Dona Octavia, S.Hut, M.Sc*
Tanaman pangan fungsional ini beragam manfaatnya., namun belum banyak dikenal. “Locally rooted, globally respected”.
MENDENGAR kata garut, mungkin yang terlintas di fikiran kita adalah satu kabupaten yang terletak di Jawa Barat. Memang benar adanya, namun di sini bukan itu yang dimaksud.
Garut (Maranta arundinacea) tersebar di berbagai daerah antara lain pulau Jawa, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi dengan nama global Arrowroot. Beragam nama lokal jenis ini antara lain garut, irut atau ararut (Pulau Jawa), selarut atau laru (Madura), Sagu Rarut (Minangkabau), Labia Walanta (Gorontalo), dan Huda Sula (Ternate).
Penggunaannya yang luas dan beragam manfaat, sebagai pangan fungsional, pakan, kesehatan hingga bahan baku industri, mulai dari farmasi hingga kosmetik. Data tinjauan pasar global internasional menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-9 dunia dengan nilai ekspor umbi garut 2,74 %, sedangkan China berada di peringkat pertama dengan nilai ekspor 44,15 % dengan harga pasar pada Maret 2023 mencapai USD 1,6 per kg.
Berbagai referensi penelitian mengungkapkan bahwa tepung umbi garut mengandung beragam nutrisi yang baik bagi kesehatan tubuh mulai dari karbohidrat, protein, lemak, kalsium, fosfor, folat, zat besi, vitamin A, B1, dan C. Kandungan karbohidrat dan seratnya yang tinggi, di samping juga kandungan folat yang tinggi, menjadikannya nutrisi yang sangat baik untuk balita, ibu hamil hingga lansia.
Beragam varian olahan makanan dengan cita rasa yang lezat dihasilkan dari umbi garut, mulai dari umbi yang dikukus/rebus, bakwan parsley dari tepung pati garut, cookies, biskuit, emping garut (aman untuk penderita asam urat), hingga sereal garut yang berkhasiat tinggi (Gambar 2).
Alhasil, beragam manfaat kesehatan akan didapat dari mengonsumsi pangan lokal fungsional ini. Tepung pati umbi garut memiliki indeks glikemik rendah, bahkan lebih rendah dari beras, terigu, kentang, dan jenis umbi lain (sehingga aman untuk kadar gula darah), bebas gluten, menjadikannya alternatif diet sehat untuk penyandang diabetes dan autisme, mencegah anemia, mengatasi diare dan keracunan.
Tepung garut bernilai ekonomi tinggi, pati berkualitas tinggi, bertekstur halus, mudah dicerna oleh penderita yang bermasalah dalam pencernaan, sebagai pengenyal berbagai makanan, sup, gula, bumbu, es krim, sedangkan rimpang segarnya dimanfaatkan sebagai obat oles luka dan menjadi sumber karbohidrat alternatif pengganti terigu (Utami, 2019).
Ketua Departemen Gizi, Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof. Sri Anna Marliyati menjelaskan dalam suatu seminar nasional bahwa umbi garut sebagai pangan alternatif dapat mengatasi masalah gizi yaitu mencegah stunting (gagalnya tumbuh kembang) pada anak, yang angkanya masih tinggi terjadi di Indonesia. Hal ini bisa dicegah/diatasi dengan mengonsumsi gizi seimbang dari pangan beraneka ragam (UNAS, 2021).
Beragam manfaat kesehatan umbi garut juga diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM Prof.Eni Harmayani antara lain sebagai imunostimulan (meningkatkan imunitas), pangan prebiotik, menyehatkan saluran cerna dan mampu menghambat penyakit degeneratif.
Hebatnya, garut adaptif terhadap cahaya rendah dan memiliki tingkat adaptasi baik terhadap naungan berat (> 60%). Kondisi ini menjadikannya potensial ditanam dalam sistem agroforestri. Umbi mulai bisa dikonsumsi pada umur tanaman 3-4 bulan, untuk target emping pada usia 6-7 bulan, dan untuk hasil pati pada umur 9-12 bulan.
Namun, di balik beragam manfaat dan nutrisi yang terkandung di dalamnya, serta budidayanya yang relatif mudah, ternyata tanaman ini masih belum banyak dikenal di kalangan masyakarat Indonesia, sekalipun yang berasal dari kota Garut.
Persyaratan Tumbuh
Teringat salah satu lirik lagu kelompok legendaris “Orang bilang tanah kita tanah surga…tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, demikian halnya dengan umbi garut yang dapat tumbuh dengan mudah, dan sederhana pemeliharaannya.
Garut tumbuh baik pada ketinggian 0-900 m di daerah tropis, optimal pada 200-600 mdpl. Suhu terbaik untuk pertumbuhannya adalah 20-30°C dengan curah hujan tahunan 1.500–2.000 mm, membutuhkan lapisan tanah yang dalam, berdrainase baik, dan sedikit asam.
Hasil penelitian (Rohandi, 2018) membuktikan bahwa tanaman garut dapat tumbuh pada ketinggian 51.351 m dpl, suhu 20-360C, kelembaban udara 40-72% dan intensitas cahaya 12-56%, pada pH 4.16-7,40 (asam-netral).
Sekalipun tidak pernah menjadi sumber pangan pokok, namun garut umumnya ditanam di pekarangan sebagai cadangan pangan dalam musim paceklik di pedesaan, dikarenakan umbinya sangat awet disimpan dan mampu bertahan hingga berbulan-bulan, bahkan lebih dari 5 bulan, sekalipun di suhu ruangan.
Singkatnya, garut mampu tumbuh di bawah naungan pohon maupun di lahan marginal sehingga tanaman pangan fungsional ini berpotensi dikembangkan di lahan hutan atau pekarangan.
Agroforestri Garut dan Ketahanan Pangan
Lahan hutan mempunyai potensi besar untuk menyediakan bahan pangan sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2015 bahwasanya sektor kehutanan berperan dalam bidang Ketahanan Pangan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya hutan.
Agroforestri menjadi salah satu solusi sistem pengelolaan lahan yang berpeluang menekan laju deforestasi, sekaligus upaya prospektif dalam mengatasi masalah krisis pangan, mendorong produksi pangan berkelanjutan, menyediakan jasa lingkungan, dan mitigasi perubahan iklim, mendukung SDG-1, 2, 13 dan 15 (Octavia et al.2022; Noordwijk et al.2018).
Satu contoh praktik sederhana dalam mendukung multi usaha rakyat, di bawah pohon multiguna (diantaranya legum) dapat ditanami garut (Gambar 2). Kita memanen di usia 9 bulan, hasilnya mencapai 1,5 kg/rumpun, dengan jarak tanam 100 x 75 cm (13.333 rumpun/ hektar), potensi hasil ≥ 20 ton umbi/ha, rakyat akan mendapat penghasilan triwulan, juga hasil tahunan dari kayu.
Dengan demikian, implementasinya di areal PS dapat memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya, mewujudkan ketahanan ekonomi dan ekologinya serta ketahanan pangannya. Luar biasa!!
Apabila setiap kepala keluarga di suatu desa menanam 20 rumpun garut dalam lajur sepanjang 10 m di areal pekarangannya, akan diperoleh hasil umbi mencapai 30 kg, yang dapat menjadi cadangan pangan secara subsisten untuk beberapa bulan.
Tentunya ini juga bisa diterapkan di areal perkotaan pada areal rumah yang memiliki pekarangan. Dengan semangat untuk mendukung program pemerintah mewujudkan ketahanan pangan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sudah selayaknya kita mengapresiasi pangan lokal fungsional yang sungguh patut dikembangkan menghasilkan beragam manfaat kesehatannya.
*)Peneliti Ahli Madya-Bidang Silvikultur Agroforestri pada Kelompok Riset Rehabilitasi Ekosistem Berbasis Agroforestri, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). dona002@brin.go.id