Perlu komitmen pemerintah daerah, khususnya untuk mengendalikan tingkat pembukaan lahan yang masif, sehingga bisa berkontribusi lebih jauh pada perubahan iklim yang bisa memicu cuaca ekstrem.
KEBIJAKAN global tentunya perlu diikuti dengan implementasi kebijakan lebih jauh di setiap negara. Demikian isi Pers Release yang disampaikan ID.com kemarin, Selasa (08/03).
Salah satu bentuk implementasi tersebut adalah kebijakan terkait tata kelola lahan yang berkelanjutan di tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
KLHK, misalnya, telah mencanangkan skema perhutanan sosial di mana masyarakat setempat diberikan izin untuk mengelola kawasan hutan untuk kesejahteraan ekonomi setempat. Implementasi dari kebijakan ini tentu membutuhkan komitmen dari pemerintah daerah, khususnya untuk mengendalikan tingkat pembukaan lahan yang masif, sehingga bisa berkontribusi lebih jauh pada perubahan iklim yang bisa memicu cuaca ekstrem.
Menurut Chaus Uslaini, Kepala Divisi Perlindungan Dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional WALHI, skema perhutanan sosial sebenarnya sudah bisa berkontribusi pada tata kelola lahan yang lebih berkelanjutan. Namun, salah satu pekerjaan rumah bagi pemerintahan setempat adalah upaya untuk memastikan masyarakat yang sudah mendapatkan izin pengelolaan bagi kawasan hutan memiliki pemahaman yang baik untuk mengelola lahannya secara berkelanjutan.
“Untuk itu pemerintah harus memastikan agar masyarakat memahami aturan terkait dengan izin tersebut, salah satunya terkait dengan jenis tanaman yang bisa ditanam oleh masyarakat,” kata Chaus Uslaini.
Edukasi Masyarakat
Lebih jauh dikatakannya, bahwa masyarakat juga harus mendapatkan pemahaman apa yang bisa mereka lakukan untuk mengantisipasi bencana cuaca ekstrem. Karena itu, forum di mana masyarakat mendapatkan edukasi serta masukan yang optimal dari berbagai pihak yang berwenang dalam penanggulangan bencana menjadi sangat penting. Apalagi Indonesia sangat rentan akan berbagai bencana yang bisa saling berdampak satu sama lain.
Di Sumatera Barat misalnya, gempa bumi yang terjadi akhir Februari lalu semakin diperburuk oleh bencana banjir dan tanah longsor akibat curah hujan tinggi, situasi ini juga membuat masyarakat korban yang berada di tenda-tenda pengungsian semakin menderita.
“Bencana hidrometeorologi akibat curah hujan tinggi bisa jadi ancaman yang paling mendesak untuk ditangani saat ini. Ke depannya terdapat potensi bencana kekeringan yang juga perlu diantisipasi. Maka, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan untuk mitigasi bencana menjadi sangat penting. Keberadaan Forum Penugurangan Resiko Bencana (FPRB) yang ada di tingkat provinsi dan Kabupaten Kota di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Sumatera Barat perlu dioptimalkan.
Anggota forum ini terdiri dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), CSO (lembaga masyarakat), akademisi, ahli dan juga BMKG setempat. Forum inilah yang kemudian diharapkan bergerak untuk melakukan edukasi dan pendampingan masyarakat untuk antisipasi bencana hidrometeorologi,” ungkap Chaus.
Sinergi Pusat dan Daerah
Sependapat dengan Chaus Uslaini, Prof. Dr. Nana Sulaksana juga mengatakan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci keberhasilan penanggulangan bencana. Selain Forum Pengurangan Risiko Bencana, dibeberapa daerah juga terbentuk Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana yang juga dapat difungsikan untuk mengedukasi masyarakat dan bersinergi dengan pemerintah dalam upaya pengurangan risiko bencana ini.
“Mitigasi bencana bisa dilakukan dengan memetakan wilayah mana saja yang rawan bencana. Tapi ketika bencana terjadi, perlu ditetapkan siapa yang berhak memberikan peringatan kepada masyarakat di wilayah potensi bencana tersebut. Pemerintah daerah harus mendapatkan kewenangan lebih agar hasilnya bisa maksimal. Jangan sampai tidak ada sinergi antara Bupati, pejabat pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Apalagi kalau harus laporan dulu ke pemerintah pusat sebelum bisa bertindak,” tutup Prof Nana.
***Riz***
No comment