Oleh: Nuralamin* dan Bastoni**
Sagu memiliki nilai manfaat ekonomi karena memiliki nilai jual dan tersedianya pasar, dan bermanfaat bagi lingkungan, karena tahan terhadap genangan dalam periode yang tidak terlalu lama, serta berperan sebagai penyerap emisi karbon dioksida.
TANAMAN pangan merupakan salah satu sumberdaya yang sangat vital bagi eksistensi dan kesejahteraan suatu bangsa. Kebutuhan pangan meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk dunia.
Namun di lain pihak, lahan pertanian, khususnya di Indonesia, semakin terbatas. Lahan-lahan subur yang sesuai bagi pertanian intensif semakin berkurang untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia. Lahan gambut yang merupakan lahan marjinal diharapkan mampu mendukung ketahanan pangan, melalui pengembangan jenis-jenis asli lahan gambut.
Selain itu, usaha peningkatan diversifikasi pangan sangat penting dilakukan untuk mencegah bencana kelangkaan dan tingginya harga pangan.
Untuk meningkatkan ketersedian bahan pangan, Pemerintah Indonesia telah banyak melakukan berbagai upaya diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal yang fokus kepada satu komoditas utama untuk tiap provinsi. Diversifikasi pangan difokuskan kepada enam pangan lokal sumber karbohidrat nonberas, yang salah satunya adalah sagu atau rumbia (Metroxylon spp.).
Sumber Pangan dan Produksinya
Sejak ratusan tahun yang lalu sagu menjadi makanan pokok di bebeberapa daerah di Indonesia, seperti di Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Sagu kaya akan karbohidrat, yang merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Selain itu, sagu juga mengandung protein, lemak, dan beberapa jenis mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi.
Meski rendah serat, sagu memiliki indeks glikemik yang relatif rendah dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya. Karena itu sagu dapat menjadi alternatif pilihan makanan bagi penderita diabetes dan dapat membantu mengontrol kadar gula darah. Sagu pun dapat diolah menjadi berbagai makanan olahan seperti mie sagu, kue, kurupuk, pempek, dan makanan tradisional lainnya.
Kementerian Pertanian melaporkan produksi sagu Indonesia pada tahun 2021 sebesar 350.838 ton, yang seluruhnya berasal dari perkebunan rakyat. Provinsi Riau berkontribusi terhadap produksi sagu terbesar, yaitu 38.11% (265.830 ton), selanjutnya produksi dari Papua (67.931 ton) dan Maluku (9.601 ton).
Selain untuk keperluan domestik, sagu juga dieksport dalam bentuk pati dan tepung. Nilai ekspor sagu nasional pada tahun 2021 mencapai 13.190 ton, dengan nilai ekspor USD 2.47 juta.
Selain itu, biaya produksi pati sagu jauh lebih murah daripada pati dari tanaman lain. Hal ini dikarenakan produksi pati sagu yang lebih tinggi, sekitar 15 – 20 ton pati kering per hektar. Beberapa studi melaporkan pati sagu ini 3–4 kali lebih tinggi daripada pati dari beras, jagung, atau gandum dan 17 kali lebih tinggi pati dari ubi kayu.
Sebaran dan Habitat
Sagu merupakan tanaman asli Asia Tenggara dan Oseania. Di wilayah Asia, sagu tumbuh di wilayah Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, Filiphina, Thailand. Untuk wilayah pasifik, sagu tumbuh di beberapa negara seperti Papua Nugini dan Fiji.
Habitat tumbuhnya yaitu di sepanjang tepi sungai, di sekitar danau atau rawa, serta di daratan rendah hingga ketinggian sekitar 1.000 m di atas permukaan laut. Pohon sagu tumbuh subur di hutan topis dengan suhu udara 250 C dan kelembapan relatif 70 %.
Sagu juga mampu hidup di lingkungan ekstrem, seperti lahan tergenang, rawa pasang surut dan dan lahan gambut, seperti yang dapat dijumpai di tepian Sungai Mentaya, di daerah gambut dangkal di Kecamatan Pulau Hanaut (Kalimantan Tengah).
Observasi pada sepanjang handil di Kecamatan Pulau Hanaut menunjukkan sebaran sagu tidak berduri dengan jumlah lebih dari 50 rumpun. Dalam 1 rumpun terdapat sekitar 10-25 anakan sagu, dan batang sagu dewasa berkisar antara 1-5 batang. Potensi sagu di daerah ini cukup banyak, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pohon sagu dapat dibudidayakan dan sekaligus untuk upaya pemulihan fungsi ekosistem gambut.
Sagu memiliki nilai manfaat ekonomi karena memiliki nilai jual dan tersedianya pasar, dan bermanfaat bagi lingkungan, karena tahan terhadap genangan dalam periode yang tidak terlalu lama, serta berperan sebagai penyerap emisi karbon dioksida.
Ketahanan Pangan dan Ekonomi Hijau
Sagu berpotensi besar sebagai komoditas pangan dari lahan gambut. Pohon sagu dapat dipanen untuk diambil patinya pada saat dewasa, pada umur 6-7 tahun 8-10 tahun. Berdasarkan laporan dari Selat Panjang (Riau), 1 batang sagu menghasilkan pati kering berkisar antara 134,5-354,6 kg (Novarianto dkk. 2014).
Budidaya tanaman sagu ini memiliki potensi besar dalam mendukung agenda peningkatan ketahanan pangan nasional. Di beberapa daerah terdapat fenomena dimana pohon sagu belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena terkendala berbagai hal, seperti kurangnya pengetahuan budidaya sagu, teknik pemanenan batang sagu, teknologi pasca panen untuk mengolah menjadi pati dan tepung, hingga kemampuan menembus pasar sagu.
Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas petani dalam budidaya sagu dan teknik pemanenan. Sagu memiliki daur hidup panjang, sehingga dalam satu hamparan perlu ditanam secara bertahap dan multikultur, agar petani dapat memperoleh hasil antara, yaitu komoditas yang dapat dipanen tiap bulan.
Selanjutnya di bagian hilir, pemerintah bersama sektor swasta perlu memperhatikan aspek-aspek meliputi pasca panen, pembangunan kilang, pasar dan pemasarannya, serta hilirisasi produk-produk dan komoditas dari tanaman sagu ini. Dengan demikian produk sagu akan lebih bervariatif dengan nilai pemanfaatan yang beragam.
Pada akhirnya kegiatan ini juga akan mampu memberikan lapangan kerja baru yang lebih besar dan beragam bagi masyarakat. Suatu rantai ekonomi yang ramah lingkungan dan lestari akan dapat tercipta melalui kegiatan budidaya dan pengembangan sagu di lahan gambut ini.
*Peneliti Ahli Pertama; **Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional