Pestisida adalah bahan pembasmi hama yang biasanya disemprotkan pada ladang tempat tumbuhan ditanam. Hal ini dilakukan demi mengendalikan, menolak, atau membasmi organisme pengganggu. Sayangnya, banyak oknum yang terlalu berlebihan dalam memberikan pestisida karena ingin tanamannya tetap hidup dalam kondisi apa pun hingga tiba waktunya panen.
Untuk buah, beberapa jenis diantaranya dibudidayakan dengan melibatkan pestisida dalam perlindungannya dari hama dan penyakit. Stroberi misalnya, merupakan buah terbanyak mengandung pestisida. Selain stroberi dan bayam, buah dan sayuran lainnya menyusul seperti nektarin, apel, anggur, persik, ceri, pir, tomat, seledri, kentang, dan paprika manis.
Sementara itu, berdasarkan beberapa riset menyarankan agar konsumen lebih memilih buah dan sayur yang cenderung mengandung lebih sedikit pestisida seperti alpukat, jagung, nanas, pepaya, asparagus, mangga, terong, pisang dan sebagainya.
Harus Waspada
Bahan kimia pada pestisida berpotensi merusak kesehatan manusia dalam banyak hal. Sejumlah penelitian terus menemukan efek potensial dari paparan pestisida yang masih digunakan, misalnya, menunjukkan kemungkinan hubungan antara paparan pestisida pada tingkat fertilitas seseorang yang berisiko jadi lebih rendah.
FAO mengatakan, pertanian organik lebih sedikit memancarkan nitroksida (N2O). Ini terkait dengan lebih sedikitnya input N, lebih sedikit N pupuk organik dari ternak yang lebih rendah kepadatannya, lebih tinggi ratio C/N dalam pupuk organik memberi sedikit mineral N di tanah sebagai sumber denitrifikasi dan penyerapan N tanah yang lebih efisien dengan menggunakan tanaman penutup.
Emisi gas rumah kaca dikalkulasi 48-46 lebih rendah per hektar dalam sistem pertanian organik.
Menyimpan Karbon
Pertanian organik alias pertanian berkelanjutan membantu menstabilkan perubahan iklim dengan mempertahankan kualitas tanah organik seperti mengurangi erosi tanah dan meningkatkan struktur fisik tanah. Tanah organik akan lebih baik menyimpan air sehingga dapat menahan dampak perubahan iklim seperti kekeringan dan banjir.
Pertanian organik sebagai system pertanian berkelanjutan ternyata tidak hanya menghasilkan produk yang sehat. Pertanian yang mengutamakan keselarasan alam ini juga mempunyai potensi dalam mitigasi perubahan iklim (climate change).
Beberapa riset mengemukakan, bahwa aktivitas pertanian menyumbang 15 persen dari total emisi gas rumah kaca secara global. Gas-gas rumah kaca yang dilepas ke udara oleh aktivitas pertanian antara lain adalah karbon dioksida (Co2), metana (CH4) dan Nitron oksida (N2O).
Karbon dioksida (Co2) dilepas ke udara utamanya pada saat pengolahan lahan pertanian. Dari proses dekomposisi material-material organic dalam tanah yang melepaskan gas Co2. Juga dari pembakaran biomassa dan minyak fosil selama pengolahan tanah pertanian.
Sementara metana (CH4), yang diketahui memiliki kemampuan memancarkan panas 21 kali lebih tinggi daripada Co2, adalah gas rumah kaca buangan dari proses fermentasi enterik ternak rumenansia, proses fermentasi makanan yang terjadi dalam rumen ternak rumenansia seperti sapi.
Emisi gas jenis ini juga dilepaskan lewat sistem budidaya padi dengan menggenangi sawah terus menerus. Sistem budidaya padi konvensional seperti itu memaksa dekomposisi bahan-bahan organik hanya berlangsung secara anaerobic (tanpa udara) sehingga bakteri pengurai hanya melepaskan gas metana (bukan Co2, seperti pada dekomposisi aerob).
Pertanian padi, terutama pola pertanian padi intensif air, dan peternakan menjadi sumber buangan gas rumah kaca CH4. Buangan gas rumah kaca yang lain dari sektor pertanian adalah N2O atau nitron oksida, dengan kemampuan radiasi 200 kali lipat dari karbon dioksida, dihasilkan dari, utamanya, pengaplikasian pupuk nitrogen (N) dikenal dengan pupuk urea.
Gas-gas rumah kaca itulah yang perlu dikurangi emisinya dalam kegiatan pertanian. Artinya, system pertanian padi basah yang menggunakan tanah, air dan input kimia secara ekstensif, yang merupakan warisan Revolusi Hijau, menjadi penyumbang penting emisi gas rumah kaca.
No comment