Dalam berbagai kesempatan saya meragukan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Betapa tidak, data BPS menunjukkan dari 191 juta hektare luas wilayah daratan Indonesia, hanya sekitar 40 juta hektare atau 21% yang merupakan lahan pertanian. Jika luas wilayah daratan Indonesia dibagi dengan 261 juta jiwa penduduk, maka rata-rata satu orang hanya akan memperoleh lahan seluas 0,7 hektare. Sensus Pertanian 2013 mencatat golongan petani dengan luas lahan 0,20–0,49 ha mempunyai jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak, yakni 6,73 juta dari 31,70 juta rumah tangga petani. Berkebalikan dengan kondisi di Indonesia, data FAO memperlihatkan negara-negara maju yang tidak pernah memproklamirkan diri sebagai negara agraris justru mengalokasikan lahan pertanian dalam proporsi yang jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. Bank Dunia merilis laporan bahwa Inggris mengalokasikan lebih dari 71% wilayahnya untuk lahan pertanian. Sementara, Australia menetapkan sekitar 53% dari wilayahnya untuk lahan pertanian yang melingkupi areal seluas lebih dari 371 juta hektare, hampir sepuluh kali lebih luas dari total lahan pertanian Indonesia. Para petani di negara-negara maju menguasai puluhan bahkan ratusan hektare lahan, sementara petani kita umumnya hanya menggarap kurang dari setengah hektare lahan. Dalam kondisi darurat lahan pertanian, pemerintah menggaungkan wacana swasembada padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabe, dan daging sapi (pa-ja-le-ba-be-te-pi). Sungguh sulit dicerna nalar, bagaimana caranya memenuhi target produksi keenam komoditas prioritas tersebut.
Persoalan Trade Off Penggunaan Lahan
Saya tercenung ketika ada yang berseloroh, kita ini tinggal di NKRI “Negara Kehutanan Republik Indonesia”. Tentu saja ini gurauan yang “serius” untuk disikapi karena kawasan hutan di Indonesia meliputi areal seluas 130,68 juta hektar (RKTN 2011-2030) atau mencakup 68% dari seluruh wilayah daratan Indonesia. Jika dikurangi kawasan hutan, maka luas lahan yang tersisa untuk penggunaan lain seperti pertanian, pemukiman, perkantoran, pusat perniagaan, pertambangan, kawasan industri, sarana rekreasi, infrastruktur, dan kepentingan lainnya tinggal 32%. Padahal, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan semakin bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan terhadap lahan untuk berbagai keperluan juga semakin tinggi. Dengan melihat persoalan ini secara jernih, maka cepat atau lambat, legal atau ilegal, konversi lahan pasti akan terjadi.
Ada kecenderungan yang menarik, di luar Pulau Jawa, banyak dijumpai konversi lahan hutan menjadi ladang atau kebun. Sementara di Pulau Jawa, walaupun dengan intensitas yang lebih kecil, terjadi hal sebaliknya sebagian sawah berubah menjadi hutan rakyat karena usia petani pemilik lahan mulai menua dan anak- anak petani banyak yang berurbanisasi, atau migrasi musiman ke kota. Hutan rakyat adalah opsi yang realistis karena budidaya pohon tidak memerlukan intensitas pengelolaan sebesar tanaman padi sawah, atau tanaman pertanian lainnya. Bertanam pohon menjadi menarik karena dengan intensitas pengelolaan yang rendah, pohon-pohon yang ditanam berfungsi sebagai tabungan masyarakat desa untuk berbagai keperluan yang cukup besar seperti biaya sekolah anak, pesta pernikahan, khitanan, dan kebutuhan lainnya.
Sebagai seorang rimbawan, tentu saya sedih melihat semakin banyak hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang berubah menjadi kebun dan pemukiman. Sebaliknya rasa senang membuncah, melihat hutan rakyat berkembang pesat tumbuh menghijau di berbagai pelosok Pulau Jawa. Namun, hendaknya melihat persoalan baik atau buruk tidak semata diukur dari sudut pandang sektoral atau kedaerahan. Persoalan konversi lahan harus dilihat dalam perspektif nasional, bahkan global. Walaupun aforestasi di Pulau Jawa sangat membanggakan bagi seorang rimbawan, namun jika asal muasal hutan yang dibangun adalah lahan pertanian, terutama lahan padi sawah, maka sesungguhnya hal itu adalah alarm tanda bahaya. Perlu digaris bawahi lumbung beras nasional berada di Pulau Jawa. Data BPS menunjukkan dari 8,1 juta hektare luas sawah nasional, 3,2 juta hektare atau 40% berada di pulau terpadat di Indonesia ini.
Mengganti lahan sawah di Pulau Jawa dengan lahan sawah di luar Pulau Jawa bukan hal yang mudah. Lahan yang baru dibuka di luar Pulau Jawa mempunyai produktivitas yang pada umumnya rendah karena berbagai kendala biofisik dan infrastruktur. Selain itu, rendahnya ekspektasi keuntungan dan masalah kultur juga tidak kalah rumit. Sesuai dengan namanya kegiatan pertanian atau agriculture tidak hanya urusan teknik tanam menanam tetapi juga terikat dengan kultur atau budaya setempat. Program pertanian tidak akan berhasil hanya dengan menggelorakan jargon dan target, tanpa dibarengi pemahaman yang utuh terkait aspek sosial-budaya yang melekat dengan komoditas yang dibudidayakan. Produktivitas lahan pertanian yang rendah akan berimbas pada semakin besarnya kekurangan lahan untuk mencapai target produksi yang pada akhirnya akan menggerus luas kawasan hutan.
Land Use Amnesty Adalah Opsi Yang Rasional
Belakangan, persoalan ketimpangan penguasaan lahan dan rendahnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dijawab dengan program “Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)” dan diluncurkannya beragam program “Perhutanan Sosial (PS)”. Tidak perlu diragukan tujuan mulia dari program TORA dan PS, namun implementasi di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Program TORA sering disalah artikan, sementara kalangan menganggap sebagai program bagi-bagi lahan gratis, atau sengaja dimaknai sebagai topeng legalitas untuk menduduki tanah negara. Sementara program PS yang merupakan kebijakan pemerintah pusat, harus menghadapi kenyataan bahwa kondisi di lapangan tidak sepenuhnya sama dengan asumsi-asumsi yang dirumuskan di Jakarta. Dalam beberapa kasus pemerintah pusat menerbitkan izin pemanfaatan hutan untuk program perhutanan sosial kepada kelompok masyarakat tertentu, namun ternyata di dalam areal izin tersebut telah ada kelompok masyarakat lain yang mengelola. Oleh karena itu, opsi kebijakan “land use amnesty” atau pengampunan penggunaan lahan patut dipertimbangkan, sebagai kebijakan pendukung yang tidak terpisahkan dari program TORA dan PS.
Perbedaan utama kebijakan “land use amnesty” dengan TORA dan PS adalah sifatnya yang bottom-up dan setiap individu atau kelompok harus proaktif mendeklarasikan penguasaan lahan dalam jangka waktu yang ditetapkan. Dengan adanya deklarasi penguasaan lahan, sangat mungkin terjadi dua atau lebih klaim di lahan yang sama. Dalam hal ini, pemerintah jelas posisinya sebagai regulator tidak terperangkap ikut menjadi player sehingga rawan terjebak dalam pusaran konflik yang sangat menyita energi. Mirip dengan kebijakan tax amnesty, kebijakan “land use amnesty” hanya bisa diberikan jika status lahan bebas dari klaim ganda, dideklarasikan dan membayar denda sebelum batas waktu yang ditentukan, dan dengan luasan maksimal sesuai dengan ketentuan. Lahan yang diklaim harus dilampiri dokumen yang jelas menyebutkan nama, NIK, dan Nomor KK orang yang mengklaim, posisi koordinat lahan, luasan, dan rincian penggunaan lahan pada saat dilaporkan. Dokumen ini harus dicatat secara resmi di desa dan disahkan oleh kepala desa. Para kepala desa harus terlibat aktif dalam kebijakan “land use amnesty” karena klaim lahan ganda biasanya juga melibatkan oknum desa, atau setidaknya cermin dari buruknya tata kelola administrasi lahan di desa.
Keberhasilan kebijakan “land use amnesty” harus dilekatkan dengan indikator kinerja kepala desa dan oleh karena itu harus ada “rewards” dan “punishment” yang jelas. Perlu dipertimbangkan regulasi pemungkin yang dapat mendistribusikan sebagian dana denda “land use amnesty” dan/atau dana terkait seperti PNPB kehutanan kepada desa dan/atau kepala desa. Di sisi lain, terhadap oknum kepala desa/pejabat desa perlu dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi perdata jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan/atau tindakan yang merugikan orang lain, bahkan sanksi pidana jika melakukan tindakan yang mengandung unsur kejahatan. Program TORA dan PS akan lebih mudah diimplementasikan jika diawali kebijakan “land use amnesty”, yang outputnya adalah pengakuan hak atas lahan yang “dikuasai” masyarakat. Lahan yang diklaim dalam “land use amnesty” tidak harus diberikan status hak milik, tetapi dapat berupa hak akses berupa izin usaha pemanfaatan hutan, baik berupa Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), atau pemanfaatan hutan pola kemitraan sesuai dengan ragam izin pada program PS dan batasan minimal fungsi hutan.
Fleksibel, Tetapi Harus Menjaga Fungsi Kawasan Hutan
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan dan fungsi lahan terikat dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah (RTRW) sehingga perubahan status kawasan hutan tidak boleh dengan serta merta mengubah fungsi kawasan. Bahkan, sekalipun lahan yang diklaim diberikan status hak milik, maka lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai hutan rakyat yang tidak boleh berubah fungsi atau konversi menjadi non-hutan. Intinya, negara memberikan alas hak kepada masyarakat tetapi pada saat yang sama juga melekatkan kewajiban-kewajiban, termasuk membayar PBB, pajak penghasilan, serta PSDH dan pungutan PNBP kehutanan lainnya, jika lahan yang diklaim berada di dalam kawasan hutan. Dengan demikian, ke depan akan terwujud tertib administrasi kehutanan, dan kepastian hukum (hak dan kewajiban) bagi pemegang hak termasuk siapa yang harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran izin usaha pemanfaatan hutan maupun tindak pidana, misalnya pembakaran lahan. Hal ini dimungkinkan karena semuanya tercatat dengan jelas “by name, by address”, yang tidak hanya memiliki alas hak legal tetapi juga legitimasi yang kuat karena prosesnya “bottom-up/self declare”.
Jangan lupa, selain membantu pencapaian target produksi berbagai komoditas pertanian, Land Use Amnesty juga akan memberi “bonus” atau manfaat tambahan bagi sektor kehutanan. Jika kebijakan ini dikelola dengan benar, hampir dapat dipastikan kontribusi sektor kehutanan dari “hasil hutan bukan kayu” terhadap PDB akan meningkat drastis. Bukankah ini salah satu keinginan kita?
No comment