Prof. Dr. Rizaldi Boer: Perlu Dialog Nasional Dekarbonisasi Energi

Strategi dekarbonisasi energi di Indonesia harus jelas. Digerakkan oleh negara, dimiliki oleh negara, dan dipimpin oleh negara, serta dapat menjadi panduan untuk implementasi yang konkrit.

TARGET Indonesia untuk mencapai emisi nol pada tahun 2060 atau lebih cepat, telah ditetapkan dalam Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR). Hal tersebut pun telah diserahkan ke UNFCCC pada tahun 2021.

“Sejak itu, sejumlah proses dilakukan. Proses tersebut terus berkembang. Untuk itu, semuanya harus bersatu untuk menentukan rencana implementasi yang konkrit dalam mencapai tujuan itu,” ungkap Prof. Dr. Rizaldi Boer, Kepala Lembaga Riset Internasional & Perubahan Iklim IPB.

Prof. Dr. Rizaldi Boer

Dikatakannya, bahwa secara khusus, terkait Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan Indonesia (JETP) yang diluncurkan pada KTT Pemimpin G20 di Bali, November 2022 lalu,  telah disoroti oleh sekelompok negara yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang. Mereka pun menyoroti pentingnya mengadopsi strategi yang memadai untuk dekarbonisasi sektor energi.

Fokusnya adalah pada pengurangan penggunaan batubara dan infrastruktur energi terbarukan. Program ini bertujuan untuk memobilisasi pendanaan awal sebesar USD20 miliar dari pemerintah dan swasta.

Menurut Rizaldi, target tersebut begitu spesifik dan ambisius. “Inilah pengumuman JETP kedua dan terbesar sejauh ini,” jelasnya.

Kurang Tepat

Ketika melihat secara rinci Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif JETP (CIPP) yang diterbitkan pada tanggal 21 November 2023,  jelas, bahwa meskipun tujuan netralitas karbon merupakan kekuatan pendorong utama dibalik upaya dekarbonisasi secara nasional dan ekonomi. Namun, Rizaldi menilai, strategi mengenai cara mencapainya masih kurang tepat.

Lahan bekas tambang batu bara

“Kita sedang memasuki momen kritis ketika keputusan konkrit mengenai implementasi harus diambil. Untuk mendukung hal ini, penting bagi Indonesia untuk mendefinisikan strategi dekarbonisasi perekonomiannya, khususnya sektor energi. Strategi ini harus jelas. Digerakkan oleh negara, dimiliki oleh negara, dan dipimpin oleh negara, dan dapat menjadi panduan untuk implementasi yang konkrit,” jelasnya.

Lebih dalam Rizaldi menilai, hal ini penting untuk mengantisipasi pemutakhiran tahunan CIPP hingga tahun 2030 yang akan dikembangkan melalui proses JETP. Selain itu, juga  juga untuk mengantisipasi putaran kedua Kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) (yang jatuh tempo pada tahun 2025 dan mencakup periode 2030-2035) yang akan dimulai pada awal tahun 2024.

Dalam konteks ini, penyelarasan strategi-strategi utama dekarbonisasi terkait energi di Indonesia, yaitu NDC, LTS-LCCR, NDC, JETP serta rencana jangka pendek dan menengah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Rencana Jangka Menengah merupakan hal yang penting. Begitu pula dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Penyelarasan ini sangat penting untuk memberikan informasi dalam pengambilan keputusan jangka pendek, sehingga memungkinkan paket pembiayaan seperti JETP dapat secara efektif mendukung bila diperlukan.

Namun, kurangnya keselarasan biasanya menghambat upaya implementasi. Tidak melakukan hal ini, akan membatasi jangkauan upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi dan dengan cara yang transformatif. Disamping itu, hal tersebut dapat menciptakan risiko tidak tercapainya tujuan negara net-zero, setidaknya di bidang energi.   

Memang benar, untuk memicu transformasi struktural yang diperlukan, agar dekarbonisasi sepenuhnya dapat mencapai tujuan pembangunan dan iklim, Rizaldi menyarankan perlunya  dukungan masyarakat luas.

“Jika hal ini tidak terjadi, maka yang terjadi hanya tindakan mitigasi marjinal di sektor-sektor penghasil emisi utama yang akan dilakukan. Ini  tidak akan cukup untuk mencapai emisi net-zero,” ungkapnya.

Harus Komprehensif

LTS-LCCR dan Enhanced NDC (ENDC) Indonesia diserahkan ke UNFCCC secara bersamaan, di mana LTS-LCCR (NZE 2060) dikembangkan sebagai bagian dari skenario ENDC. Hal ini untuk menunjukkan konsistensi antara keduanya.

“Ini penting, karena kedua proses tersebut merupakan hasil dari tinjauan menyeluruh dan proses konsultasi pemangku kepentingan, serta pengembangan skenario dan pemodelan yang kuat secara ilmiah yang dikembangkan di negara ini,” jelas Pakar Perubahan Iklim tersebut.

Menurut Rizaldi, selain menetapkan tujuan untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, LTS-LCCR Indonesia perlu menguraikan visi strategis secara rinci, yang isinya  mengungkapkan upaya yang diperlukan untuk transisi rendah karbon nasional, dan menyoroti hal-hal penting, baik  di dalam maupun luar negeri.  

Terkait ENDC, menurutnya, hal itu merupakan pembaruan NDC pertama yang diajukan ke UNFCCC pada tahun 2016.

Dijelaskannya, bahwa sasaran mitigasi utama yang diperbarui, dan tercantum dalam ENDC adalah: mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa syarat sebesar 31,8929% dan secara bersyarat (dengan dukungan internasional) menjadi 41,20% dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa (BAU) pada tahun 2030. Untuk memastikan bahwa tujuan mitigasi ENDC tercapai, peta jalan implementasi NDC telah dirancang berdasarkan konsultasi dengan pemangku kepentingan.

“Penting untuk dipahami, bahwa mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan lebih awal, melalui penghapusan penggunaan batubara secara bertahap dan menggantinya dengan teknologi energi terbarukan yang diimpor, tidak hanya akan berdampak pada pembangkit listrik tenaga batubara,” ungkapnya.

Lebih jauh lagi dikatakannya, bahwa hal ini juga akan berdampak signifikan terhadap perekonomian sektor pertambangan, pendapatan daerah, dan neraca perdagangan negara.  “Oleh karena itu, kajian komprehensif terhadap dampak-dampak tersebut, dan cara mengatasinya harus dilakukan,” tutur Rizaldi.

Dekarbonisasi Energi Nasional

Sejalan dengan upaya nasional untuk mencapai target net zero emisi, PLN (Perusahaan Negara Ketenagalistrikan) telah menetapkan dekarbonisasi sebagai tema pengembangannya.

Elemen utama dari rencana dekarbonisasinya, termasuk membatasi pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dan mengupayakan pengembangan energi terbarukan secara besar-besaran. PLN juga memiliki nuklir dalam portofolio dekarbonisasinya.

Sistem pembangkit listrik lain yang akan dikembangkan di masa depan adalah sistem energi baru. Diantaranya  adalah pembangkit listrik berbahan bakar amonia. Jenis energi terbarukan yang akan dikembangkan antara lain tenaga air, panas bumi, tenaga surya, dan angin. Sementara panel surya diharapkan dapat menjadi kontributor utama energi terbarukan di masa depan.

Terkait hal itu, Rizaldi menilai, tampaknya PLN belum sepenuhnya menghentikan penggunaan batu bara di sektor ketenagalistrikan. Begitu pula upaya penghapusan batu bara secara bertahap.

“Untuk mencapai netral karbon di pembangkit listrik tenaga batubara yang tersisa, mereka harus melengkapi beberapa fasilitas listrik yang dilengkapi dengan CCS/CCUS. Jika kita mempertimbangkan untuk melakukan pemberdayaan dengan teknologi pembakaran bersama (termasuk biomassa, amonia, H2, dan bahan bakar nol karbon lainnya) atau dengan mengganti boiler batu bara dengan reaktor nuklir dan panas dari panas bumi, maka penggunaan batu bara lebih lanjut perlu dipertimbangkan,” ungkap Rizaldi.

Prof. Dr. Rizaldi Boer dalam kesempatan CoP 28 di Dubai UEA beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pembangkit listrik terbarukan, yang di masa depan akan bergantung pada sumber daya yang bersifat intermiten. Misalnya PV surya. Tantangan utamanya adalah bagaimana mengembangkan pasokan yang handal dan selalu tersedia setiap saat.

“Pengembangan sistem pembangkit listrik di masa depan, mestinya tidak selalu  oleh PLN. Berbagai pihak lain pun, seharusnya  dapat melakukannya,” ucap Rizaldi.

Pentingnya Dialog Nasional

Pakar perubahan iklim dari IPB University itu menyarankan pentingnya segera digelar Dialog Nasional mengenai Percepatan Dekarbonisasi Energi. “Ini perlu dilakukan untuk membantu menyelaraskan strategi-strategi utama dekarbonisasi energi di Indonesia,” jelas Rizaldi.

Menurutnya, dialog ini sebaiknya diorganisir dan dipimpin oleh pemangku kepentingan nasional. Hal ini penting untuk memastikan bahwa diskusi yang dihasilkan merupakan diskusi yang digerakkan oleh negara, milik negara, dan dipimpin oleh negara.

Selanjutnya, karena program-program JETP saat ini terutama terfokus pada sektor ketenagalistrikan, maka peran Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK) Kementerian ESDM dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM sangatlah penting. Hal tersebut adalah untuk menyederhanakan pelaksanaan program JETP ke arah yang strategis.

Rizaldi pun berpendapat, bahwa dalam mengatasi dimensi sosio-ekonomi, transisi harus dilakukan secara paralel, dengan membahas pendekatan terpadu terhadap transisi dan transformasi sistem terkait. Hal ini akan membantu memastikan bahwa transisi tersebut memang “adil”.  

Dialog ini juga harus mempertimbangkan alat-alat yang ada untuk membiayai transisi serta rencana atau kebijakan yang berfokus pada aspek-aspek transisi tertentu, untuk memastikan bahwa hal-hal tersebut didasarkan pada kebutuhan dan sesuai dengan pendekatan keseluruhan dan transformasi sistem.

***Riz***

Redaksi Green Indonesia