Dr. Dadan Mulyana: Soal “Forest For Food Security”

Hutan memiliki hasil kayu dan  non-kayu. Pangan termasuk ke dalam hasil hutan non-kayu. “Ada alternatif-alternatif zona, dimana  aktifitas pertanian bisa dilakukan untuk memenuhi tuntutan pangan,” ungkapnya saat diwawancari GI di Pulau Buru, Maluku beberapa hari lalu.

PENGUATAN pangan dari hutan, mengapa tidak?  Setidaknya ada tiga status hutan, yaitu hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan masyarakat (hutan rakyat). “Masing-masing memiliki cara mainnya sendiri,” jelas Dr. Dadan Mulyana kepada GI di Pulau Buru Maluku, beberapa hari lalu.

Lebih jauh Ahli Ekologi Hutan itu mengatakan, bahwa dalam memenuhi pangan, masyarakat sudah sering mempraktikkan sistem kombinasi antara tanaman kayu dan pangan. Misal umbi-umbian. “Dengan skema hutan rakyat,  kawasan hutan dapat dimanfaatkan lahannya untik diolah demi pemenuhan pangan,” ungkapnya.

Dadan pun mencontohkan kegiatan yang sudah sukses seperti di Bukit Kumitir, Jawa Timur. Di lokasi itu dilakukan kombinasi tanaman kopi dengan ‘tegakan’. Ada juga di Kabupaten Garut, yakni pada area Perhutanan Sosial (PS) dan hutan rakyat. Di lokasi ini dilakukan kombinasi antara tanaman kayu, tanaman buah, dan sayuran.

Upaya penguatan ketahanan pangan pun bisa dilakukan pada hutan produksi. “hal itu ada izinnya,” tukas Dadan. Yang dimaksud adalah sistem pengelolaan berupa Multi Usaha Kehutanan (MUK).

Dr. Dadan Mulyana

Pada sistem ini, regulasi membunyikan bahwa 5% dari area izin dapat dimanfaatkan sebagai area ternak, wisata, termasuk pertanian. “Nah…, di sini ada ‘celah’ yang bisa dimanfaatkan oleh PBPH secara optimal dalam  menbantu penyelesaian masalah pangan serta meningkatkan ekonomo masyarakat yang berampak terhindarnya konflik,” jelasnya.

Kemitraan Konservasi
masih menurut Dr. Dadan Mulyana; Soal penguatan ketahanan pangan pun, sebenarnya terbuka di hutan konversi.  Sebut saja di taman nasional (TN) misalnya, menurut Dosen IPB University itu, bisa dengan memanfaatkan aturan zonasinya.

Taman nasional memiliki zonasi budidaya, dimana disitu bisa dilakukan kegiatan pertanian untik mensuplai pangan. Adapun selain TN, misal di lokasi cagar alam atau suaka margasatwa, ada skema kerja sama kemitraan konservasi yang melibatkan masyarakat agar bisa memanfaatkan lahan salah satunya untuk penyediaan pangan.

Kearifan Lokal
Selain itu, secara budaya, sebetulnya masyarakat memiliki kearifan lokal dalam menselaraskan hutan dan pangan dengan sistem shifting cultivation. Dalam hal ini, masyarakat melakukan pertanian secara berpindah, namun dengan mempertahankan prinsip-prinsip nenek moyangnya yang tetap menjunjung kelestarian alam.
“Jadi sebetulnya, ada alternatif-alternatif zona, dimana  aktifitas pertanian untuk memenuhi tuntutan pangan bisa dilakukan,” ungkap Dadan.

“Skema hutan rakyat, regulasi MUK, serta optimalisai zona budidaya adalah opsi-opsi yang sudah disediakan dan harus dioptimalkan kedepannya. Pemerintah harus mendorong dan mendampingi hal ini,” pungkasnya dalam kesempatan wawancara GI di Pulau Buru, Maluku pekan lalu. (Aslam)

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *