Potret kecil dari kekayaan budaya masyarakat adat Depati Gento Rajo ini adalah contoh bahwa hukum adat cukup mumpuni dalam pengelolaan hutan lestari.
JANGAN anggap enteng hukum adat, termasuk dalam mengelola hutan dan lingkungan. Kearifan lokal di Bangko – Jambi contohnya, terbukti berhasil menjadikan belantara di daerah itu lestari, hingga kini.
Adalah masyarakat adat Desa Pulau Tengah – Marga Sungai Tenang – Bangko, yang sejak zaman Penjajahan Belanda memiliki otonomi untuk mengurusi wilayah Kedepatian Gento Rajo. Masyarakat wilayah ini memiliki komitmen untuk menjaga hulu-hulu air yang disebut “Rimbo Penghulu” sejak ±221 tahun yang lalu (sekitar abad ke-18).
Sempat Melemah
Keberadaan hukum adat di daerah tersebut sempat melemah sejak adanya Undang- undang No.5 tahun 1979. Mengapa? Karena aturan itu merubah tatanan masyarakat adat menjadi desa.
Dampaknya, pembabatan hutan merajalela, dan kekeringan pun melanda pada tahun 1996-1998-an. Petaka itu mendorong masyarakat menggelar musyawarah desa yang difasilitasi oleh WWF dalam kegiatan ICDP-TNKS Taman Nasional Kerinci Seblat).
Lalu didapatkan kesepakatan untuk menguuhkan Rimbo Penghulu sebagai hutan adat yang difasilitasi oleh konsorsium LP3LH dan WWF. Hutan adat ini dikelola oleh Depati Gento Rajo (Ketua Lembaga Adat).
Pengukuhan itu bertujuan agar permasalahan yang terjadi tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat, tapi juga berbagai pihak. Diantaranya ialah; Pemerintah Desa, Lembaga Adat, Lembaga Pengelola dan Pengembangan Putan Adat, serta lembaga informal lainnya di Desa Pulau Tengah.
Mereka pun mengupayakan mendapatkan kekuatan hukum dari pemerintah daerah menjadi Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo (selanjutnya disebut HARPDGR). Maka akhirnya pada tahun 2001 ditetapkan Pengelolaan dan Pengembangan Hutan Adat yang difasiltasi oleh LP3H dan WWF.
Kearifan Lokal
Beberapa aturan adat pun disepakati. Diantaranya; tidak akan melakukan penebangan, memburu satwa atau mengambil tumbuh-tumbuhan yang dilindungi, baik di luar maupun di dalam kawasan TNKS.
Boleh mengambil kayu, rotan, manau dan lahan untuk perladangan, tapi tidak untuk dijualbelikan. Daerah hulu air wajib dijaga, apabila terdapat ladang dianjurkan untuk menanam bambu di sekitarnya. Disamping itu dilarang membuka dan melakukan budidaya pada kekemiringan lebih dari 40 derajat. Bagi yang terlanjur itu adalah batas terakhir dan tidak ada penambahan lagi, mereka pun dianjurkan menggunakan sistem terasering.
Budidaya pertanian diupayakan untuk tidak menggunakan racun dan bahan kimia seperti pestisida. Disamping itu diterapkan pengendalian hama terpadu seperti memburu babi dan tidak akan berburu binatang yang dilindungi. Mesyarakat adat pun tidak dibenarkan mengambil ikan di sungai dan di danau menggunakan putas, setrum, atau sejenisnya, kecuali hanya menggunakan alat-alat tradisional.
Sanksi Adat
Bagi mereka yang mencuri hasil hutan baik berupa kayu maupun bukan kayu dihukum menurut adat “Kecik Babatu Gedang Babungka”; sepanjang adat dan kalau ketahuan dibacakan Surat Yasin bersama-sama di masjid.
Berdasarkan keputusan desa tahun 2000, tanah hutan yang kosong/wilayah bekas rambahan masyarakat baik masyarakat desa atau luar perlu ditanami dengan jenis pohon yang dapat menahan air. Ditetapkan pula bahwa Tanah Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo adalah hak adat yang tidak boleh dijualbelikan, serta beberapa ketentuan lainnya.
Norma dan aturan adat ini dulunya merupakan aturan lisan (tersirat), kemudian dituangkan dalam bentuk SK Depati Gento Rajo tentang pengelolaan hutan adat. Namun aturan tersirat tetap dipakai. Diantaranya ialah sanksi adat berupa denda beras, binatang ternak, dan emas. Atau sanksi menengah berupa beras 20 gantang dan 1 ekor kambing.
Terus Berbenah
Potret kecil dari kekayaan budaya masyarakat adat Depati Gento Rajo ini mungkin juga memiliki kesamaan atau kemiripan dengan kekayaan budaya pada Depati-Depati lainnya yang tercakup di dalam Marga Sungai Tenang atau Marga lainnya di Kecamatan Jangkat, atau cakupan yang lebih luas lagi pada tingkat Kabupatan Merangin.
Kini Lembaga Pengelola Hutan Adat di Desa Pulau Tengah masih terus memperbaiki diri untuk pengelolaan hutan adat yang lebih lestari. Diharapkan seluruh lembaga yang ada di desa itu dapat bersinergi lebih harmoni, sehingga nilai dan aturan adat abadi di tengah lestarinya Hutan Masyarkat Adat Depati Gento Rajo.
Muhamad Nikmatullah, (Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional)
***Riz***