Deindustrialisasi Furniture Kayu Indonesia. Oleh : Tauhid Ahmad

Serangan iklan produk-produk furniture luar negeri di bebera­pa media online dalam 3 tahun terakhir menunjukkan intensitas semakin intensif. Kini, produk-produk dari Swedia, China, dan beberapa negara lainnya mulai mengambil tempat dihati konsumen Indonesia. Tidak hanya soal desain, namun juga warna, bahan hing­ga harga dapat berkompetisi dengan be­ragam produk dari Jepara, Cirebon mau­pun wilayah lainnya di Indonesia.

Himpunan Industri Mebel dan Kera­jinan Indonesia (HIMKI) memperkirakan bahwa 55% pasar furniture domes­tik Indonesia telah dikuasai produk luar negeri. Membanjirnya produk impor se­lain disebabkan produk furniture kalah bersaing juga disebabkan tidak siapnya industri furniture melakukan industrial­isasi ke-4, yakni menggunakan teknolo­gi informasi serta jaringan pasar dalam pengembangan industrinya. Industri furniture masih asik menghasilkan pro­duk-produk yang cenderung statis ses­uai dengan karakteristik jenis kayu In­donesia, misalnya kayu jati, rottan dan lainnya.

Hal ini menjadi sinyalemen bahwa industri kita kalah di pasar luar nege­ri dan dalam negeri sehingga dapat dikatakan furniture Indonesia mengalami deindustrialisasi. Sinyalemen ini ditemukan oleh Ahmad (2018) bahwa pada tahun 1995, ekspor furniture Indo­nesia umumnya memiliki nilai tambah dalam bentuk produk antara sebesar 71% dan dalam bentuk produk akhir sebesar 27% serta sisanya dimiliki luar negeri. Situasi ini ternyata mengalami kemunduran dimana pada tahun 2011, nilai tambah dalam bentuk produk an­tara justru meningkat sebesar 73% dan dalam bentuk produk akhir menjadi se­besar 17,07%. Padahal permintaan nega­ra-negara mitra dagang Indonesia justru mengalami peningkatan dalam bentuk produk akhir dimana tahun 1995 sebesar 10,82% namun tahun 2011 menjadi se­besar 23,75%.

Inilah yang harus disikapi oleh pe­merintah mengingat ekspor furniture cenderung fluktuatif dan hanya berada pada kisaran Rp. 50 triliun sejak tahun 2003 yang lalu hingga saat ini.

Hal ini ini juga tercermin dari per­anan industri furniture ini dalam produk domestik bruto (PDB) dimana tahun 2017, sumbangannya sebesar 0,25 % PDB atau lebih rendah dibandingkan ta­hun 2010 yang sebesar 0,29% PDB.

Penyebabnya, selain soal bahan baku serta permodalan, Indonesia memiliki kelemahan dalam proses produk final. Proses finishing yang menggunakan ba­han-bahan kimia harus mengikuti stan­dar kesehatan dan lingkungan di negara mitra.

Di samping itu, desain juga harus mengikuti selera negara mitra sehingga akhirnya eksportir lebih suka dengan ek­spor dalam bentuk produk antara atau barang setengah jadi ketimbang barang jadi. Baik karena ketiadaan industri pe­nolong maupun kelemahan desain itu sendiri yang seyogyanya investasi dan perhatian pemerintah sangat dibutuh­kan disini. Bahkan secara umum, indus­tri furniture kayu ini bingung apa yang harus dilakukan dengan situasi yang se­makin melemahkan daya saing mereka, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri.

Menengok China sebagai pemenang industri furniture dunia maka dapat dili­hat keberhasilannya dalam periode yang sama dengan Indonesia. China berhasil meningkatkan nilai tambah dalam ben­tuk produk final dari 16,61% pada tahun 1995 menjadi 31,94%. China meningkat­kan ekspor gross furniturenya sendiri da­lam periode tersebut 10 kali lipat semen­tara Indonesia hanya 2 kali lipatnya saja.

Chao dan Hansen (2016) menemu­kan bahwa terdapat empat faktor yang menyebabkan industri furniture di China meningkat pesat yakni inovasi, tingkat daya saing, ukuran perusahaan dan in­tensitas ekspor. Perusahaan-perusahaan furniture China melakukan percepatan inovasi dengan tiga fokus secara ber­samaan yakni produk, proses dan juga sistem bisnis. Inovasi tersebut dilakukan secara incremental ketimbang inovasi yang radikal.

Dengan inovasi yang ada, perminta­an pasar ditangkap secara cepat oleh in­dustri furniture disana. Inovasi di China sangat berkorelasi dengan tingkat daya saing dan ukuran perusahaan dimana perusahaan besar akan menjadi pemi­mpin inovasi sehingga mengakibatkan daya saing industri furniture secara keseluruhan. Perusahaan-perusahaan tersebut akan terus melakukan proses inovasi sehingga intensitas ekspornya tetap terjaga. Gap antara pasar dalam negeri dan luar menjadi pertimbangan dalam strategi produk dan bisnis indus­tri furniture China.

Meski belajar dari China sekalipun, menghentikan deindustrialisasi furni­ture kayu Indonesia bukanlah perkaran mudah. Setidaknya terdapat beberapa agenda penting yang perlu ditangkap selain inovasi dan daya saing diatas.

Pertama, pemerintah harus berani mendorong industri furniture mengikuti trend global untuk pasar domestik. Hal ini sangat terkait dengan meledaknya pasar perumahan, peningkatan level pendapatan dan jumlah masyarakat ke­las menengah, serta perubahan demog­raphy dalam memilih produksi bernilai tambah tinggi.

Kedua, pemerintah perlu meny­iapkan insentif fiskal yang nyata bagi industri furniture kayu, baik pajak bumi bangunan yang rendah, potongan pajak ekspor, subsidi impor hingga memberi­kan kemudahan investasi dalam perlua­san produksi (tax holiday dan tax allow­ance).

Ketiga, klaster industri seharus­nya diseriusi dengan baik dengan menumbuhan klaster-klaster baru ser­ta “up-grading” klaster-klaster industri furniture lama, baik Jepara, Cirebon hingga Klender-jakarta. Inovasi desain, pengembangan bahan baku utama dan penolong, serta dukungan keuangan perlu ada pada setiap klaster. Hal ini un­tuk menunjang efesiensi ekonomi dan sharing pengetahuan serta pengemban­gan pasar yang berkelanjutan.

Keempat, efesiensi produksi tetap menjadi kunci daya saing, baik melalui perbaikan pengelolaan tenaga kerja, lingkungan, ekspansi produksi hingga otomatisasi pabrik/workshop. Hal ini penting agar dari sisi harga dapat terus bersaing meski pasar cenderung pening­katannya sedikit.

Kelima, investasi dari luar negeri menjadi prioritas yang disertasi dengan investasi dari negeri. Investor luar san­gat diperlukan untuk mengembangkan saluran pemasaran, permintaan desain luar maupun perbaikan tata kelola peru­sahaan.

Pilihan agenda diatas akan lebih baik dimulai dari mana yang paling dapat dilakukan oleh pelaku usaha, masyara­kat maupun pemerintah. Tentu saja, pe­merintah akan sangat berperan dalam mendorong kebijakan yang kondusif, dukungan anggaran dan insentif, serta proses pembinaan yang berkelanjutan.

Namun, pelaku usaha dan masya­rakat juga perlu bermitra secara efektif dalam lingkup visi dan organisasi yang memberikan manfaat pada anggotanya secara adil dan merata. Semoga.

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *