Ramin, Warisan Alam yang Hampir Punah

Keberadaan hutan ramin perlu dijaga, karena upaya permudaan buatan untuk tumbuhan ini tidaklah mudah.

RAMIN oh ramin…  Salah-satu pohon penghasil kayu Indonesia, khususnya di Kalimantan dan Sumatera ini, kini nyaris tinggal kenangan. Padahal, tumbuhan ini adalah penghasil kayu mewah berkualitas ekspor, dan sangat diminati di pasar global.

Ramin. (Dok: Etik Erna Wati Hadi, 2022)

Dulu, sekitar tahun 1970-an, pemerintah memberi izin menebang kayu ramin. Maka, eksploitasi besar-besaran pun terjadi. Sejalan dengan hal tersebut, sejak saat itu, permintaan kayu ramin meningkat di pasar internasional. Dampaknya, tidak kurang dari 10 juta hektar hutan gambut yang ditumbuhi tegakan ramin dibabat habis.

Tercatat pada tahun 1983, standing stock ramin mencapai 14 juta m3, selanjutnya terus menurun hingga saat ini. Di tahun 2001, Ramin telah masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai spesies yang terancam punah. Bahkan di tahun 2005, Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam Punah (CITES) mengatur perdagangan ramin secara khusus dan ketat agar terselamatakan dari kepunahan.

Hal tersebut menunjukkan adanya permasalahan dalam pengelolaan ramin, baik dari sisi silvikultur maupun manajemen. (Simak tulisan berikutnya; “Belajar Dari Sejarah Manajemen Hutan Alam Ramin”).

Hanya di Rawa Gambut

Ramin merupakan salah-satu dari sedikit jumlah spesies yang dapat tumbuh pada habitat rawa gambut. Bahkan lahan rawa gambut di Sumatera, 30% adalah hutan ramin.

Berdasarkan data BBSDLP 2020, luasan lahan rawa gambut di Indonesia mencapai 13,4 juta.

Ramin mampu tumbuh dengan baik secara alami di hutan primer rawa gambut atau tempat yang terkadang tergenang air (Soaked water). Meskipun mampu mencapai ketinggian 50 m dan diameter maksimum mencapai 120 cm, namun jenis ini termasuk slow growing species (pertumbuhan sangat lambat).

Lahan gambut sebagai habitat ramin adalah bentuk wetlands (lahan basah). Lahan ini, secara berkala atau selalu tergenang air. Tanahnya terbentuk dari bahan organik tanaman.

Seperti diketahui, tanah gambut mengalami pelapukan yang tidak tuntas. Hal itu dikarenakan dekomposisi-nya yang lambat akibat jenuh air selama ribuan tahun. Lahan ini memiliki pH tinggi, dengan warna air hitam kemerahan. Berat jenisnya rendah, dan kandungan nutrisi pun rendah karena terikat dalam biomassa serasahnya.

Lahan gambut memiliki kemampuan menyerap air ketika musim hujan, sehingga dapat mencegah terjadinya banjir, dan melepaskan air secara perlahan-lahan ketika musim kemarau.

Namun, kemampuan gambut untuk menyerap dan melepaskan air tergantung pada kondisi lahan gambut itu sendiri. Lahan gambut yang tidak terawat dengan baik dapat kehilangan kemampuan menyerap dan melepaskan air.

Tantangan Regenerasi

Regenerasi alami ramin sangat tergantung pada kondisi habitat alaminya. Semakin banyak perubahan habitat akibat pembukaan lahan atau penebangan, maka akan semakin sulit ditemukan anakan alaminya. Mengapa demikian?

Karena biji ramin dapat berkecambah baik, dan tumbuh menjadi anakan alam, jika habitatnya ternaungi dari sinar matahari sampai 90%.

Persebaran biji secara alami juga dipengaruhi oleh ukuran diameter pohon induk, dimana semakin besar diameter pohon induk maka jangkauan persebaran biji secara alami semakin luas. Selain itu, persebaran biji secara alami juga dipengaruhi oleh keberadaan hewan tertentu sebagai agen penyebar benih seperti rangkong, tupai, dan tikus hutan.

Perubahan habitat alami dengan kegiatan penebangan yang mencapai 2/3 dari total area akan secara drastis mengurangi keberadaan ramin di alam. Alhasil, jumlahnya menurun, bahkan menghilangkan keberadaan benih dan anakan alaminya.

Lalu bagaimana dengan permudaan buatan? Upaya ekplorasi benih untuk permudaan buatan juga mempunyai tantangan yang belum ditemukan solusi yang efektif dan efisien.

Ramin di Kebun Konservasi Ex Situ Plasma Nutfah Kedaton Kab. OKI Sumatera Selatan. Terlihat pertumbuhan lambat dibanding jenis lain. (Dok: Etik Erna Wati Hadi, 2022)

Tantangannya adalah; ramin memiliki musim berbuah yang tidak periodik. Musim buah terjadi pada musim hujan, dengan syarat sebelumnya mengalami musim kering yang panjang.

Tak hanya itu. Saat benih sudah didapat, tantangan lain yang harus dihadapi adalah karakteristik benih yang rekalsitran, dimana benih tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Semakin lama disimpan daya kecambahnya akan semakin menurun.

Aris Sudomo1, M. Mandira Budi Utomo2, Levina A Geraldine2 dan Etik Erna Wati Hadi3Peneliti di 1Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan; 2 Pusat Riset Sosial Dan Budaya 3Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Redaksi Green Indonesia