“… dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia….”(An-Nahl ayat 69)
EKOSISTEM gambut yang sehat dapat memberi manfaat yang penting bagi kehidupan manusia. Terdapat hubungan mutualistik setiap komponen dalam ekosistem gambut yang sehat. Salah-satunya adalah hewan penyerbuk, yang berperan terhadap lebih dari 90 persen tanaman berbunga. Hewan penyerbuk itu diantaranya ialah lebah.
Penyerbukan dapat mempengaruhi viabilitas benih, produksi buah, dan kemampuan variasi genetik populasi tanaman melalui penyerbukan silang. Lebah merupakan salah-satu serangga yang berperan dalam konservasi ekosistem alami, dengan membantu penyerbukan tanaman di ekosistem gambut.
Beberapa studi melaporkan, terjadinya penurunan hewan penyerbuk berpotensi menyebabkan bencana produksi pangan dan penurunan keanekaragaman hayati. Penurunan ini disebabkan oleh perubahan iklim, penggunaan pestisida yang berlebih dalam pertanian, serta rusaknya habitat.
Senggani di Lahan Gambut
Senggani (Melastoma malabathricum) merupakan tumbuhan perdu yang sering dijumpai tumbuh liar. Tumbuhan ini terkadang dianggap gulma oleh masyarakat.
Senggani memiliki batang kayu berwarna cokelat yang tumbuh berdiri tegak setinggi 1,5 sampai 5 meter. Daunnya tunggal bertangkai, dan posisinya berhadap-hadapan seolah saling bersilang. Tiap helai daun senggani berwarna hijau dengan bentuk bulat telur. Panjangnya antara 2 sampai 20 cm dan lebar 1 hingga 8 cm.
Bagian ujung dan pangkal daunnya meruncing, dengan tepian cukup rata. Masing-masing daun memiliki tiga tulang daun yang melengkung dengan panjang tangkai atau petioles sekitar 5 hingga 12 milimeter.
Senggani juga memiliki buah yang dapat dikategorikan sebagai berri berwarna ungu tua dengan rasa yang manis dan berbiji banyak. Buah Senggani memiliki diameter sekitar 6 milimeter.
Tumbuhan yang termasuk dalam Famili Melastomataceae ini diketahui juga memiliki banyak nama atau sebutan lokal, antara lain; seduduk/senduduk (Melayu/Sumatera), cengkodok (Kalimantan Barat), harendong (Sunda), kluruk (jawa), kemanden (Madura), ndusuk (Manggarai dan Flores), kedebik (Bangka), dan karamunting/kamunting (Dayak).
Habitat senggani cukup luas, dapat dijumpai diberbagai tipe lahan, baik lahan basah maupun kering. Sebaran pertumbuhannya mulai dataran rendah hingga ketinggian 1.650 mdpl.Bahkan beberapa literatur menyebutkan dijumpai juga hingga ketinggian 2.800 dan 3.000 mdpl.
Adaptasinya yang baik, dengan berbagai kondisi tanah, menjadikan tanaman ini dianggap sebagai salah-satu tumbuhan pionir. Pada ekosistem gambut, jenis ini sering sekali dijumpai pada lahan gambut yang terdegradasi (bekas terbakar, terdrainase, dan gambut terkonversi).
Tumbuhan ini memiliki segudang manfaat sebagai tumbuhan obat dengan pemanfaatan akar, daun, hingga buahnya sebagai obat tradisional seperti; obat herpes, polio, luka, diare, imunitas, antioksidan, gastroprotektif, kanker payudara, serta diabetes. Manfaat lainnya sebagai anti bakteri, anti jamur, serta anti parasit.
Beragamnya manfaat herbal senggani, dikarenakan tumbuhan ini memiliki kandungan senyawa flavonoid dan fenolik di dalamnya. Bunga dan buah senggani juga diketahui mengandung senyawa antosianin, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami.
Beberapa tahun belakangan, akar dari tumbuhan senggani juga marak diperjualbelikan sebagai bahan pembuatan “bonsai” aquascape di kalangan pecinta ikan hias dan penggemar seni aquascape. Harganya dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah, tergantung pada ukuran dan keunikan bentuknya.
Nilai Ekonomi Tinggi
Lebah tanpa sengat (stingless bee) atau dikenal dengan sebutan,’ kelulut, klanceng, kiwot’ atau ‘trigona’, termasuk dalam suku meliponinae yang dapat menghasilkan madu. Budidaya lebah tanpa sengat atau kelulut disebut ‘meliponikultur’, mulai banyak dibudidayakan karena sifatnya yang jinak dan tidak memiliki sengat. Bududidayanya relatif mudah dan aman dilakukan semua kalangan. Dari sisi ekonomi, ini sangat menguntungkan sebagai pendapatan tambahan rumah tangga.
Lebah kelulut menyukai tempat yang relatif teduh dan cuaca hangat, dengan habitat yang aman dan kondusif. Faktor lingkungan seperti iklim mikro cuaca dan kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan dan produktivitasnya. Kelimpahan bunga sumber pakan dapat mempengaruhi produktifitas madu kelulut.
Lebah kelulut terbang dalam jarak yang pendek untuk mengumpulkan nektar dan serbuk sari dari tanaman perdu, tumbuhan merambat. Kelulut memilki getah yang di sekitar sarang untuk membentuk pot-pot madu serta pollen, dengan posisi horizontal.
Madu, polen dan propolis kelulut memilki karakteristik aroma dan rasa yang khas. Madu kelulut lebih masam dan teksturnya lebih cair, serta tidak mudah mengkristal dibandingan dengan madu dari lebah lainnya.
Harganya jauh lebih tinggi dibanding madu lainnya, yakni berkisar Rp 150.000-Rp. 200.000 perkilogram, tergantung dengan kuantitas pembelian. Bahkan bisa mencapai Rp 300.000 perkilogram setelah di turunkan kadar airnya.
Kaya Khasiat
Di dalam sarang pot-pot, madu lebah kelulut mengalami proses fermentasi yang dapat mengubah karakteristik madu dan lebih spesifik, karena setiap spesies lebah memiliki mikroba spesiesnya sendiri dan pemrosesan madu yang berbeda. Mikroorganisme ini menambahkan enzim dan senyawa lain ke madu.
Pot madu lebah kelulut mentransfer aroma dari pot ke madu sehingga menciptakan identitas spesifik dari spesies lebah. Dalam proses ini ada zat bioaktif, seperti antibiotik dan antioksidan, dimasukkan ke dalam madu.
Madu kelulut memiliki khasiat nutrisi yang tinggi. Madu kelulut dilaporkan kaya akan kandungan fitokimia dan memiliki anti-inflamasi, antimikroba, sifat antioksidan, antikanker dan antiseptik juga untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Konsentrasi polifenol dari madu kelulut sepuluh kali lebih tinggi dari madu lebah lainnya Selain itu, ini menampilkan peran anti-diabetes spesifik dalam penghambatan enzim α-amilase dan α-glikosidase aktivitas dengan mengontrol kandungan glukosa pada tubuh manusia.
Disamping itu, lebah kelulut menghasilkan polen dan propolis yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan sifat obat termasuk antikanker, antioksidan, anti-inflamasi, dan antimikroba.
Produksi lebah kelulut lebih rendah dibandingkan lebah apis mellifera. Dalam satu koloni kelulut menghasilkan madu berkisar 1-5 kg pertahunnya, tergantung dengan spesiesnya. Sementara apis mellifera dapat memproduksi madu rata-rata 20 kg per kg pertahunnya.
Budidaya lebah kelulut umumnya dilakukan dengan pengetahuan budidaya yang terbatas. Belum ada standar kontrol terhadap produk yang dihasilkan.
Aroma, rasa dan warna madu lebah kelulut beragam tergantung dengan kondisi geografis, sumber pakan, musim dan waktu pemanenan serta penyimpanan. Warna, rasa dan tingkat kekentalan madu kelulut mempengaruhi minat konsumen untuk membeli. Konsumen lebih tertarik untuk membeli madu yang warna cerah dan rasa yang relatif manis dengan sedikit masam yang menjadi ciri khas madu kelulut.
Madu kelulut dari nektar dominan bunga senggani dan karet hampir sama. Dominan rasa manis dengan sedikit masam seperti nektar dari bunga tanaman lainnya, seperti sungkau dan akasia. Warna madu dari bunga senggani juga lebih terang dibandingkan dari tanaman lainnya.
Kadar air madu kelulut lebih tinggi dibandingkan dengan madu apis melifera.
Apabila musim penghujan, maka kadar air madu kelelut lebih tinggi. Untuk itu para produsen atau penggepul madu kelulut mengurangi kadar airnya (di dehum) sebelum dijual ke konsumen. Proses dehum juga untuk meningkatkan kualitas dan nilai jual. Karena konsumen awam biasanya meragukan apabila madu kelulut terlalu cair/ tidak kental.
Padukan: Senggani-Kelulut
Perpaduan budidaya tanaman senggani dan lebah madu kelulut merupakan kombinasi yang baik sebagai bagian dari strategi restorasi gambut. Mengapa? Karena sebagai komoditas revegetasi yang dapat dikombinasikan dengan jenis tumbuhan asli gambut lainnya, senggani juga sebagai sumber pakan lebah madu kelulut.
Tumbuhan senggani menghasilkan polen dan nektar sekaligus, dan sangat disenangi oleh lebah sebagai sumber pakannya. Tumbuhan ini pun mudah dijumpai di lahan gambut, khususnya pada lahan gambut terdegradasi. Hal ini memudahkan dalam perbanyakannya.
Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa tumbuhan jenis Melastoma sp. ini hampir mustahil melakukan penyerbukan alami sendiri (self pollination), tapi memerlukan pollinator dalam proses penyerbukannya, diantaranya ialah lebah. Tentu, hal ini akan membentuk suatu interaksi simbiosis mutualisme antara flora (senggani) dan fauna (lebah) dalam dinamika ekosistem lahan gambut.
Kombinasi senggani dan ternak lebah madu kelulut di lahan gambut, tidak saja memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat sekitar, tapi juga diharapkan dapat mendukung upaya restorasi gambut di Indonesia (dengan strategi 3 R-nya yaitu Rewetting, Revegetaiton, dan Revitalization).
Fatahul Azwar dan Bambang Tejo Premono, Peneliti pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)