Cempaka: Harmonisnya Alam dan Budaya Minahasa

Tekad masyarakat Minahasa dalam melestarian cempaka terlihat dari masifnya penanaman di hutan-hutan rakyat, baik lahan yang dimiliki secara pribadi maupun tanah keluarga yang disebut ‘pasini’.

CEMPAKA termasuk jenis kayu yang sangat populer di Minahasa. Kayunya banyak digunakan dalam pembuatan konstruksi rumah panggung Minahasa, dan alat musik kolintang.  Kayu cempaka pun dijadikan berbagai perabotan rumah tangga, termasuk jendela, pintu, lemari, meja serta kursi baik yang digunakan di rumah, sekolah, gereja maupun fasilitas umum lainnya.

Berdasarkan informasi dari salah-satu tokoh masyarakat Desa Rumoong Atas – Minahasa Selatan, penggunaan kayu cempaka oleh masyarakat di Minahasa telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman nenek moyang. Dikatakannya, banyak perabotan-perabotan rumah tangga yang digunakan sekarang berasal dari kayu cempaka. Umurnya sudah ratusan tahun.

Wangi dan Indah

Dalam konstruksi rumah panggung Minahasa, atau lebih dikenal dengan nama Rumah Woloan atau Wale Wangko, kayu cempaka menjadi salah-satu bagian yang harus ada. Entah sebagai kusen pintu atau jendela, atau dinding bahkan lantai rumah.

Selain beraroma wangi dan khas, kayu cempaka juga memiliki corak dekoratif yang indah dan mudah untuk dibentuk maupun diolah.

Hal ini dibenarkan oleh seorang pengrajin alat musik tradisional Sulawesi Utara asal Minahasa.  Dikatakannya, dalam pembuatan alat musik kolintang, kayu cempaka sangat diperlukan sebagai bahan baku utama, selain tekstur kayunya yang halus, kayu cempaka dapat menciptakan bunyi yang indah.

Jenis Kayu Cempaka

Menurut masyarakat, pohon cempaka yang ada di Minahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu cempaka biasa, cempaka wasian putih dan cempaka wasian merah.

Cempaka biasa dan cempaka wasian putih dideskripsikan sebagai pohon cempaka yang memiliki warna kayu putih atau putih kekuningan. Sedangkan cempaka wasian memiliki warna kayu yang lebih gelap seperti merah kecoklatan.

Dari sisi kekuatan, cempaka wasian dinilai lebih kuat atau lebih keras dibandingkan dengan cempaka biasa. Isu ini perlu ditanggapi dengan hati-hati karena terdapat 28 spesies Magnolia yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Berdasarkan penelitian Kinho dan Irawan (2011) menunjukkan bahwa setidaknya terdapat enam jenis kayu cempaka yang ada di Sulawesi bagian utara termasuk Minahasa. Salah satu di antara spesies tersebut adalah Magnolia sulawesiana Brambach, Noot., and Culmsee. Jenis ini disebut dengan cempaka wasian yang hanya ada di Sulawesi.

Cempaka wasian memiliki karakter daun bagian atas berwarna hijau mengkilap (coklat kehijauan pucat hingga coklat kemerahan saat kering) dan bagian bawah lebih pucat (coklat keemasan tua). Kulit pohonnya berwarna abu-abu kecokelatan, bercelah, dan berbentuk lentisel dengan tekstur seperti tepung dan terkelupas dalam lempengan-lempengan besar yang tidak beraturan pada pohon yang lebih tua.

Pohon yang lebih tua akan terlihat menonjolkan kulit kayu berwarna abu-abu keperakan, dengan retakan membujur halus. Cempaka wasian akan berbunga dan berbuah pada periode  Februari hingga April dan Agustus hingga September, meski tidak seragam di semua lokasi. Buah berbentuk buni dengan buah masak berwarna merah.

Sayangnya, kebanyakan buah cempaka wasian yang jatuh tidak bisa berkecambah. Hal ini menunjukkan regenerasi alaminya sangat rendah. Mengingat hal tersebut maka teknik budidaya yang tepat sangat diperlukan.

Cempaka wasian banyak ditemukan di bagian utara Sulawesi dan sebagian kecil ada di bagian tengah dan selatan Sulawesi. Secara alami, cempaka wasian dijumpai pada daerah dengan ketinggian 1000 – 1300 m dpl, dengan sebagian besar pohon tumbuh di atas 1200 m dpl. Daerah ini memiliki suhu permukaan antara 200 – 250 dengan beda antar suhu tertinggi dan terendah adalah 2,2 – 2,50 dan curah hujan 1900 – 2400 mm/tahun dan rata-rata 2300 mm/tahun.  

Peta sebaran alami cempaka wasian menunjukkan bahwa peluang ditemukannya cempaka wasian di Sulawesi bagian Utara sebagian besar ada di daratan Minahasa, dimana semakin tinggi nilai mendekati 6 (berwarna hijau) akan semakin tinggi peluang ditemukannya cempaka wasian dibandingkan nilai mendekati angka 2 (berwarna merah).

Jika dilihat dari peta tersebut, cempaka wasian banyak ditemukan pada daerah-daerah pegunungan. Apabila peta tersebut kita overlay dengan peta kawasan hutan, maka terlihat jelas bahwa daerah ditemukannya cempaka wasian yang tumbuh alami berada pada kawasan-kawasan konservasi seperti Cagar Alam Gunung Ambang, Taman Nasional Bogani Nani Wartanbone dan sebagian ada pada kelompok hutan di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Permintaan dan Pasokan

Tingginya permintaan dan pemanfaatan produk kayu berbahan kayu cempaka, menyebabkan  keberadaan pohon cempaka di alam semakin terbatas. Keterbatasan ini tentu saja membawa dampak terhadap tingginya harga kayu cempaka.

Hasil wawancara dengan pengusaha kayu menunjukkan, bahwa harga balok kayu cempaka berkisar antar Rp. 1,5 juta – 5 Juta/m3, tergantung ukuran balok kayu.

Harga yang tinggi dan beberapa kondisi lainnya tidak menurunkan minat masyarakat Minahasa untuk menjaga tradisi menggunakan kayu cempaka. Mereka menanam pohon cempaka di kebun, pekarangan rumah dan sebagai peneduh jalan.

Pelestarian Alam dan Budaya

Tekad masyarakat Minahasa dalam melestarian kayu cempaka terlihat dari penanaman secara masif yang dilakukan di hutan-hutan rakyat, baik lahan yang dimiliki secara pribadi maupun tanah keluarga atau disebut sebagai pasini.

Cempaka menjadi tanaman dominan diantara jenis-jenis tanaman lainnya di hampir seluruh daratan Minahasa.

Sebagian besar petani di Minahasa menanam cempaka dengan sistem campuran dengan jenis kayu lain seperti mahoni, nantu, dan jati. Adapula yang menggunakan pola agroforestri, yang dikombinasikan dengan tanaman semusim seperti jagung, rica, dan tanaman perkebunan seperti kelapa, coklat, cengkih, dan pala.

Tujuan menanam jenis kayu cempaka pun beranekaragam mulai dari warisan budaya, investasi untuk masa depan, dipergunakan untuk keperluan sendiri seperti membangun rumah atau tempat-tempat ibadah, rehabilitasi lahan dan lain sebagainya. Namun yang perlu dicatat adalah alasan keuntungan ekonomi menjadi alasan nomor dua setelah alasan menanam cempaka untuk melestarikan budaya Minahasa.

Dukungan melestarikan nilai budaya Minahasa melalui ajakan untuk menanam cempaka telah dideklarasikan sejak tahun 2010, melalui sebuah upacara adat rakyat Minahasa di Watu Pinabetengan. Para tokoh adat menghimbau agar kaum muda bersama-sama tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan menanam pohon, himbauan ini tentunya perlu untuk diteruskan dan diwariskan secara turun temurun.

Singkatnya, kayu cempaka wasian dan jenis cempaka lainnya merupakan kayu primadona,  dan  menjadi identitas budaya Masyarakat Minahasa. Sayangnya, kayu ini sudah sulit ditemukan secara alami. Selain ruang tumbuh alaminya terbatas, laju permudaan alaminya pun terlambat.

Meski masyarakat dapat dengan mudah mengganti kayu cempaka dengan beragam produk yang terbuat dari kayu jati, plastik, besi dan baja, namun bagi masyarakat Minahasa, kayu cempaka tetap andalan. Nilai historis ini terus melekat dalam kehidupan keseharian mereka.

Lutfy Abdulah, Diah Irawati Dwi Arini, Julianus Kinho, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Redaksi Green Indonesia