Belajar Dari Sejarah Manajemen Hutan Alam Ramin

Aris Sudomo1, M. Mandira Budi Utomo2, Levina A Geraldine2 dan Etik Erna Wati Hadi3 *)

 AWAL tahun 1970-an perusahaan mengikuti sistem Tebang Pilih Indonesia/ Selective Cutting Indonesia (CSI).

Aturan dari sistem tersebut meliputi; dari potensi tebangan yang ada, hanya diperbolehkan untuk memanen 2/3 kayu dari pohon tertentu di hutan rawa (diameter minimum yang diperbolehkan ≥50 cm). Khusus untuk pemanenan kayu ramin (Gonystylus bancanus), diameter minimum yang diijinkan adalah ≥35 cm.

Pemanen pohon diharuskan menyisakan ≥15 pohon induk/ha dengan diameter ≥20 cm yang diharapkan menjadi regenerasi alami ataupun sumber benih. Daur/ rotasi panen yang ditetapkan adalah 35 tahun, dengan asumsi pertumbuhan diameter rata-rata adalah 1 cm/ tahun.

Pada tahun 1989, rezim berubah menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Perbedaan utama terdapat pada peraturan; bahwa perusahaan harus menyisakan ≥25 pohon induk/ha, dengan diameter ≥15 cm. Alasannya, rata-rata riap diameter anakan ramin lebih dari 1 cm/tahun.

Kami –penulis– melihat, bahwa kenyataan yang terjadi adalah, pada areal bekas tebangan pelaksanaan TPI (ISC) sebaran ramin didominasi pohon dengan diameter ≥30 sampai 50 cm, namun jumlah anakan sangat sedikit. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya jumlah ramin yang ditebang dan menyebabkan lahan semakin terbuka, sehingga sangat mempengaruhi regenerasi alami (anakan alam baru makin sedikit).

Rezim pengelolaan hutan alam ini berlanjut hingga 2004. Kemudian konsesi di lahan rawa gambut berlanjut dengan perubahan aturan, yaitu rotasi pemanenan 40 tahun dan diameter minimum ≥30 cm.

Rusaknya Ekosistem Rawa gambut

Kegiatan penanaman maupun pemanenan kayu dilakukan melalui kanal-kanal air, dengan mengatur ketinggian air yang ditahan oleh lahan gambut. Padahal, kanalisasi menyebabkan air dalam gambut mengalir keluar dan menyebabkan pengeringan lahan gambut.

Disamping itu, tajuk yang hilang akibat penebangan menjadikan kondisi ekosistem gambut menjadi kering. Pertumbuhan tanaman pun terhambat. Lalu, naiknya suhu permukaan akan mengaktifkan bakteri anaerobic yang akan meningkatkan laju dekomposisi. Ujung-ujungnya, tanah gambut yang kering sangat mudah terbakar, dan kejadian kebakaran akan menurunkan bahkan menghilangkan unsur hara.

Rekomendasi Konservasi Ramin

Sadar akan kondisi, seperti yang telah diuraikan tadi, tampaknya berbagai upaya konservasi perlu dilakukan dengan seksama. Kami –penulis, pun memberikan beberapa rekomendasi konservasi ramin.

Diantaranya; direkomendasikan agar ramin dapat ditanam kembali di berbagai kawasan konservasi, seperti taman nasional, hutan lindung, dan cagar alam. Bibit ramin dapat menjadi harapan bagi langkah konservasi, dan upaya konservasi genetik ramin dapat dilakukan.

Selanjutnya, penanaman ramin dapat dilakukan untuk konservasi plasma nutfah, melindungi hutan rawa gambut, dan memulihkan fungsi produksi kayu ramin. Kemudian, untuk memperbaiki manajemen hutan ramin di rawa gambut, beberapa rekomendasi yang ditawarkan adalah menjamin pemberian izin konsesi baru di daerah rawa.

Kami (penulis) menilai, bahwa menanam ramin di kawasan konservasi memiliki manfaat dalam melestarikan spesies ramin yang masih tersisa. Ramin merupakan tolak ukur kesehatan konservasi di lahan gambut.

Kawasan konservasi hutan ramin di Desa Lahei Kecamatan Mentangai – Kabupaten Kapuas misalnya, merupakan tegakan ramin yang tersisa dengan kondisi tegakan yang baik, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih ramin dalam rangka pengembangan in-situ maupun ek-situ guna melestarikan ramin.

Taman Nasional Sebangau juga penting dalam konservasi in-situ ramin. Selain itu, menanam ramin di kawasan konservasi juga dapat membantu memperbaiki manajemen hutan ramin di rawa gambut.

Namun, penanaman kembali ramin memerlukan prakondisi tertentu seperti status atau kepastian lokasi, kesesuaian lahan, aksesibilitas, dan komitmen jangka panjang dan dukungan secara terus menerus. Kendala teknis seperti kondisi habitat, konflik lahan, perambahan, pembalakan, lokasi yang sangat rawan kebakaran, dan rencana penggunaan lain juga perlu diperhatikan.

*)Peneliti di; 1Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan; 2 Pusat Riset Sosial dan Budaya 3Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Redaksi Green Indonesia