Prof. Dr. Epi Taufik: Menepis Stunting Dalam Sergapan Emisi

Bayangan Stunting, tantangan produksi, tuntutan bonus demografi, serta ancaman perubahan iklim, tampaknya merupakan serangkai tantangan yang harus dihadapi Indonesia ke depan.


LAYAKNYA Wong Fey Hung – jagoan dalam serial Kungfu Master, pelaku pembangunan peternakan di Republik ini tampaknya harus bergerak cepat, tepat, dan kuat. Pasalnya, terkait ketahanan pangan dan gizi, serta pembangunan generasi milenial dan gen Z, maka soal ketersediaan protein hewani tampaknya tidak bisa dipandang remeh.

Mengapa? Sementara hingga kini, selain produktivitas peternakan (terutama susu sapi) masih sangat rendah, kegiatan agribisnis yang satu ini tak lepas dari tudingan penyebab emisi GRK. Ancaman Stunting pun makin sulit ditepis.

Sementara, tuntutan kebutuhan pangan bergizi bakal melonjak drastis. Begitu roda pemerintahan dibawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, serta Program Makan Bergizi Gratis bergulir, maka timbul pertanyaan; susu segar apakah cukup tersedia?

Bonus Demografi

Hal itu diakui oleh Prof. Dr. Epi Taufik, Guru Basar Ilmu Peternakan IPB University Bogor. “Memang, gas metan dari eek sapi adalah salah-satu pemicu naiknya emisi karbon,” jelasnya.

Namun, meski tidak menampik, Dia mengatakan, bahwa sebenarnya emisi dari peternakan dan pertanian, tidaklah sehebat industri dan asap kendaraan bermotor yang  jauh lebih besar jumlahnya.
“Sementara di sisi lain, kita sadar, ada hal yang lebih penting lagi, yaitu ketahanan pangan dan gizi. Terobosan cepat harus dilakukan. Atau menyerah pada pilihan gagalnya kita memanfaatkan momentum ‘bonus demografi’ yang saat ini sedang berpihak pada Indonesia?” tuturnya kepada GI di salah-satu space Botany Square, Rabu (16/10), yang bertepatan pada peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS).

Prof. Dr. Epi Taufik, S.Pt,., M.V.P.H., M.Si

Lebih jauh Guru Besar IPB University di bidang peternakan, khususnya persusuan itu, memaparkan pentingnya upaya menggenjot produksi susu segar dalam negeri terkait munculnya program baru dalam pemerintahan mendatang. Yang dimaksud adalah makan bergizi gratis bagi jutaan anak Indonesia.

Dilihat dari sisi pemenuhan gizi (protein hewani), kondisi ketahanan pangan Indonesia saat ini tidaklah terlalu bagus. Secara umum, daging ayam dan telur cukup tersedia.

Namun, masih menurut Sang Profesor, swasembada saja tidak cukup jika bicara ketahanan pangan. “Selain cukup, bahan pangan harus terdistribusi dimana-mana, aman dikonsumsi, dan masyarakat pun punya kemampuan untuk mendapatkannya (terbeli dari segi harga),” ungkapnya.


Aksi Mitigasi

Epi Taufik pun setuju, jika upaya aksi mitigasi penurunan emisi karbon pada peternakan perlu ditingkatkan. Beberapa diantara upaya tersebut meliputi; pemilihan jenis ternak yang lebih efisien, atau dengan rekayasa genetik untuk menciptakan sapi perah  yang bisa  menghasilkan susu beberapa kali lipat.

“Dengan begitu tidak perlu memperbanyak jumlah sapi, tapi target produktivitas susu dapat dicapai,” ungkapnya. Disamping itu, dengan menggunakan aditif pakan untuk mengurangi produksi metana. Dan yang paling sederhana ialah mengolah kotoran ternak menjadi biogas atau pupuk organik.

Untuk pilihan yang terakhir, GI pun bertanya; bukankah ini teknologinya mudah dan sudah digaungkan sejak dulu. Namun menagapa tidak berjalan?

“Itulah masalahnya. Berbagai pihak tampaknya kurang serius. Dulu ada CSR dan sebagainya, lalu hilang begitu saja. Cobalah tanya pemerintah,” tukasnya.

***Arya/Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *