Apa dan bagaimana masa depan aksi mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dan lahan?
BERBAGAI hal dapat dilakukan dalam upaya penurunan emisi karbon di sektor kehutanan dan lahan.
“Ini tantangan sekaligus peluang bagi dunia kehutanan dan lahan di masa datang,” ungkap Muhammad Ridwan, Direktur Eksekutif PT Cedar Karyatama Lestarindo (CKL). Hal itu disampaikannya dalam Pelatihan Penyusunan DRAM di Bogor, Kamis (05/09/24).
Di hadapan para peserta, Ridwan menggambarkan dengan detail bagaimana kegiatan-kegiatan seperti Pengelolaan Hutan Produksi Berkelanjutan (PBPH) di Hutan Alam (HA), Hutan Tanaman (HT), dan Perhutanan Sosial dapat berkontribusi terhadap aksi mitigasi perubahan iklim.
Ridwan memulai dengan membahas Baseline Kegiatan RIL (Reduced Impact Logging), di mana baseline ini dianggap sebagai “business as usual” sebelum penerapan teknik RIL-C, sebuah metode konvensional dalam pengelolaan hutan.
Dalam metode ini, baseline stok karbon ditetapkan berdasarkan data Unit Manajemen (UM) dan baseline nasional. Sebagai acuan, Ridwan menekankan bahwa tindakan seperti RIL dan silvikultur intensif (silin) telah diakui dalam dokumen Folu Net Sink sebagai bagian dari aksi mitigasi.
Lebih lanjut, Ridwan menguraikan lima perbaikan penting dalam unit manajemen yang harus dilakukan dalam kerangka RIL-C untuk mencapai tujuan mitigasi. Dari perencanaan penebangan hingga pengangkutan kayu, setiap langkah dioptimalkan untuk mengurangi emisi.
Ia menegaskan, bahwa inti dari mitigasi ini terletak pada perbandingan stok karbon antara teknik konvensional dan teknik RIL. Penurunan emisi dihitung sebagai selisih antara emisi yang dihasilkan oleh metode konvensional dengan metode RIL, dan pengurangan emisi ini yang kemudian diklaim sebagai bagian dari aksi mitigasi.
Perlu Waktu dan Biaya
Diskusi semakin menarik ketika Ridwan menyebut contoh perhitungan yang sering muncul di lapangan.
Desman, salah satu peserta training, bertanya perihal perbedaan stok karbon antara metode konvensional dan RIL.
Dijawab oleh Ridwan; bahwa setiap hektar lahan yang dikelola dengan metode konvensional dapat kehilangan hingga 60 ton karbon per hektar, sementara RIL mampu menurunkan emisi menjadi 40 ton per hektar. Dengan perbandingan ini, pengurangan emisi yang dapat dicapai mencapai 20 ton karbon per hektar—angka yang signifikan dalam konteks mitigasi.
Pertanyaan lain muncul dari Saleh. Peserta training ini mempertanyakan soal biaya yang dikeluarkan dalam perbandingan antara RIL dan metode konvensional.
Menurutnya, biaya terbesar dalam metode konvensional berasal dari konsumsi bahan bakar, seperti bensin dan sebagainya.
Merespon hal itu, Ridwan menjelaskan, bahwa proses peralihan dari metode konvensional ke RIL memerlukan waktu hingga lima tahun. Setiap tahun pertama dimulai pada satu blok hutan saja.
Harus Tier 3
Mengutip SNI Pendugaan Biomassa dan Karbon Hutan, Ridwan menggarisbawahi bahwa metode penghitungan emisi harus dilakukan dengan tingkat ketelitian tinggi, khususnya pada kategori Tier 3.
“Dalam perhitungan stok karbon, perlu dihindari pengambilan data dari lokasi-lokasi yang dapat mengganggu hasil, seperti TPn, TPK, dan area penyaradan,” ungkapnya
Di akhir sesi, Ridwan kembali mengingatkan bahwa dalam konteks mitigasi di sektor kehutanan, tanpa partisipasi penuh dari PBPH dan HTI, upaya mencapai Nationally Determined Contributions (NDC) akan gagal. Oleh karena itu, ia mendorong agar perusahaan kehutanan lebih giat dalam menerapkan teknik RIL dan perbaikan manajemen yang dapat mengurangi emisi secara signifikan.
Dalam sesi dialog, Syaf, seorang peserta training, menekankan pentingnya pengumpulan data produksi dan luasan lahan secara akurat melalui sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sementara peserta lain, Sri Wahyuni, mengangkat isu tunda tebang dalam konteks mitigasi PBPH. Ia mempertanyakan bagaimana perpanjangan rotasi penebangan dapat mempengaruhi emisi. “Apakah proyeksi penundaan ini dapat dihitung sebagai bagian dari aksi mitigasi.
Rizqi
No comment