan tropis yang lembap sampai ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut.

Manfaat Tanaman Kemiri

Selain penghasil buah, tanaman kemiri juga berperan untuk konservasi tanah dan air, sebagai tanaman penaung, penahan angina, serta pembatas lahan. Kemiri merupakan pohon serbaguna, karena hampir semua bagian dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. 

Biji kemiri kering; selain sebagai bahan bumbu dapur juga dapat diolah menjadi minyak kemiri untuk perawatan rambut serta sebagai media penerangan dan obat-obatan. Daunnya; di Malaysia, dimanfaatkan sebagai obat untuk sakit kepala, demam, bisul, bengkak pada persendian dan kencing nanah. Sedangkan batangnya bisa digunakan sebagai kayu bangunan dan industri serta energy alternatif.

Bunga dan getah kemiri yang baru saja disadap digunakan untuk obat sariawan pada anak-anak  di Hawai. Lalu kulit biji atau cangkangnya bisa digunakan sebagai bahan energi alternatif. Untuk yang disebutkan terakhir, bahkan menjadi salah-satu potensi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Cangkang kemiri juga berpotensi sebagai bahan campuran beton ringan untuk subtitusi agregat kasar batu palu (Sutanto et al., 2021). Hasil inovasi Teknologi Industri Pertanian Universitas Teknologi Sumbawa menunjukkan potensi arang dari cangkang kemiri sebagai penyerap etilen untuk memperlambat masa pematangan buah yang akan dikirim.  

Andalan Petani Desa Hutan?

Meskipun masyarakat desa hutan memiliki beberapa sumber pendapatan, namun kendala usaha tani selalu ada. Misalnya tanaman sulit ditumbuhkan, buah-buahan tidak awet alias cepat membusuk, tidak selalu ada pembeli, serta resiko rusak selama penyimpanan.  

Namun, kemiri tidak demikian. Persyaratan tumbuhnya tidak banyak, buah keringnya dapat disimpan lama (sampai 2 tahun). Biji kemiri memiliki cangkang yang keras, sehingga tidak banyak disukai hewan pemakan buah. Buah  matang yang  jatuh dari pohon pun tidak dimakan hewan, sehingga meskipun terlambat dipungut tidak menjadi masalah.

Selain itu, kemiri mudah dipasarkan, baik dalam bentuk gelondongan atau kemiri kulit maupun kemiri kupas.

Harga kemiri kupas di Sulawesi Selatan berkisar Rp.20.000-30.000 per kg. Sedangkan kemiri gelondongan harganya lebih rendah dibanding kemiri kupas. 

Bagi petani yang menjual kemiri kupas, kulit atau cangkang buah kemiri yang dulu menjadi limbah berbahaya, sekarang merupakan pundi-pundi ekonomi yang sangat bermanfaat. Cangkang kemiri tahan lama, dan bisa ditampung lebih banyak sebelum dijual. 

Meskipun harganya tergolong murah, namun kemiri terbukti dapat memberi pendapatan tambahan bagi petani.  

Di Kabupaten Maros dan Bone Provinsi Sulawesi Selatan, cangkang kemiri dibeli pedagang dengan harga berkisar Rp 200 – Rp 500 per kg, tetapi ada juga pedagang  yang membeli dengan harga berkisar Rp7000 -20000./karung. Umumnya pembeli langsung datang ke lokasi petani menjemput barangnya sehingga petani tidak repot dan menerima beres.

Legenda ‘Haji Kemiri’

Di Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Maros, kemiri menjadi sebuah legenda karena tanaman kemiri menjadi pendapatan andalan masyarakat desa hutan yaitu masyarakat yang  tinggal di dalam dan sekitar hutan sejak tahun 1960-an. Bahkan kurang lebih 20 tahun (1960-an sampai 1980-an) Maros menjadi penghasil  kemiri terbaik di Indonesia. 

Kemiri saat  itu menjadi salah satu simbol status sosial, sehingga tidak salah jika timbul istilah sebagai ‘Haji Kemiri’ karena keuntungan yang diperoleh dari tanaman kemiri digunakan untuk menunaikan ibadah haji.

Tanaman kemiri di Kabupaten Maros tersebar di beberapa kecamatan meliputi: Cenrana, Camba  Mallawa. Tompobulu, Moncongloe, Simbang dan Tanralili. Pengelolaan lahan berbasis tanaman kemiri di Kabupaten Maros dikenal dengan istilah Hutan Kemiri Rakyat (HKR).

Petani di Kabupaten Maros memperoleh pendapatan dari kemiri berkisar antara Rp 10.050.000,- sampai dengan Rp 12.000.000,- per tahun dengan tingkat ketergantungan rata-rata  terhadap tanaman kemiri sebesar 35.09% (Wakka et al., 2012). Sedangkan usaha kemiri  di  Kelurahan Kahu Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan memberikan kontribusi  sebesar adalah 46% atau sebesar Rp.216.333.749 per tahun terhadap pendapatan usaha tani (Baharuddin et al., 2021).

Meskipun pendapatan tersebut masih tergolong rendah dibanding pendapatan non kemiri, namun memilki nilai penting dan strategis, karena kemiri merupakan  sumber dana cadangan yang tangguh dan dapat diatur penggunaannya  sesuai kebutuhan.

Meskipun kemiri telah lama menjadi sumber pendapatan tangguh masyarakat desa hutan, khususnya di Sulawesi Selatan. Tetapi beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa produksi kemiri cenderung menurun dan pendapatan yang diperoleh belum optimal, sehingga memerlukan berbagai input untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Input tersebut diantaranya bibit unggul, serta alat pemecah kemiri yang mudah digunakan (sampai saat ini petani dominan mengupas dengan alat sederhana yang terbuat dari rotan yang dipukulkan ke batu). Petani juga perlu input teknik penanganan serangan benalu pada pohon kemiri.

Singkatnya , diperlukan perhatian berbagai pihak untuk mempertahankan keberadaan tanaman kemiri sehingga mampu menopang penghidupan masyarakat desa hutan secara berkelanjutan.

Nurhaedah Muin, Peneliti Madya pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi,  BRIN

***Riz***

Redaksi Green Indonesia