Jika dulu, ‘orang lama’ menggambarkan sesuatu yang sulit bak ‘menggantang asap’. Sekarang, orang modern malah menakar yang tak terlihat (karbon) dan menghitung tonase-nya untuk dijual.
SELAIN ‘membayar dosa’, peluang untung pun terbuka. Begitulah, jika isu perubahan iklim yang melanda akhir-akhir ini disikapi dengan benar, bukan mustahil peluang terbuka bagi dunia usaha.
Pajak karbon dipahami, dan penghitungan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pun bisa dilakukan sendiri, maka sumberdaya alam dan lingkungan tidak terlanjur binasa. Dosa-dosa lingkungan, baik oleh industri maupun perusahaan perkebunan atau dunia usaha kehutanan, diharapkan dapat dikurangi.
Bicara untung? Tentu, akan terbuka peluag baru di dunia percaturan karbon. Dengan melalui hitungan-hitungan, rumus tertentu, serta kesepakatan dunia, akhirnya karbon memiliki pasar tersendiri. Bursa karbon, tanpa wujud barag atau produk, namun ada nilainya.
Prospek Cerah
Pembahasan tersebut menyeruak ke permukaan, termasuk dalam ruang pelatihan di Kampus IPB Baranangsiang Bogor, selama tiga hari terakhir (30/11 – 02/12/ 2022). Kegiatan pelatihan yang bertajuk ‘Carbon Accounting Training’ yang digelar oleh PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL) bersama Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB University itu mendapat sambutan dari berbagai pihak terkait.
Buktinya berbagai pihak yang ikut ambil bagian sebagai peserta training. Diantaranya dari perusahaan kehutanan, perkebunan, pertambangan, pemerintah daerah, dosen dan mahasiwa.
Dr. Faroby Falatehan, Dosen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, menyatakan bahwa prospek kedepan terkait isu sumberdaya alam dan lingkungan cukup menjanjikan. Dia pun memaparkan berbagai keuntungan dari upaya konservasi kehutanan. Hitung-hitungan karbon pun disajikan, baik di pertambangan, pertanian dan kehutanan.
Dari pemaparan yang cukup panjang dan lengkap tersebut, para peserta tampak begitu antusias. Beberapa peserta training bahkan saling membanggakan luasnya kawasan hutan di daerah masing-masing. Peluang besar di masa depan terbentang di depan mata.
Maka kesimpulannya; jika dulu, ‘orang lama’ menggambarkan sesuatu yang sulit bak ‘menggantang asap’. Sekarang, orang modern malah menakar yang tak terlihat (karbon) dan menghitung tonase-nya untuk dijual. Lalu ke-terisolir-an desa serta hutan di pelosok negeri, tak pantas lagi dicemooh sebagai ‘tempat jin buang anak’, tapi ‘mesin uang’ atau devisa. Nah….
***Riz***